Entah apa yang dipikirkan oleh Claudia saat ini. Bagaimana dia bisa berdiri di atas sebuah panggung di mana banyak anak baru yang tengah menatapnya dengan penuh keheranan.
Tak lupa ada beberapa puluh pasang mata kakak kelasnya yang berdiri di samping panggung dan duduk di paling depan dengan senyum meledek di bibir mereka.
Sepertinya itu adalah adat lama makanya mereka seperti sudah tahu apa yang akan dilakukan oleh Claudia saat ini.
"Buruan dong nyanyi!" seru seorang kakak kelas dengan wajah tengilnya.
Claudia salah. Ternyata mereka berpikir jika dirinya akan menyanyikan sebuah lagu di atas panggung tersebut.
"Saya tidak akan menyanyi di atas panggung ini." Suara Claudia yang aslinya merdu terdengar sember dan pecah karena gugup.
Ia melihat ke arah Randu yang saat ini sedang berdiri di belakang kursi paling ujung dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan.
"Sialan!" rutuk Claudia dalam hati.
"Terus mau ngapain? Jualan gorengan?!" tanya seorang kakak kelas berjenis kelamin perempuan.
Yang pasti dia tak suka Claudia berada di atas panggung, karena banyak teman seangkatannya langsung memandang ke arah Claudia dan menjadi pusat perhatian.
"Saya di sini … mau mengatakan sesuatu untuk …"
"Untuk siapa?!" celetuk seorang kakak kelas.
Claudia memang nekat, bahkan dia lebih memilih untuk mendapatkan tanda tangan dengan cara seperti itu daripada mengemis pada sepuluh kakak kelasnya.
"Untuk Kak Randu." Claudia memejamkan matanya karena malu.
"Cieeee?!" Suara teriakan yang begitu norak terdengar dalam aula tersebut.
"Untuk Kak Randu—saya suka dengan Kakak. Mau gak jadi pacarku." Suara Claudia benar-benar hampir habis gara-gara dia mengatakan hal norak tersebut.
Ini bukanlah acara televisi di tahun 2000-an di mana mengatakan cinta di hadapan banyak orang. Zaman sudah maju di mana mengungkapkan perasaan tak harus banyak diketahui khalayak ramai seperti ini.
Randu yang berada di paling belakang disenggol salah satu temannya.
"Cie, lo kerjain ya. Itu muka Silvi liat tuh sampai asem banget kayak ketek kuda," goda Kafka teman satu kelasnya sekaligus sahabatnya.
"Biarin aja, kapan lagi gue bisa kerjain anak kelas satu," sahutnya melirik ke arah Kafka.
Randu maju setelah disuruh maju oleh MC yang bertugas. Dengan langkahnya yang penuh dengan percaya diri, semua anak kelas satu terutama siswa perempuan memandangnya penuh dengan tatapan cinta.
Di antara kakak kelas yang lain memang hanya Randu yang paling sedap dipandang mata. Dia naik ke atas panggung dengan percaya diri, merebut mic yang sedang dipegang oleh Claudia.
"Jadi gimana nih, Randu?" tanya MC pada Randu.
Randu tersenyum pada MC kemudian Claudia.
Claudia sungguh tak berharap kalau Randu akan mengiyakannya. Karena ia pikir ini hanyalah salah satu cara kakak kelas untuk mengerjainya.
"Oke. Kenapa enggak?" jawab Randu.
Mata Claudia lagi-lagi membulat. Dia hampir saja tersedak karena jawaban dari Randu.
"Kak," bisik Claudia. Tapi tak dihiraukan oleh Randu.
Dan suara sorak sorai terdengar begitu Randu mengatakan kalau mulai hari itu dia akan jadian dengan Claudia.
**
Claudia masih tak mengerti mengapa Randu melakukan hal itu padanya. Apa itu salah satu hukuman untuknya? Membuatnya mengatakan cinta dan menjawabnya dengan jawaban iya. Semua itu tadi tidak sesuai dengan naskah yang diatur oleh Randu sebelumnya. Tetapi kenapa jadi berubah tiba-tiba?
Kini ia sedang melipat bibirnya dan berjalan di belakang Randu dengan wajah yang cemberut.
Claudia sudah lelah apalagi karena kejadian ini. Yah, meskipun dia beruntung karena langsung mendapatkan sepuluh tanda tangan dari kakak kelas lainnya.
"Tanda tangan buruan, buat cewek gue," suruh Randu pada teman-temannya tadi sebelum acara menyerahkan buku tanda tangan usai. "Jangan kelewatan satu pun, tar gue begal kalau kalian pulang," ancamnya dengan nada serius tapi bercanda.
Dan tak ada hitungan menit, Claudia sudah merampungkan tugas yang melelahkan tersebut.
"Lo kenapa masih manyun?" tanya Randu. Ia berhenti tiba-tiba membuat wajah Claudia membentur punggung Randu. Wangi.
"Gue udah kasih semua tanda tangan mereka kan?"
Claudia mengangguk lemah.
"Terus kurang apa lagi?"
"Itu—yang tadi. Yang pacaran, itu bohongan kan?" tanya Claudia takut-takut.
"Beneran. Gue kan udah jawab iya. Kenapa bohongan?"
Gila! Mana mungkin ucapan Claudia tadi bisa dikatakan serius, padahal semua ini adalah salah satu sandiwara dari Randu. Bahkan dia sama sekali tidak memiliki perasaan pada kakak kelas yang ternyata ketua dari tim taekwondo di sekolahnya.
"Lo gak suka sama gue? Gue banyak yang suka, jadi anggap aja lo beruntung bisa dapetin gue," kata Randu dengan santai.
Sementara Claudia menautkan kedua alisnya karena tak mengerti apa jalan pikiran Randu saat ini.
"Udah sana pulang, gue masih ada urusan."
"Urusan apa? Sama cewek yang tadi?"
"Kenapa? Lo cemburu? Tadi bukan cewek gue, dia cuma suka sama gue."
"Aku gak nanya."
"Terus barusan apa?"
Claudia diam. Dia bergerak menuju parkiran setelah diantar oleh Randu sampai di pintu parkiran motor.
"Tunggu bentar." Randu menarik tas ransel milik Claudia, hingga lagi-lagi tubuh gadis tersebut hampir tertarik ke belakang lagi.
"Apa?" tanya Claudia lesu.
"Ikat dulu tali sepatunya." Randu menunjuk tali sepatu Claudia yang terlepas dengan matanya.
Ketika Claudia berjongkok, lelaki itu pergi menuju ruang osis di mana para anggotanya sedang rapat.
"Gak mungkin pacaran kan? Pasti dia tadi bercanda," desis Claudia.
**
Malamnya, Claudia main ke rumah sahabatnya yang bernama Prita. Dia ingin menceritakan apa yang sedang terjadi padanya selama satu harian ini.
"Dan gue akhirnya menyatakan cinta di depan anak-anak kelas satu dan anggota osis di atas panggung," tutup Claudia dengan desahan napas yang sangat berat.
Prita yang sedang menggunakan krim malam untuk wajahnya melihat bayangan Claudia dari cermin di depannya. Dia terkekeh kemudian tertawa.
"Lo terus jadian sama dia?" tanya Prita.
Claudia mengangguk. "Dia jawab iya, pas gue tanya lagi katanya iya. Padahal gue pikir bakalan bercanda doang, Prit."
"Ya gak apa-apa lah, lagian siapa lagi yang mau sama lo cewek apa adanya begitu," ledeknya.
"Bukan begitu." Claudia duduk di tepi ranjang sambil memandang sahabatnya yang masih sibuk dengan krim malamnya.
"Kan aneh aja gitu, masa jadian gara-gara itu. Terus sebelumnya gue mergokin dia mau ciuman sama cewek lain lho?!"
"Ya jalanin aja dulu, atau kalau gak lo besok coba berangkat minta anter sama si Gavin, cemburu apa gak, Clau."
"Iya ya. Coba begitu. Tapi kalau dia cemburu gimana?"
"Ya udah jadian aja, lagian kata lo dia cakep kan?"
Claudia mengangguk. Tak hanya tampan tetapi ternyata lelaki yang bernama Randu itu nilai akademisnya sangat bagus, bahkan memiliki peringkat nomor satu di sekolah.
"Cakep sih, tapi kalau ngeselin gimana?"
Prita tertawa. "Gak apa-apa selama dia good looking, sih," sambarnya.
"Namanya siapa, Clau. Kalau dia emang ganteng pasti terkenal di sekolah lain."
"Namanya Randu, Randu Ekadanta kalau gak salah," jawab Claudia tenang.
Sementara wajah Prita seketika mendung ketika mendengar nama itu.