Calvin masuk ke dalam rumahnya. sepi. Tak ada ibunya apalagi ayahnya.
Dia melemparkan tasnya ke sembarang arah kemudian duduk termangu memikirkan sesuatu.
"Gue bakalan rebut semua yang lo miliki, Ran. Termasuk cewek lo," gumam Calvin sambil mengepalkan tangannya.
Rasa kesalnya pada Randu bukan hanya karena kekasihnya dulu menyukai lelaki itu. tidak. Tetapi karena ayah Calvin adalah ayah Randu juga.
Ayah Randu pernah berpacaran dengan ibu Calvin ketika masih muda. Tapi karena tak mendapatkan restu dari orang tua, akhirnya pupus hubungan mereka.
Ayah Randu menikah dengan ibu Randu yang sekarang, sampai hamil anak yang bernama Randu. Dan pada saat yang bersamaan, waktu itu ayah Randu masih diam-diam berhubungan dengan ibu Calvin sampai dia hamil Calvin.
Calvin terlahir tanpa ayah. Semuanya sejak kecil ibunya yang mengurus. Hingga beberapa tahun yang lalu, ibunya dilamar seorang lelaki yang tak lain adalah seorang mantan aktor. Hidup Calvin lengkap, tapi dia masih tak terima jika Randu bahagia dengan ayah kandungnya. Tak adil, katanya.
Meski sesekali ayah Randu memberikan materi untuknya. Tapi bukan itu masalahnya. Calvin ingin kasih sayang seorang ayah kandung!
Calvin yang sejak kecil selalu melihat ayah teman-temannya datang ke pertandingan di sekolah. Namun dia hanya sendiri di sana, tanpa ayah maupun ibu. Karena ibunya sibuk bekerja.
Dendamnya tumbuh ketika tahu jika ayah yang meninggalkannya itu memiliki seorang anak. Dan dia adalah Randu, rival di sekolahnya.
Keinginan Calvin untuk menjatuhkan Randu semakin menjadi, apalagi ketika melihat lelaki itu seolah memiliki semua yang dia mau.
Dan kekesalan Calvin memuncak ketika pacarnya menyukai Randu.
"Kamu udah pulang?" tanya ibu Calvin. Dia masuk membawa dua bungkus makanan cepat saji untuk anaknya.
Dia pasti baru saja pulang dari bisnis yang dirintis bersama dengan ayah tiri Calvin.
"Udah," jawab Calvin malas.
Calvin dilarang menemui ayahnya setelah ibunya menikah dengan suaminya yang sekarang. Alasannya agak tak masuk akal, katanya tak enak pada ayahnya saat ini.
"Gimana sekolah?"
"Lancar."
"Tetep jadi mau dokter?"
"Iya, lagian udah punya ayah, jadi bebas kan mau kuliah jurusan apa," jawab Calvin.
Awalnya dulu Calvin mau bekerja saja setelah lulus sekolah. Tapi melihat ibunya sudah memiliki suami lumayan berharta, akhirnya dia berbelok dan memilih untuk menjadi dokter.
Agar nanti ayah Randu menyesal karena meninggalkannya.
"Makan dulu sana," suruh ibunya.
"Males, makan junkfood terus. Sekali-kali mau makanan rumahan." Calvin bersandar pada sofa. Hanya menatap makanan yang sudah dibelikan oleh ibunya tadi.
"Ibu kan sibuk."
"Alasan ibu dari dulu itu, gak pernah ada alasan lain."
"Kamu ini kenapa sih? Mau ibu masak? Ibu capek."
"Ya udah kalo gak mau. Mending beli ke warteg apa masakan padang." Calvin meraih jaket denimnya. Ia hanya melepaskan baju seragamnya saja meninggalkan kaos putih polos yang ia tutup dengan jaket.
Ia menuju garasi, menstarter motornya sengaja dengan kencang agar ibunya tahu kalau dia sedang muak.
Calvin meluncur ke rumah masakan padang terdekat. Kalau dipikir-pikir, dia lebih banyak menghabiskan waktunya makan di luar daripada di rumah.
Sesampainya di sana, dia senang melihat bayangan Claudia sedang memesan makanan.
"Makan di sini juga, Clau?"
Claudia menoleh dan terkejut mendapati Calvin sudah berdiri di sampingnya.
"Oh, iya kak. Abisnya ibu belum pulang, terus si bibik lagi sakit," jawabnya.
"Makan bareng yuk, males nih makan sendiri."
Claudia mengangguk. Piring berisi ayam bakar dan sayur daun singkong itu sudah ada di tangan, tinggal ia memilih meja makannya.
Karena kerap makan siang di sana, pemilik warung jadi hafal dengan Claudia. dan terkadang memberikan bonus minum pada gadis itu.
"Kakak suka makan di sini emang?" tanya Claudia pada Calvin.
"Iya suka, kalau ibu gak masak." Padahal tiap hari gak masak.
"Oh, tapi jarang ketemu ya. Aku juga ke sini, soalnya rasanya di sini yang paling enak."
"Iya bener." Calvin tertawa, obrolan mereka menjadi panjang. Apalagi ketika dia sadar kalau Claudia ternyata asik juga untuk diajak ngobrol.
"Gue traktir deh hari ini," ucap Calvin tiba-tiba.
"Dalam rangka apa?"
"Hmm." Calvin berpikir sebentar. "Buat tanda permintaan maaf soal bola tadi."
"Oh, aku udah lupa kok."
"Gak apa-apa sekali-kali."
**
Randu melihat sebuah pesan masuk dalam ponselnya. Ia mengintip sebentar ternyata dari Nila teman sekelasnya yang doyan sekali dengan gossip di sekolah.
Tampak Nila mengirim sebuah foto untuk Randu. Awalnya Randu malas, apalagi kalau sampai Nila mengirim foto selfie dirinya untuk Randu.
Tapi karena penasaran akhirnya Randu membukanya. Dan kaget ketika melihat sebuah foto di mana Claudia dan Calvin sedang makan bersama.
"Oh jadi udah putus? Emang maunya gitu?" gumam Randu kesal.
Asalkan bukan Calvin, Randu tak akan masalah. Tapi dia tahu sendiri kalau Calvin ada dendam karena pacarnya dulu menyukai Randu.
Randu cuma takut kalau sampai Claudia hanya dimanfaatkan oleh cowok itu.
Namun … Randu tersadar sesaat kemudian. Kalau dia tak beda jauh dengan Calvin. Memanfaatkan Claudia karena hatinya yang kosong.
Randu mengetikan sesuatu di keyboardnya. Dengan tenang dan santai.
Randu: Oke kalau mau putus, gue terima. Tapi kalau sampai lu nyesel pacaran sama Calvin jangan salahin gue.
Tak ada balasan dari Claudia meski sampai malam sekalipun.
Karena muak, Randu menelepon Silvi.
"Sil, mau jalan-jalan gak? Gue BT."
"Tumben??"
"Mau gak?"
"Mauuuuu?!!!"
"Ya udah tunggu gue di rumah lo ya, gue ganti baju dulu."
"Oke oke." Bak gayung bersambut, mana mungkin Silvi nolak ajakan Randu.
Siapa tahu mereka bisa pacaran, apalagi Silvi tau kalau hubungan Randu dengan Claudia itu lagi gak baik-baik aja.
Setengah jam kemudian Randu sudah ada di depan rumah Silvi. Dia dandan rapi dan keren. Potongan rambutnya ia rubah sedikit dan mirip seperti boyfriend material.
Dan hal itu membuat Silvi semakin klepek-klepek dibuatnya.
"Jalan-jalan ke mana nih?" tanya Silvi yang langsung naik ke atas motor Randu.
"Yang penting bukan di kuburan, kan?"
**
Claudia membaca chat Randu. Tapi tak ia balas. Akhirnya penderitaannya menjadi pacar Randu berakhir juga.
Ia bisa lepas dan bebas. Dan itu adalah keinginannya sejak mos waktu itu.
"Putus ya putus, oke. Emang siapa takut?" gumam Claudia.
"Paling lo jadian sama Silvi kan? sejak awal kan kalian emang udah ada niatan pacaran? Kalau gak ngapain mau ciuman di belakang pohon."
Claudia menghapus nomor Randu, tapi sebelumnya dia memblokir nomor lelaki itu.
Berharap kalau semuanya benar-benar sudah berakhir. Tak ada Randu lagi dalam hidupnya setelah ini.
Tapi diam-diam. Di lubuk hati Claudia paling dalam, dia sedikit tak rela jika Randu bersama dengan Silvi. Terlalu sempurna menjadi pasangan.