"Clau, dipanggil sama Pak Faris di gedung itu," kata Silvi ketika Claudia baru saja mengeluarkan barang-barangnya dari tas.
Claudia menyipit, Pak Faris? Wali kelasnya? Kok tiba-tiba?
"Buruan, ditungguin," desak Silvi.
Karena Claudia sama sekali gak naruh curiga sama Silvi, akhirnya Claudia berjalan ke arah gedung tempat Pak Faris yang katanya lagi manggil dia.
Namun sesampainya di sana, Claudia gak nemuin siapa-siapa di sana selain tempat kosong dan gelap.
Katanya semua guru yang ikut kemah tidur di sana. Tapi nyatanya gak ada satupun guru kelihatan di ruangan itu.
Lampu tiba-tiba mati. Claudia tersentak. Dia berlari ke arah pintu tapi udah ada yang ngunci pintu gedung tersebut.
"Dikerjain lagi," ucap Claudia pelan. Hendak mengambil ponselnya yang ada di saku. Tapi ternyata ponselnya ditinggal di tas ranselnya.
"Astaga, terus gue harus di sini semalaman?"
**
"Lho si Claudia ke mana?" tanya Vina. Dia gak nemuin Claudia padahal tas ranselnya jelas-jelas ada di depan tendanya.
"Des, lihat Claudia gak?"
"Gak tau, tadi sampe ke sini cuma lihat tasnya doang."
Vina gegas mengambil ponselnya untuk mengubungi Claudia. Suara dering telepon membuatnya melirik ke arah tas ransel Claudia.
"Bisa-bisanya gak dibawa," gumam Vina khawatir.
Mata Vina mencari keberadaan Silvi. Perempuan itu sedang mengobrol dengan kelas dua yang lainnya. Sok sibuk.
"Terus ke mana nih anak."
"Des, toilet di mana?" tanya Vina kemudian.
"Tuh. Yang gedung lampunya nyala, di samping ada toilet. Katanya kalo mau mandi di sana aja ntar."
"Oh oke."
Jam tiga, mandi masih bisa nanti-nanti tapi Claudia?
Calvin dengan senyumnya yang lebar langsung menghampiri Vina. Lelaki itu udah mulai sok kenal sok deket padahal Vina gak terlalu tertarik sama Calvin apalagi setelah denger kabar masalah Randu dan Calvin.
"Hai Vin!" sapa Calvin.
"Hai kak." Vina membalas seadanya kemudian mencari keberadaan Randu yang lagi bantuin anak lain mendirikan tenda.
"Kak, bisa bicara bentar gak?" tanya Vina.
Randu menoleh. "Bentar lagi ya Vin," Randu akhirnya ngelarin kerjaannya buat bantuin mendirikan tenda.
Vina nungguin dengan sabar, sadar kalau emang dia butuh bantuan Randu sekarang.
Setelah dua puluh menit. Randu dateng menghampiri Vina.
"Kenapa Vin?"
"Claudia ilang," lapor Vina.
Mata Randu membelalak. "Kok bisa? Kok baru bilang?"
"Lah tadi kan kakak nyuruh nunggu."
"Hapenya udah dihubungi."
Vina mengangguk. "Nih hapenya gak dibawa."
Randu akhirnya mencari keberadaan Claudia. hari udah mau gelap sebentar lagi. Mendadak Randu jadi takut kalau terjadi apa-apa sama Claudia apalagi perempuan itu baru pertama kemah di tempat ini.
Awalnya Randu nyari di sekeliling tanaman bakau, gak ada. Pindah ke kebun juga gak ada. Terakhir dia nyari di gedung-gedung siapa tahu Claudia mau istirahat dan gak mau masang tenda, tapi nihil.
Hingga akhirnya mata Randu melihat gedung tua yang jarang dipake sama orang-orang di sini.
Randu berlari. Dia menuju ke gedung dengan napas satu dua. Setelah sampai di sana. dia lihat Claudia sedang berdiri di depan jendela dengan wajahnya yang menyedihkan.
Randu hendak membuka pintu yang ternyata cuma diganjal sama sapu di depannya.
Dia pun masuk. Marah pada Claudia.
"Kenapa hapenya gak dibawa!" tanya Randu berteriak pada Claudia.
"Gak kepikiran," jawab Claudia dengan suara gemetar dia juga takut.
"Kenapa bisa sampe di sini?"
Haruskah dia bilang kalau semuanya karena Silvi?
"Kenapa? Gak mungkin lo ada di sini kalo gak ada yang nyuruh."
"Kak—Silvi."
Randu berdecap lalu meremas rambutnya sendiri. "Mulai sekarang jangan percaya apa kata dia, dia itu bener-bener racun, ngerti?!" Randu menangkup kedua sisi wajah Claudia.
Claudia mengangguk. Satu titik mengalir di pipinya. Dia menangis.
"Udah gak usah nangis." Randu mengusap air mata Claudia. "Kita balik, udah sore."
Randu memeluk Claudia sebentar. perempuan itu tiba-tiba merasakan rasa yang nyaman. Kemudian pergelangan tanganya digenggam oleh Randu begitu kuat.
Namun ,,, ketika Randu hendak keluar dari sana. Pintu yang tadinya terbuka, tertutup dan terkunci.
Randu gugup. Keringat dingin mengucur di sekujur tubuhnya.
"Kenapa kak?" tanya Claudia.
"Kayaknya ada yang ngerjain kita."
"Tunggu sebentar, gue bawa hape." Randu ngeluarin ponsel miliknya,. Baterei sudah habis dan gak bisa nyala sama sekali.
"Astaga. Bisa-bisanya begini," gumam Randu.
Randu memutar otaknya, dia ngelihat jendela tapi gak bakalan bisa dibuka karena ada teralis di sana.
Randu menoleh ke arah Claudia. wajahnya sama sekali gak menunjukkan rasa takut seperti beberapa waktu yang lalu.
"Lo gak takut?"
"Ada kakak, kenapa harus takut?"
Randu tersenyum. "Gue aja takut."
Claudia terkekeh.
Randu duduk, disusul oleh Claudia di sampingnya.
"Mereka bakal nyari kita kan, kak?"
"Kayaknya sih, tapi kalo enggak ya paling tunggu sampe nanti kita mau balik."
"Jangan nakut-nakutin dong!"
Kali ini Randu yang ketawa. Claudia terpesona melihat Randu tertawa untuk pertama kalinya. Manis.
"Kenapa lihatinnya begitu?" tanya Randu protes.
"Gak apa-apa." Claudia menggelengkan kepalanya.
Mata keduanya saling bertatap. Randu untuk sejenak melupakan kehadiran Bella di dalam hidupnya. Ia merasa kehadiran Claudia mampu menyita perhatiannya beberapa waktu ini, padahal watak Claudia sama sekali bukan seperti tipe kesukaannya. Tapi kenapa dia jadi—suka sama dia?
Randu memajukan wajahnya, Claudia mendadak gugup. Ia memejamkan matanya dan merasakan bibirnya dikecup dengan pelan dan lembut.
Claudia membuka matanya. Napasnya tersengal karena gugup mengalami barusan.
"Kak—"
"Sorry—gue gak bisa nahan."
"Apa ini—mirip sama yang kamu lakuin sama Kak Silvi?"
"Beda," jawab Randu.
"Beda?" Claudia membeo.
"Gue gak suka sama dia."
Jeda beberapa detik.
"Tapi gue suka sama lo."
Mendadak hati Claudia seakan hendak meledak. Bisa-bisanya dia merasa sangat tersanjung ketika mendapat pengakuan tersebut dari Randu.
"Gue suka sama lo." Randu mengulangi. "Tapi—gue tau lo udah tau kalo gue udah punya cewek."
Mendadak raut wajah Claudia mengeras.