'Kata-kata yang baru saja ia ucapkan terus berulang di kepalaku. Apa aku tidak salah dengar? Luka lebam? Ia tahu dari mana?'
Tasia mengerinyit bingung.
"Kau gila. Aku tidak punya luka lebam selain di lutut akibat bermain basket." Ucap Tasia.
Hadyan tertawa kecil. "Andai kau tidak keberatan. Tapi aku ingin jujur, bahwa aku sudah lelah bersabar, terlebih jika kau tidak pandai berbohong."
Mendengarnya, melihat mimik wajah laki-laki itu, membuat keringat dingin menghujani punggung Tasia. Jantungnya berdetak kencang hingga kedua bola matanya bergetar tidak bisa fokus.
'Jadi dugaanku selama ini benar bahwa Hadyan bukanlah manusia biasa? Ia bukanlah seorang manusia yang dipikirkan orang-orang!' Batin Tasia.
"Kalian masih di sini?"
Tanpa mereka sadari, Bu Lensy ternyata sudah berdiri di ambang pintu dengan tangan terlipat di depan dada, sambil memperhatikan mereka berdua. Hadyan langsung menoleh ke belakang, di mana wanita itu berdiri.
"Ah.. maaf, Bu. Saya rasa keadaan Tasia semakin menurun." Jawab Hadyan dengan wajah berlagak khawatir.
Bu Lensy mendekat. Ia menyadari wajah Tasia yang sudah pucat pasi dan berkeringat sangat banyak. Gadis itu terlihat lemas dan hanya terdiam dengan tatapan kosong.
"Tasia? Kau baik-baik saja? Apa kau pusing lagi? Badanmu dingin sekali," Bu Lensy memijat ringan pundak dan lengan Tasia.
"Mungkin sebaiknya Tasia pulang, Bu. Kebetulan rumah saya dekat dengan rumahnya. Kalau diijinkan, saya bisa mengantarkannya pulang," Tawar Hadyan.
"H-hah? Ti.. tidak perlu.." Tasia terbata, takut keadaan menjadi semakin buruk. Ia tidak bisa mempercayai pria ini sama sekali, apalagi diantar pulang olehnya.
"Tidak apa, Tasia. Biar Hadyan yang mengantarkanmu pulang. Ibu yang bertanggungjawab nanti. Jangan khawatirkan Hadyan. Sekarang, kau pulang saja, yah," Ujar Bu Lensy.
Meski sedikit, ia tahu keadaan Tasia yang adalah seorang yatim piatu. Tasia tidak memiliki keluarga yang mau menjemputnya hanya karena masalah sepele seperti ini.
Sejak dulu, Tasia terbiasa istirahat di UKS bahkan hingga jam pulang sekolah. Jika saat ini ada yang mau mengantarnya pulang, itu adalah hal yang bagus agar Tasia bisa istirahat dengan baik di rumah.
"Tapi, Bu.. Saya.."
"Tidak apa-apa, Anastasia. Aku akan mengantarmu pulang dengan selamat. Jangan khawatir," Hadyan tersenyum lembut.
"Yasudah, Hadyan. Tolong antar Tasia sekarang. Dan jangan coba-coba untuk kabur setelahnya. Ibu ingin kau langsung kembali ke sekolah. Awas kalau berani pergi ke tempat lain!" Ancam wanita itu.
Hadyan tersenyum. "Jangan khawatir, Bu. Kalau begitu, kami pergi dulu,"
Tasia tidak dapat mengelak lagi. Selain karena terkejut, enatah mengapa ia merasakan tubuhnya begitu lemas hingga untuk berbicara panjang saja ia tidak sanggup.
Hadyan menuntun Tasia ke lobby sekolah dan membantunya duduk di kursi tunggu sementara ia memanggil taxi. Terselip sebuah senyuman kecil pada bibir manisnya.
'Aku tidak jahat. Aku hanya tidak suka menunggu terlalu lama.' Hadyan membela dirinya sendiri dari rasa bersalah.
Ketika taxi datang, Hadyan segera membantu Tasia untuk masuk ke dalam mobil dan mereka berdua duduk di kursi penumpang belakang dengan Hadyan masih memegangi pundak Tasia yang lemah.
Hadyan memberitahukan sang sopir taxi ke mana tujuan mereka, lalu mobil mulai melaju pergi.
'Sepertinya sudah aman untuk melepas peganganku. Ia tidak mungkin melompat keluar dari mobil, kan?' Pikir Haydan.
Kemudian Hadyan memejamkan matanya sebentar. Setelah itu, rasa lemas dan pusing yang Tasia rasakan perlahan sirna.
Hadyan melepaskan pundak gadis itu dan bergeser sedikit untuk memberikan ruang napas bagi Tasia.
'Dia! Apa dia yang melakukan ini padaku?!' Seru Tasia di benaknya.
Tasia melotot, menatap sisi wajah Hadyan dengan tajam. Nampaknya dugaan Tasia benar. Terbukti oleh sebuah sunggingan kecil yang terbentuk secara menakutkan di bibir pria itu, hingga membuat bulu kuduk Tasia meremang.
Hadyan menoleh pada gadis yang terlihat tengah ketakutan namun masih bersikeras menatapnya dengan wajah yang begitu galak.
"Siapa kau?" Tanya Tasia dengan suara bergetar.
"Siapa aku? Kau sudah tau. Aku Hadyan, teman sekelasmu."
"Jangan bercanda! Kau bukan hanya sekedar teman sekelasku. Siapa kau sebenarnya?" Ulang Tasia dengan menurunkan sedikit volume suaranya agar pembicaraan aneh mereka tidak terdengar oleh sopir taxi.
"Oh? Kau mau aku menjadi apa? Pacarmu? Atau.. suamimu?" Hadyan terkekeh atas leluconnya sendiri yang tidak lucu.
"Lucu sekali, Hadyan! Aku tau kau bukan orang biasa. Apa kau mempelajari ilmu hitam? Oh.. Atau sebenarnya kau adalah seorang penjahat mesum yang menggunakan ilmu terlarangnya untuk menjerat gadis-gadis?" Desis Tasia.
Jantung Tasia mulai berdegub kencang dan cepat karena rasa amarah mengalahkan rasa takutnya. Hanya satu hal yang ia pikirkan. Jika memang benar bahwa Hadyan adalah penjahat mesum berilmu hitam, maka tamat sudah riwayat dirinya di tangan pria itu.
"Hinaanmu terlalu menyakitkan, Anastasia. Aku bukanlah pria mesum seperti yang kau tuduhkan. Kami adalah pangeran terhormat yang tidak akan mencela apalagi mengotori wanita. Kami adalah kaum bermartabat," Jawab Hadyan tegas.
"Pangeran?" Tasia tertawa merendahkan. "Maksudmu ilmu yang kau pelajari itu adalah ilmu bernamakan 'Pangeran'? Sudah cukup omong kosongmu, Hadyan! Sekarang, katakan apa tujuanmu selalu mengerjaiku?" Tanya Tasia dengan geram.
Hadyan menghela napas untuk mengatur kesabarannya. "Aku tidak mengerjaimu, Tasia. Aku hanya ingin lebih dekat denganmu karena aku menyukaimu. Mengerti?"
Tasia menggeser mundur duduknya hanya untuk membuat punggungnya menabrak pintu mobil. Ia mengerjap berkali-kali sebelum sebuah tawa heran keluar dari bibirnya yang masih pucat.
"Hm.. Baiklah kalau memang kau suka padaku. Lalu, apakah kau perlu sampai melakukan semua ini padaku? Apakah kau pikir kau bisa dekat denganku dengan menggunakan cara kotor seperti ini? Apakah kau tahu bahwa menggunakan ilmu hitam itu adalah sebuah dosa yang sangat besar?! Itu sama saja kau mengabdi pada setan!" Desis Tasia.
"Aku tidak menggunakan ilmu hitam. Aku tidak tahu cara apa lagi yang harus aku gunakan. Semakin hari, kau semakin dekat dengan Patra." Jujur Hadyan.
"Hei, Hadyan! Patra itu adalah orang yang istimewa untukku. Dia bersahabat denganku sudah lama sekali. Ia selalu membuatku tertawa dan tersenyum. Berbeda denganmu, yang tiba-tiba datang dan langsung mengacaukan hari-hariku!" Bentak Tasia.
Hadyan terdiam kaku. Ia merasakan sakit yang aneh di dalam dadanya. Hal yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Rasa sakit itu dengan kuat menekan dadanya, hingga ia tidak sanggup membalas kalimat yang dilontarkan Tasia.
"Belok kanan di perempatan depan, Pak," Ujar Tasia pada sang sopir.
Taxi melaju masuk ke dalam komplek perumahan dan berhenti di depan sebuah rumah minimalis bertingkat dua dengan pagar hitam.
Tasia segera turun setelah membayar ongkos taxi sebelum Hadyan sempat melakukannya.
"Terimakasih sudah mengantarku. Kau tidak ada urusan lagi di sini, jadi kau boleh pulang. Aku memaksa," Ucap Tasia sembarang dengan nada dingin.
Lalu Tasia hendak melangkah menuju pagar rumahnya untuk memencet bel, namun langkahnya terhenti saat Hadyan menangkap lengan kirinya.
"Aku tidak akan membiarkanmu. Ingatlah itu," Desis Hadyan dengan wajah datar dan rahang mengeras.