Terpaksa Claudia menaiki motor empat tak milik Randu. Masih mengenakan rok zaman SMP membuat keduanya sangat kontras karena Randu mengenakan seragam putih abu-abu.
"Kita makan dulu," ajak Randu.
"Aku gak laper."
"Tapi gue laper."
Claudia diam.
"Gue gak mau nanya lo mau makan apa, karena gue gak mau denger jawaban terserah."
Motor melaju sedikit kencang membuat Claudia memegangi pinggang Randu agar dirinya tidak terjatuh ke atas aspal.
Motor Randu membawanya menuju sebuah tempat makan di mana dia baru pertama kali ke sana.
"Sate kambing?" tanya Claudia pada dirinya sendiri. "Pantesan darah tinggi terus," gumam Claudia.
"Kenapa? Lo liat apaan sih."
"Mau makan sate kambing, Kak?" tanya Claudia takut-takut.
"Bukan."
"Terus."
"Liat tuh."
Claudia melirik warung yang ada di samping sate kambing. "Bakso rudal," desis Claudia dengan wajah datarnya.
**
Besoknya ....
Claudia pingsan!
Sebelum latihan paskibra, mereka diwajibkan untuk pemanasan dan berlari mengelilingi lapangan sebanyak tiga kali untuk perempuan dan lima kali untuk lelaki.
Tetapi sayangnya pada putaran kedua Claudia pingsan di tempat. Saat itu Randu yang masih berkutat di laboratorium tidak tahu kalau Claudia pingsan di pinggir lapangan, sampai akhirnya Heru mengabari Randu di lab biologi.
"Ran!" panggil Heru dengan napas terengah-engah.
Randu yang dipanggil menoleh, begitu pula Silvi yang masih mencatat di buku catatannya.
"Kenapa?" tanya Randu dengan ekspresi wajah datarnya.
"Cewek lo! Cewek lo si Claudia, pingsan!" ucapnya.
Randu menghela napasnya. Kemudian fokus pada mikroskop yang ada di depannya.
"Lo urus aja, dia kan anggota lo bukan anggota gue," serunya. Membuat Silvi terseyum penuh kemenangan.
Sementara itu Heru terkejut mendengarkan respon dari Randu. Ia tidak tahu mengapa Randu menjadikan Claudia pacar jika dirinya tidak perhatian seperti saat ini.
Padahal kemarin dia sempat ikut campur atas keputusan dari Claudia.
"Ya udah deh," kata Heru menyerah. Dia kembali ke lapangan untuk latihan lagi.
Randu menatap ke mana Heru pergi, lalu melanjutkan kegiatannya yang sempat terhenti.
"Gak dijenguk tuh cewek?" tanya Silvi seakan memanasi.
Randu menatap wajah Silvi kemudian menaikkan satu alisnya. "Bukan urusan lo, Sil," sahutnya.
**
Setelah pingsan beberapa waktu kemudian Claudia sadar dan mendapati dirinya sudah berada di ruang UKS.
Tak ada siapa-siapa di sana selain dirinya sendiri. Bahkan dia tidak tahu siapa yang menggendongnya tadi menuju ke ruang UKS.
Vina masuk ketika Claudia hendak mengenakan sepatu. Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, jadi pasti semua teman-temannya yang latihan sudah bersiap untuk pulang.
"Udah sadar?" tanya Vina dengan keringat membanjiri wajahnya.
"Udah," jawab Claudia.
"Gimana rasanya tadi?" tanya Vina membuat Claudia bingung.
"Rasa apa? Pingsan? Ya gak tau lah," jawab Claudia kemudian dia mengambil tas yang ada di kursi depan meja petugas UKS. "Makasih ya, Vin. Udah ambilin tas gue," kata Claudia.
"Bukan gue yang ambilin."
"Terus siapa?"
"Cowok lo lah, makanya gue tanya tadi gimana rasanya di gendong sama cowok ganteng seantero sekolah?"
"Hah?! Randu gendong gue? Kok bisa?!"
Sebelumnya …
Usai mengatakan hal itu pada Silvi, Randu menyuruhnya untuk menyelesaikan sisa tugasnya.
Dia langsung berlari ke arah lapangan di mana Claudia saat itu pingsan. Dan ketika Claudia hendak digendong oleh seorang petugas UKS, Randu menyuruhnya untuk menurunkan Claudia.
"Biar gue aja, Dit," ucap Randu pada Adit petugas UKS.
Lalu Claudia diberikan pada Randu, dan digendongnya menuju ruang UKS. Dia juga yang telah membawa tas Claudia menuju UKS agar pacarnya tersebut tidak perlu ke kelasnya lagi.
"Dia aneh banget tau gak sih," gerutu Claudia.
"Lo yang aneh, punya cowok ganteng tapi disia-siain. Asal lo tau aja, tadi ada banyak cewek yang langsung liatin Kak Randu sampai ke UKS. Liat mukanya panik banget waktu bawa lo ke sini," ungkap Vina.
Claudia hanya diam. Dia tak bisa merespon apa-apa lagi.
"Yuk pulang," ajak Claudia.
"Lo udah ditungguin sama cowok lo, gue ke sini cuma mastiin lo kalau masih idup."
"Sialan," kekeh Claudia.
Dia berjalan dan keluar dari ruang UKS. Di sana dia melihat Randu sedang bermain dengan gawainya. Mungkin sedang bermain game atau melihat sosial medianya.
"Udah sadar?" tanya Randu tanpa melihat ke arah Claudia.
"Udah," jawab Claudia. setelahnya Randu berdiri kemudian pergi ke parkiran.
"Lo tunggu di sini, gue mau ambil motor dulu."
Randu pergi ke parkiran melewati anak kelas X yang baru saja usai berganti baju. Mereka langsung melirik ke arah Randu ketika lelaki itu melewati gadis-gadis tersebut.
Kemudian setelah agak kejauhan para gadis berdecak senang karena bisa melihat wajah Randu dari dekat.
Namun entah mengapa Claudia belum merasakan apa-apa pada Randu. Padahal lelaki itu sudah berusaha menjadi pacar yang baik untuk Claudia, meski dalam versi Randu.
Apa mungkin gara-gara kejadian di atas panggung itu? Atau ketika dia tak sengaja memergoki Randu di semak-semak beberapa hari yang lalu? Makanya dia masih kesal dengan Randu dan belum ada rasa tertarik padanya.
Entahlah, hanya saja Claudia merasa ada yang aneh pada Randu. Mengapa lelaki itu bisa jatuh cinta padanya secepat itu dan langsung bisa menjadi kekasihnya.
Claudia menghela napasnya ketika Randu sudah berhenti di depannya. Rasanya ingin sekali ia bertanya mengenai perasaan Randu saat ini padanya. Karena bisa saja semua itu hanya permainan Randu seperti taruhan atau semacamnya.
"Bisa bicara sebentar?" tanya Claudia.
Randu membuka helm full face-nya. Rambutnya yang hitam sempat tertarik ke atas, menampakkan keningnya yang paripurna dan membuat lelaki itu menjadi sedikit berbeda.
Ada beberapa detik perasaan aneh pada hati Claudia ketika melihatnya barusan. Semacam kekaguman pada lelaki yang memiliki tinggi 180 cm tersebut.
"Mau bilang apa? Laper?" tanya Randu.
"Bukan."
"Terus?"
"Itu—masalah kita."
"Kenapa sama kita?"
"Kita—emang bener pacaran? Terus—kenapa kita pacaran cepet banget gak ada prosesnya, aku masih gak percaya."
Randu memutar bola matanya, jengah. Sudah berapa kali ia mendengar pernyataan tak percaya dari Claudia seperti sekarang ini.
"Jadi lo masih gak percaya?"
"Setelah semua yang udah gue lakuin ke lo?" tanya Randu sewot.
"Ya, bukan begitu. Kan kita baru kenal—masa." Claudia tak melanjutkan kalimatnya ketika melihat Randu memakai helm-nya kemudian menarik gasnya meninggalkan Claudia.
Mata Claudia basah, sebegitu tersinggungnya Randu pada pertanyaannya barusan? Sampai dia meninggalkannya sendirian seperti ini.
Padahal sekolah sudah mulai sepi. Ponselnya mati dan tak tahu bagaimana caranya dia pulang. Sementara sekolahnya menuju jalan raya lumayan jauh.
Claudia yang masih tak percaya mencoba berjalan sampai gerbang sekolah. Dan di sana dia melihat kakak kelas yang selalu bersama dengan Randu bergerak dengan motornya menuju ke arahnya.
"Gue anter, Clau!" ucap Kafka.
Claudia bingung bercampur heran. Dari mana Kafka tahu kalau dirinya saat ini sedang bingung harus pulang naik apa.
"Randu yang nyuruh, kalian berantem ya?" kekeh Kafka. Kemudian menurunkan step pada motornya untuk Claudia.
"Iya," jawab Claudia polos.
Lalu mereka berdua pun meninggalkan sekolah. Dan dari kejauhan usai Randu melihat bayangan temannya sudah membawa Claudia pergi langsung berbalik arah dan pulang ke rumahnya.