Perasaan tak enak dirasakan oleh Claudia karena malam itu ponselnya sama sekali tidak menerima pesan dari Randu. Padahal biasanya lelaki itu akan mengirimkan pesan padanya meski hanya satu dua kata.
"Lo nungguin chat dari Randu?" tanya Prita yang malam itu bermain ke rumah Claudia.
"Gak, jangan sok tau," sangkalnya.
"Gimana rasanya pacaran sama cowok macam Randu?" tanya Prita.
"Gak gimana-gimana, biasa aja."
Prita tersenyum tipis kemudian duduk di sebelah Claudia. dia menatap wajah temannya itu kemudian turun ke layar gawainya. Claudia memang sedang menunggu chat dari Randu.
"Mending putus aja deh sama dia, dia kayaknya aneh ya, Clau," saran Prita.
Sontak Claudia menoleh ke arah Prita heran. Mengapa dia tiba-tiba seakan tidak merestui hubungannya dengan Randu. Padahal sebelumnya dia yang menyuruhnya untuk jadian.
Ya, Randu memang sedikit aneh sih. Namun kalau dipikir lagi, tiap omongan Randu ada benarnya juga. Hanya saja Claudia masih belum terbiasa bersama dengan lelaki seperti Randu.
"Lo gak penasaran dia lagi sama siapa sekarang? Kali aja kan dia lagi sama cewek lain." Prita mencoba untuk memanasi Claudia.
"Ya, wajar sih dia sama cewek orang dia banyak yang suka."
"Lagian juga—gue belum suka sama dia," gumam Claudia.
Ia mengatakannya sedikit ragu. Apa karena dia mulai ada perasaan untuk Randu meskipun hanya sedikit saja?
Bayangan Randu dan Silvi selalu menganggunya setiap hari. Dan bayangan itu akan berganti dengan bayangan betapa mudahnya Randu menjawab pertanyaan dari Claudia pada saat dia menembaknya di atas panggung.
Aneh memang jika dipikirkan lagi, apalagi ia baru bertemu dengan Randu hari itu.
Dan pagi harinya ketika Claudia berangkat ke sekolah membawa motornya sendirian. Tak ada sosok lelaki itu lagi yang biasanya menunggunya di depan gerbang jika dia berangkat ke sekolah.
Jujur saja—Claudia merasa sedikit kehilangan sosok Randu yang seenaknya saja padanya tetapi juga peduli padanya.
Dan ketika dia hampir sampai di parkiran sekolah. Sekilas Claudia melihat Randu sedang berbicara dengan gadis-gadis kelas dua lainnya.
Tampak sangat akrab dan dekat membuat Claudia berpikir apakah Randu memutuskan hubungan dengannya karena pertanyaannya yang kemarin?
"Ah bodo amat!" dengkus Claudia, meski dalam hatinya dia merasa tak enak ketika melihat pemandangan tadi.
Lalu ketika dia berjalan menuju kelasnya, Claudia melirik sedikit ke arah kelas Randu dan lelaki itu sedikit pun tak melirik ke arahnya.
"Kayaknya emang cuma mainan aja, makanya dia begini. Lagian jadian juga cuma karena waktu MOS itu," gumam Claudia.
Namun Claudia tidak tahu ketika dia sedang berjalan menuju kelasnya Randu melihatnya dari kejauhan.
"Lihat apaan si, Ran," tanya Arumi sambil melihat ke arah di mana Randu memandang.
"Kepo, udah sana pergi. Gue mau duduk sendiri," usir Randu.
"Ngeselin banget lo, untung good looking. Kalau enggak udah gue geprek," timpal Widia yang tak bisa marah karena dia adalah Randu.
Kafka duduk di sampingnya sambil menatap wajah temannya itu dari samping. Kemudian dia tertawa karena melihat kelakuan Randu yang seperti anak kecil.
"Udah sana samperin! Gengsi amat sih sama cewek sendiri," ledek Kafka.
"Biarin dia ngerasa kehilangan gue dulu."
"Beuh, siapa lo sampai dia harus kehilangan?" ledeknya lagi.
"Ya, kali aja. Abisnya gue kesel dia masih gak percaya sama gue."
Senyum Kafka luntur, tatapan penuh tawa tadi berganti menjadi sebuah tatapan penuh simpati.
"Gue juga gak percaya sih," desis Kafka.
"Lo mau gue diemin juga?" ancam Randu.
"Gue tau Ran, kenapa lo pacaran sama dia. Gue tau alesannya."
Randu memandang wajah Kafka kemudian meninju bahunya dengan bercanda.
"Jangan bilang sama dia kalau lo tau," ucap Randu.
"Lo gak kasihan sama dia?"
"Ya—awalnya gue emang niatnya ngerjain. Tapi semakin gue pengen ngerjain dia, gue malah—"
"Dia beda, Ran," desah Kafka.
"Gue gak bilang kalau dia sama."
"Terus? Lo kan aturan mau jadian kan sama Silvi waktu itu, tapi kenapa bisa ganti arah cepet banget?!"
"Ya karena dia nongol." Randu berdiri ketika mendengar bel berbunyi. "Udah jangan banyak tanya, ntar gue tampol jadi ganteng gak mau, kan?"
**
"Clau!" panggil Vina dari bangkunya. Tapi sedetik kemudian matanya menurun ke bawah dan melihat warna rok yang dikenakan oleh Claudia saat ini.
"Lho, kok lo masih pakai seragam SMP sih?!" tanya Vina bingung.
Claudia langsung melihat dirinya sendiri. Dan barulah dia sadar jika hari ini dia salah mengenakan baju seragam.
Bisa gawat kalau dia ketahuan salah seperti itu. Karena sebelumnya wali kelasnya mengatakan untuk mengenakan seragam SMA dan bagi yang tidak memakainnya dengan alasan apapun akan dihukum.
"Ih gimana ini, Vin." Claudia tampak gusar. Kalau dia dihukum benar-benar sangat memalukan.
Belum lagi tadi jika Randu melihatnya mengenakan seragam SMP pasti lelaki itu akan menertawakan kebodohannya.
"Gue pulang aja deh." Claudia langsung balik arah.
"Kenapa pulang? Emangnya bisa keluar seenak jidat kalau udah masuk?" tanya Vina.
Pantas saja sejak tadi banyak yang melihat aneh ke arah Claudia, ternyata karena dia masih mengenakan seragam SMP-nya.
"Ke tata usaha coba, di sana ada rok abu-abu."
Dan tanpa menunggu lama, akhirnya Vina dan Claudia berlari menuju ke tata usaha yang biasanya menjual asesoris seragam dan peralatan menulis di sana.
"Sembilan puluh ribu harganya," kata penjaga tata usaha di sekolah Claudia.
Pundak Claudia merosot mendengar harga tersebut, uang jajannya sudah ia belikan bensin tadi pagi dan kini tinggal dua puluh ribu.
"Vin pinjem ada gak?" tanya Claudia penuh harap.
"Ada nih 20 masih kurang berapa?"
"Kurang lima puluh ribu lagi." Claudia hampir menangis lagi, dia tak bisa membayangkan kalau dirinya sampai dihukum untuk berdiri di lapangan sambil hormat di depan tiang bendera selama dua jam pelajaran.
Dihukumnya sih gak apa-apa, tapi malunya itu!
"Nih pakai aja dulu." Seorang lelaki menyodorkan uang lima puluh ribuan pada Claudia.
Lagi-lagi Claudia malu, karena yang memberikan uang adalah Randu.
"Tapi—"
"Udah buruan beli, jam pelajaran udah mau dimulai," potong Randu.
"Lha, terus kita foto copy LKS ini pakai duit siapa, Ran?" tanya Kafka bingung. "Gue gak ada duit lho, ada sepuluh ribu pasti kurang."
"Utang dulu, boleh kan, Mbak?" tanya Randu sambil menggoda petugas tata usaha yang masih muda tersebut.
Berbeda ketika wanita itu memperlakukan Claudia dengan judes, tapi pada Randu wanita itu sangat ramah. Atau bisa dikatakan teramat sangat menjadi ramah.
"Boleh Ran, tapi nanti pulang anterin ya?" tanyanya.
"Oke," jawabnya.
Sekejap Claudia tak suka Randu seperti itu pada wanita lain.
"Nih gak usah, mending dihukum aja." Claudia menyerahkan uang pada Randu lagi. Dan meninggalkan ruang tata usaha begitu saja tanpa membelinya.
"Lo sengaja ya bikin dia cemburu?" bisik Kafka.
"Lo tau kan gue gimana?" tanya Randu dengan senyum penuh makna sambil menatap kepergian Claudia.