Indramayu, Agustus 2008
Pak Ikhsan mengendalikan kemudi dengan santai. Perjalanan ini tidak aku lakukan sendirian. Ada Chrisant, Luna, Nuri dan Bina yang juga ikut dalam tim penelitian. Kami berlima bertugas menyusun laporan penelitian tentang nafkah anak pasca perceraian. Indramayu dipilih karena menjadi salah satu kota dengan tingkat perceraian tertinggi.
Kami sampai di hotel yang dipilihkan saudaraku. Kebetulan mertua Kak Rimbun keturunan Arab Indramayu. Ini hotel syar'i katanya. Tetapi tempatnya sangat tidak layak. Bangunannya tua dan lapuk. Kamarnya besar tapi kotor. Jendela dan pintu tidak bisa dikunci dengan benar. Ubin kamar mandi berkarat. Tirai dan sprei banyak yang robek. Sebenarnya pemilik hotel ini sangat ramah, tetapi istrinya judes dan selalu cemberut. Kami tak kerasan.
Saudaraku lalu memilihkan rumah yang lain. Rumah kosong milik anggora DPRD yang sedang tinggal di rumah dinas. Kami boleh tinggal gratis di sana. Saat aku memasuki rumah, firasatku sudah tidak enak. Ada isim menggantung dimana-mana. Wajarlah, namanya juga rumah politisi. Kami menempati kamar di lantai 2. Hari ini kami lebih banyak diskusi. Esok, baru kami pergi ke lapangan.
Hari kedua, kami mendatangi Pengadilan Agama Indramayu. Pagi-pagi, Kak Halida, saudaraku, sudah membawakan kami sarapan nasi lengko. Ini mirip dengan ketoprak, tetapi rasanya jauh lebih manis. Syukurlah, pagi ini kami bisa menyantap kuliner khas Indramayu sebelum bertugas. Kami menyewa dua becak untuk ke Pengadilan Agama. Sebenarnya aku sedang sakit. Sekuat tenaga, aku menahan rasa ngilu di telinga, agar tetap bisa bertugas dengan baik.
Sekitar jam 9 pagi, kami sampai di Pengadilan Agama Indramayu. Belum banyak aktivitas yang berarti. Aku dan Chrisant melihat papan pengumuman. Sementara Luna, Nuri dan Bina masuk ke ruang kesekretariatan untuk menyerahkan surat tugas. Sambil menunggu mereka bertiga, aku dan Chrisant duduk di ruang tunggu. Persis di sebelah kami ada perempuan belia dan lelaki sedikit tua (usianya 40 tahunan). Chrisant menyapa dengan ramah.
"Permisi, Mbak."
Perempuan belia itu mengangguk ramah. "Silahkan."
"Lagi tunggu apa, Mbak?" Tanya Chrisant.
Perempuan belia itu mengangguk lagi. "Putusan cerai, Mbak."
"Oh, usianya berapa tahun?" Tanya Chrisant lagi
"Enam belas tahun." Jawab perempuan belia.
Masih muda sekali dan sudah menghadapi perceraian. Chrisant makin penasaran. "Ditemani ayahnya, ya?"
Perempuan itu tersenyum malu-malu. "Bukan, ini calon suami saya yang baru."
"Hah?" Chrisant tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya.
Aku hampir saja tertawa. Aku tidak terlalu terkejut. Justru aku ingin tertawa melihat reaksi Chrisant yang spontan dan tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya. Perempuan belia itu jadi merasa tidak enak dan calon suaminya terlihat tak senang hati.
"Yaah...di sini memang begitu, Mbak," ujar petugas Pengadilan Agama saat aku cerita pengalaman di luar tunggu. Kami ngobrol sambil memeriksa satu per satu Putusan Cerai yang ada di sana.
"Malah ada Mbak, yang dalam setahun sudah cerai tiga kali," ujarnya lagi
Kali ini Nuri yang kaget. "Loh? Kok bisa begitu?"
Petugas Pengadilan Agama Indramayu menjawab santai. "Yaa...kalau musim panen kawin, kalau musim paceklik cerai."
Kami masih sibuk mengurai berkas Putusan Cerai dari tahun 2004-2007. Luna dan Bina sedang wawancara dengan salah satu hakim Pengadilan Agama Indramayu. Usai mendapat Salinan Putusan Cerai yang kami butuhkan, aku, Chrisant dan Nuri mengamati suasana Pengadilan Agama Indramayu.
"Pasangan Asih dan Solihin…"
Petugas Pengadilan Agama memanggil nama pasangan yang hendak bercerai. Tidak sampai 10 menit, pasangan itu sudah keluar dari ruang sidang, mereka resmi bercerai.
"Pasangan Junaedi dan Sukesih…" Petugas Pengadilan Agama memanggil pasangan lainnnya.
Kami berpandangan. Sidang Perceraian tak ubahnya Sidang Perkara Lalu Lintas. Seperti sedang melihat orang yang disidang setelah kena tilang. Semua dibuat cepat dan mudah. Sedikit sesal menelusup dalam hati. Andaikan pernikahan hanya sekelumit cerita tentang dua orang yang jatuh cinta, pasti tak akan terlalu rumit jadinya.
Tetapi pernikahan yang berakhir perceraian seringkali menoreh luka di mata para bocah. Mereka yang dengan terpaksa harus menyandang gelar "Anak Korban Perceraian".
Tak lama, Luna dan Bina keluar dari ruangan Hakim. Tugas kami hari ini selesai. Sambil makan malam, kami sedikit mengulang cerita di Pengadilan Agama. Kebetulan kak Halida datang malam ini. Kami bisa bertanya padanya.
"Yah begitulah...malah di sini ada pasar jodoh." Kak Halida santai saja melihat rasa heran yang ada pada wajah kami.
Kami saling bertatapan dan bingung. "Pasar jodoh?" Tanya kami serentak.
Kak Halida mengangguk. Masih dengan santai. "Jangan bayangkan seperti pasar betulan. Tidak ada yang jualan di sana. Hanya laki-laki dan perempuan yang sedang cari jodoh. Kalau cocok ya nikah, kalau ternyata salah pilih tinggal cerai dan cari pasangan lagi di pasar jodoh."
"Hahaha....harusnya aku ada di pasar itu." Aku tertawa miris
Nuri istighfar berkali-kali. Sementara Bina langsung menyela. "Hush! Jangan sembarangan! Pernikahan kan tidak sesederhana itu."
"Oh ya, katanya di sini tingkat perdagangan dan prostitusi anak cukup tinggi. Kenapa bisa begini?" Luna menimpali
"Ada budaya luruh duit yang konon masih eksis di sini." Spontan aku menyela.
Kening Chrisant mengernyit. "Luruh duit?"
Aku mengangguk lagi, "Mungkin bisa diartikan dengan bergelimang harta. Biasanya anak perempuan yang masih kecil dipaksa masuk lubang prostitusi. Menemani lelaki kaya di warung pinggir jalan. Itu tak dipandang sebagai kesalahan. Justru saat si anak terkenal dan kaya, malah jadi kebanggaan"
"Loh kok gitu? Anak kan titipan Tuhan. Masa malah harus kerja di warung remang-remang." Bina protes lagi
Kali ini aku hanya mampu menarik napas. "Huft...budaya. Tak semua budaya perlu lestari. Beberapa budaya justru menyeret perempuan dan anak sebagai pihak yang paling lemah dan tak berdaya. Lalu, kemiskinan, saat orang miskin butuh makan, maka moral menjadi asap yang membumbung tinggi tanpa bisa diraih."
"Kelaparan di tengah daerah kaya begini? Bukannya hasil laut Indramayu melimpah? Saat pengamatan lapangan tadi kulihat ada pengeboran minyak juga." Sekarang Nuri ikut bicara.
"Berapa harga solar sekarang? Berapa yang harus nelayan bayar untuk satu kali melaut? Berapa hasil yang mereka dapat dengan perahu kecil? Sementara para pencuri ikan menyedot dengan kapal besar. Jangan utopis! Sisa dari nelayan adalah petani gurem dan tadah hujan. Panen setahun sekali di atas tanah yang kurang dari 2 hektar. Saat musim paceklik tiba, mereka berangkat ke Jakarta, menekuni profesi lain, jadi pengemis. Satu orang hanya dapat kesempatan dua minggu, lalu dia akan digantikan dengan tetangganya yang juga jadi pengemis. Aku pernah bertemu dengan orang-orang itu. Mereka berkeliaran di sekitar kampus." Aku menjawab dengan nada agak tinggi
Bina menggeleng. Sedih melihat fenomena yang terjadi. Ya, realita hidup memang tak seindah diktat kuliah. Kami paham, bahwa masih banyak persoalan yang belum dijangkau oleh "menara gading" kaum intelektual. Malam itu kami tidur dengan sedikit gusar. Entah kejutan apa lagi yang menanti kami besok.
Hari ketiga di Indramayu. Aku dan Nuri ke Kampung Nelayan. Sementara Luna, Bina dan Chrisant ke tempat lain. Aku dan Nuri menuju Kampung Nelayan menggunakan becak. Indramayu lumayan panas. Maklum pesisir.
"Assalamualaikum…." Aku dan Nuri menghampiri sebuah gubuk yang ada tak jauh dari pantai.
Seorang bocah perempuan dengan rambut kumal dan tak beralas kaki menengok ke arah kami yang tersenyum.
"Ibunya mana?"
Anak itu tak menjawab salam kami, pun hanya menggeleng saat ditanya keberadaan ibunya. Ingus menetes dari hidungnya yang tak mancung. Kulit sawo matang mengkilap khas anak pesisir semakin menyala disengat matahari.
Seorang perempuan paruh baya keluar dari gubuk bambu. Aku tersenyum pada perempuan paruh baya itu. Perempuan paruh baya yang bernama Nek Mirah mempersilahkan kami masuk ke rumahnya.
"Dipakai sandalnya, Nok, rumah saya belum ada ubinnya, masih tanah."
Meski sebenarnya tak tega, tapi kami menurut saja. Bau amis menyeruak dari dalam rumah. Aku berusaha beradaptasi.
"Ibu Hasinah-nya ada?"
Nek Mirah menggeleng. "Inah anak saya, lagi kerja di Malaysia. Ini anaknya Inah, namanya Elis."
Nek Mirah mengelus kepala bocah perempuan tadi. "Elis salam sama Mbaknya."
Kami duduk di tikar yang digelar di atas tanah. Si kecil Elis terus mengikuti. Dia ingin tahu semuanya. Nek Mirah masuk ke dapur dan membuatkan teh manis untuk kami. Tak lama kemudian, dia mulai bercerita kisah hidup anaknya. Kami tak berhenti mencatat seluruh lakon yang didengung Nek Mirah.
Nama anaknya Hasinah. Menikah dengan pemuda bernama Mahmud. Mereka punya anak semata wayang bernama Elisah, yang biasa dipanggil Elis. Hasinah dan Mahmud tidak bisa mempertahkan rumah tangganya. Mahmud adalah seorang pemabuk yang berperingai kasar. Dia seringkali memukul istrinya. Mahmud juga pengangguran. Hasinah tak tahan dan menggugat cerai suaminya.
Kini tak ada yang tahu keberadaan Mahmud. Dia pergi tanpa memberi nafkah anaknya. Demi menyambung hidup, Hasinah menjadi TKW di Malaysia. Elis dititipkan pada Nek Mirah (ibunya) dan Ujang (kakak Hasinah). Nek Mirah dan Elis bertahan hidup dari penghasilan Ujang sebagai nelayan. Penghasilan Ujang memang tak menentu, tapi cukup untuk makan sehari-hari.
Aku membaca kembali catatan yang kubuat sore tadi. Ini baru awalan. Masih ada beberapa responden lagi yang harus aku temui. Besok akan jadi hari yang panjang. Tirai panjang tak menutupi jendela dan semuanya yang di luar sana. Gelap dan kelam. Tak ada cahaya bulan di langit malam.
Tak terasa sudah hari keempat di Indramayu. Hari ini aku, Chrisant dan Luna harus menemui responden di Kabupaten Indramayu. Tempatnya cukup jauh, tetapi bukan itu yang jadi persoalan. Masalahnya, alamat tempat ini tidak jelas. Sayang sekali, dalam salinan Putusan Pengadilan Agama Indramayu tak ada alamat lengkap para pihak yang bercerai.
Satu setengah jam sudah kami berjalan kaki mengitari jalan yang dituju. Pun tak ada yang mengenal Aida, perempuan yang kami cari. Luna yang kehausan berhenti sebentar untuk membeli di minum di pinggir jalan. Setengah putus asa, kami memutuskan untuk kembali saja. Saat kaki menuju jalan utama tempat angkot berhenti, kami terusik dengan bapak tua yang tengah membuat kasur.
"Ini kapuk, Nok, di Indramayu masih banyak orang yang tidur pakai kapuk." Pak tua sadar kalau dirinya tengah jadi perhatian.
Kami berhenti lagi. Menatap gumpalan halus bewarna kelabu. Tak putih benar seperti kapas. Kapuk lebih abu-abu. Bentuknya mirip gulali.
"Dari Jakarta, Nok?" Pak tua bertanya sambil terus mengisi kasur dengan kapuk.
Aku terhenyak. "Iya, Pak."
"Cari siapa?" Pak tua bertanya lagi.
Chrisant menarik napas sejenak. "Aida." Dia sudah tak punya lagi ekspektasi. Sudah lebih dari sepuluh orang ditanya alamat yang dia cari, dan tak satu pun yang tahu.
Pak tua mengalihkan pandangan dari kasurnya. "Aida anak Pak Ikin….Pak Salikin?"
Luna melihat nama yang tertera dalam Salinan Putusan Pengadilan Agama. Aida binti Salikin. Hatinya bersorak. "Ya! Aida anak Pak Salikin."
Pak tua berdiri dan menghampiri kami. "Oooh….Pak Ikin yang pelihara entok….sini, Nok. Dari sini balik arah, lurus sampai ketemu belokan ketiga di sebelah kanan, belok, lurus terus sampai ketemu Masjid. Nanti di sebelah Masjid ada rumah paling besar. Dindingnya dari keramik. Itu rumah Aida."
Chrisant langsung berbisik ke telingaku. "Memang si Aida pelihara entok?"
Aku berusaha menahan tawa. "Hihi...gak tahu, kita coba saja."
Seakan mendapat pencerahan setelah semedi tujuh hari tujuh malam, kami mencium tangan pak tua sebagai bentuk rasa khidmat. Benar kata Tolstoy, Tuhan tahu tapi menunggu. Justru di saat kami sudah menyerah, pertolongan Tuhan segera datang. Dalam hati, aku masih menahan geli.
Masyarakat desa lebih mengenal nama orang daripada alamat lengkap. Memasuki gang yang dituju, kami digoda beberapa pemuda yang duduk di pos ronda. Sedikit cuek, kami lewati kumpulan laki-laki yang tak berhenti bersuit.
Kami sampai di depan rumah paling besar di gang ini. Sekelilingnya dihiasi keramik hijau. Terbilang mewah untuk rumah di desa. Namun kami kembali kecewa, Aida yang dicari tak ada di rumah. Dia menjadi TKW di Saudi. Kami hanya bisa bertemu dengan Aini, kakak kandung Aida yang juga sedang bersiap-siap diberangkatkan sebagai TKW di Taiwan.
Malam belum larut saat kami memutuskan kembali ke tempat menginap. Hari ini kami sudah bertandang ke lima tempat dan hampir semua perempuan yang dicarinya tidak ada. Hanya Diyah yang bisa ditemui.
Diyah juga perempuan Indramayu yang cerai dari suaminya. Dia ditalak sang suami karena dinilai tidak shalihah. Pasalnya, Diyah menolak, saat sang suami yang pemabuk ingin memadunya dengan anak perawan Pak Haji.
Rumah tingkat dua tempat kami menginap sudah ada di depan mata. Bina dan Nuri juga sudah ada di sana. Usai ritual bersih-bersih, aku kembali bergulat dengan laptop.
Aida. Menikah tujuh tahun yang lalu. Dia ditinggalkan suaminya yang pergi menjadi TKI di Saudi. Aida sendirian membesarkan Sari, anak perempuan mereka yang masih bayi. Lima tahun kemudian suami Aida pulang. Tak ada kabar berita sebelumnya.
Sampai di Indramayu, suaminya bukan memberi nafkah hasil kerjanya di Saudi. Ironis, suami Aida justru menceraikannya. Meski Pengadilan Agama Indramayu memutuskan Sari harus dirawat Aida, namun mantan suaminya membawa kabur Sari ke Saudi. Hidupnya pun hancur.
Berbekal keberanian, Aida memutuskan untuk menjadi TKW di Saudi. Takdir ternyata punya kejutannya sendiri. Aida bertemu suaminya di Saudi. Suaminya sudah menikah lagi. Aida berusaha untuk mengambil Sari, namun dia gagal. Hingga kini Aida belum kembali dari Saudi. Rumah besar dengan keramik hijau menjadi bukti kerja keras Aida di Saudi.
Aku menutup wajahku sendiri dengan kedua telapak tangan. Duh Gusti! Begini betul nasib perempuan. Tak berdaya, terjajah budaya dan dihempas bagai angin lalu. Meski dia tak ubahnya lirih bayu pagi hari, namun rasa sakit selalu mampu membuatnya menjadi badai yang menghantam batu karang.
Rasa sakit itu pula yang kini mendera. Telingaku semakin "berulah". Air mata mengalir karena tak sanggup menahan nyeri. Aku tidur dalam keadaan menangis.
Aku baru terbangun saat tempat tidur seperti terguncang. Aku pikir ada gempa. Namun saat aku menoleh, teman-temanku masih tertidur pulas.
Aku lalu melihat ke arah kakiku sendiri. Mahluk dengan tangan bersedekap dibalut kain putih. Persis di kepalanya ada ikatan. Wajahnya tak terlihat. Dia berdiri di ujung kakiku. Tidak melakukan apa-apa, hanya berdiri saja.
"Ih, ada pocong! Takut," ujarku sambil menutup mata dengan tangan. Satu reaksi yang sebenarnya sangat bodoh.
Aku berusaha membuka mataku. Dia masih ada di sana. "Ih, kok masih ada? Kapan perginya?" Pertanyaan yang jauh lebih bodoh lagi.
Tak lama, aku membuka mata kembali. Mahluk itu sudah benar-benar hilang. Aku heran dengan reaksiku sendiri. Rasa takut ternyata bisa membuat seseorang benar-benar hilang akal. Tetapi setidaknya aku mendapat jawaban, mengapa saat pertama kali masuk rumah ini aku melihat ada begitu banyak isim.
Esoknya, aku dijemput Kak Rimbun dan suaminya. Aku tidak bisa mendampingi teman-teman sampai penelitian lapangan selesai. Rasa sakit di telingaku semakin menjadi-jadi. Aku menyerah. Mau tak mau, aku harus menurut, saat Kak Rimbun mendesak menjemputku di Indramayu. Sekalian dia menengok mertuanya.
Kami mendapat banyak oleh-oleh mangga Dermayon. Kata mertua Kak Rimbun, mangga asli Indramayu sudah sulit dicari. Ada beberapa jenis mangga di sini. Mangga gedong posturnya lebih besar, tetapi tidak terlalu manis.
Mangga harum manis sesuai dengan namanya, harum dan manis. Mangga manalagi terasa manis dan banyak serat. Rasanya yang lezat membuat orang sering bertanya, "manalagi?" Ada satu mangga yang hampir punah, namanya lali jiwo. Konon, saking manisnya mangga ini, bisa-bisa yang memakannya jadi lupa diri.
Sekelumit cerita mangga di Indramayu memang tak lekang oleh zaman. Kini, mobil yang kami tumpangi dipenuhi kardus berisi mangga. Kami akan menempuh perjalanan malam yang cukup panjang. Pengemudi mobil yang kami tumpangi tetaplah Pak Ikhsan. Suami Kak Rimbun hanya mengemudi di dalam kota saja.
Seperti biasa, Pak Ikhsan mengendalikan setir dengan santai. Mobil melewati Jalan Pantai Utara Jawa saat langit sudah gelap. Warung remang-remang kembali menujukkan eksistensinya. Bukan truk yang parkir di depannya, tetapi mobil berplat merah. (Bersambung)