Jakarta-Depok, Juni 2009
"Benar-benar tidak kumaafkan kalian…" Sepagi ini Bening sudah bersungut-sungut. "Tega betul, bersenang-senang tanpa aku."
Pada tempat yang lain, aku tertawa geli. "Ayolah Nurse Bening, salah kamu sendiri, liburan kok kerja…."
Telepon seluler yang masih menempel di telinga kanan Bening dipindahkannya ke telinga kiri. "Mau bagaimana lagi nona peneliti, beginilah para juru rawat, tak peduli negara damai atau negara perang, kami siap sedia merawat rakyat…"
Tawaku semakin geli. "Aiih….terasa di era 45, masa-masa di mana juru rawat jadi idola para Kopral…ah, kalau kelas Kamu mah, Sersan Mayor pun dapat."
"Tidak ada Kopral di sini." Bening menatap pasiennya dari balik kaca jendela. "Hanya bayi-bayi lucu yang terpaksa dipasang alat bantu…huff…Rintik, mainlah ke sini, agar kamu tak merasa jadi orang paling menderita di dunia…"
Tawaku mendadak reda, sejenak dihela napas. "Huff…suster Bening, mana boleh begitu? Mana bisa merasa paling menderita? Kamu harus lihat Bening, kerja keras nelayan kita di Pantai Bandulu….ah, Bening, kenapa tidak pergi lagi saja? Kapan kamu libur?"
Bening bersemangat. "Wah, ide bagus, Kamis ini bisa. Tapi kamu bisa kalau hari kerja?"
"Bisa diatur." Aku mengambil agenda kecil di meja. "Peneliti tak punya jam kerja khusus, setiap menit adalah waktu untuk eksplorasi dan semua tempat adalah wilayah kerja yang menarik…"
"Ah gayamu….baiklah, akan kemana kita?"
"Aku dengar Pulau Seribu masih sangat indah. Sisa-sisa keindahan pesisir Jakarta. Sayangnya Pantai Cilincing sudah punah…dulu Mama senang sekali vakansi ke sana." Aku masih melihat-lihat agenda kecilku.
Bening beranjak dari kaca jendela. Duduk manis di kursinya, "vakansi…bahasamu itu…hahaha…."
Aku tertawa lagi. "Haha…jangan lupa, Mamaku adalah perempuan kolonial yang terjebak di zaman Reformasi. Bahasanya masih sastra angkatan lama. Bahkan baginya, pusat kota masihlah Weltevreden…haha…"
Bening ikut tertawa. "Hush! Kualat Kamu sama Ibumu."
***
Jakarta, Juni 2009
Langit Jakarta memerah. Menyembul matahari di ketinggian. Waktu menunjukkan Pukul 07.00 WIB. Tak ada tanda-tanda kapal yang rencananya berlayar ke Pulau Pramuka ini segera berangkat. Oh arkati, terlalu nyamankah kapal ini bersandar di pelukmu? Seperti tak mau pergi arungi samudera biru. Seakan tiada ingin bertolak dari Jayakarta.
"Aku bosan, aku mau turun saja. Mungkin ada camilan yang bisa dibeli." Bening mengumpat dan turun dari kapal yang sudah mulai padat.
Aku masih terdiam. Berharap ada berita yang mampir di telinga. Tidak lama, kabar yang dinanti pun tiba. Seorang penumpang kapal tidak sabar bertanya pada petugas pelabuhan. Sepertinya dia warga pulau.
Kulitnya lenggam mengkilat terbakar matahari. Pun tak banyak gaya bagai anak muda Jakarta yang ingin plesir ke Pulau Pramuka. Mudah sekali membedakan warga pulau dengan wisatawan lokal.
"Kapan kapal ini berangkat, Bang?" Tak sabar penumpang itu bertanya.
Petugas pelabuhan menggeleng pesimis. "Belum dapat izin berlayar. Kemarin kapal ini nyaris tenggelam. Kelebihan muatan."
Aku yang sengaja mencuri dengar percakapan itu langsung turun dari kapal. Menghampiri Bening yang duduk santai menyeruput mie instan.
"Kapal ini tidak akan berangkat, tampaknya."
Bening menoleh. "Kenapa?"
"Kemarin nyaris karam." Aku menjawab dingin.
"Hah? Kok seram ya?" Dia bergidik.
Aku mengangkat bahu. "Entahlah, kita tunggu saja kabar selanjutnya."
Kami masih duduk di Pelabuhan Muara Angke. Sejam lalu kami harus melewati banjir rob abadi yang selalu merendam Pelabuhan Muara Angke. Bau amis menyeruak. Kapal nelayan datang silih berganti. Menurunkan hasil tangkapan yang menggoda.
Seorang lelaki telanjang dada menarik gerobak berisi ikan-ikan segar. Tanpa dia sadari, satu ikan jatuh dari gerobak dan tergeletak di tanah.
"Yaa…sayang ikannya jatuh." Sedikit sesal tercetus dari lisan Bening.
Tetapi tak sampai 1 menit, seekor kucing kuning berjalan dengan santai. Tak buru-buru atau terlihat bernafsu. Si kucing kuning mengambil ikan yang jatuh dari gerobak. Membawanya ke kolong meja dengan mulut kecilnya.
Tidak berapa lama, dia keluar sambil mengeluarkan lidahnya yang menyapu mulut mungilnya. Seperti memberi tanda kalau dia baru saja makan enak.
Bening dan aku berpandangan. Lalu tertawa. Meski tak bicara, tapi kami saling mengerti. Tuhan sedang menunjukkan kuasa-Nya. Bahkan rezeki seekor kucing pun dipastikan sudah aman. Padahal mata manusia menyayangkan ikan yang terlihat mubazir.
Tetapi Tuhan punya rencana lain. Ikan itu memang diperuntukkan untuk si kucing kuning. Bening dan aku tak habisnya mengucap syukur. Kami yakin, Tuhan juga punya rencana untuk kami hari ini.
Sudah 30 menit sejak kami turun dari kapal. Panas mulai menyengat. Kami kembali lagi ke kapal yang kemarin hampir karam. Persis di sebelah kami duduk lelaki berusia 50 tahunan. Berseragam ASN Tangannya memegang koran hari ini. Lelaki itu juga mulai jenuh. Mungkin karena rasa bosan yang memuncak, dia lalu mengajak Bening bicara.
"Mau kemana?"
Bening sedikit terusik, tapi dia tetap menjawab dengan ramah. "Ke Pulau Pramuka."
Lelaki itu mengangguk, lalu bertanya lagi. "Sendirian saja?"
"Berdua dengan teman." Bening menunjuk ke arahku. Aku mengangguk takzim.
Lelaki itu terkejut. "Ah, berdua saja? Berani benar kalian…nanti di sana menginap di mana?"
Aku dan Bening saling memandang, lalu menggeleng.
Lelaki itu kembali terkejut. "Tidak tahu mau menginap di mana? Nekat betul,Pulau Pramuka itu jauh. Empat jam kalau ombak normal. Mana bisa kalian langsung pulang?"
Aku dan Bening mulai cemas. Kami sama sekali tidak berniat untuk menginap. Membawa pakaian ganti saja tidak.
Melihat wajah kedua anak gadis di depannya kebingungan, lelaki itu bicara lagi.
"Begini saja, saya kan pegawai Kementerian Dalam Negeri. Saya memang bolak-balik ke pulau untuk kontrol pegawai di sana. Kalian menginaplah di mess Kementerian. Tidak usah bayar, gratis untuk kalian."
Antara senang dan takut, aku dan Bening kembali saling memandang. Lelaki itu baru saja kami kenal, mana boleh langsung percaya? Dibawa seorang lelaki ke mess di sebuah pulau yang belum pernah kami sambangi…duh Gusti, ngeri sekali membayangkan kejadian yang tidak-tidak.
Meski begitu, kami halau rasa curiga yang terus menggoda. Masih dengan ramah, kami ladeni setiap pertanyaan lelaki tadi. Sampai matahari sudah sangat menyengat dan jam menunjukkan Pukul 10.00. Lelaki itu tak sabar lagi.
"Ah! Sudahlah, saya kembali ke rumah saja. Kapal ini tidak akan berangkat. Nah kalian mau ke mana? Rumah saya tidak jauh dari Bandara Soekarno-Hatta. Begini, kalian ikut saya saja. Saya antar sampai Tanjung Pasir, tidak jauh dari Bandara. Dari sana kalian bisa naik perahu nelayan ke Pulau Untung Jawa, masih Pulau Seribu juga. Cuma 15 menit dari Tanjung Pasir." Lelaki itu mencoba membujuk.
Aku dan Bening masih ragu. Tetapi tak menolak tawaran lelaki itu. Kami mencoba berprasangka baik. Mungkin lelaki itu memang berniat menolong. Mungkin dia teringat anak gadisnya di rumah yang sebaya dengan kami, hingga tak tega dan benar-benar berniat mengantar ke daerah yang tepat. Ya…semoga saja.
Kami bertiga keluar dari Pelabuhan Muara Angke. Lelaki itu memanggil taksi dan meminta diantar ke Tanjung Pasir. Sepanjang perjalanan, lelaki itu selalu bercerita tentang istrinya dan anak-anaknya. Aku sedikit bernapas lega, ternyata lelaki itu sangat cinta keluarganya. Tidak mungkin dia berbuat macam-macam dan berniat jahat.
Lelaki itu juga berbagi pengalaman selama tugas di Kepulauan Seribu. Sedang asik bercerita, tiba-tiba taksi berhenti di rumah makan.
"Aaah…kita makan dulu yaa…kalian belum makan kan?"
Lelaki itu memberi komando. Setelah masuk ke rumah makan, komandonya terdengar lagi. Kali ini ditujukan pada pemilik rumah makan.
"Bu, pesan ikan gurame, nasi dan es kelapa 4 porsi."
Supir taksi pun ternyata ikut ditraktirnya. Royal benar lelaki ini.
Kurang dari setengah jam makanan sudah dihidangkan di atas meja. Satu ikan gurame ternyata besar sekali. Aku dan Bening memutuskan untuk menghabiskan satu ikan berdua.
Satu ikan yang masih tersisa dibungkus dengan dengan dua bungkus nasi yang dipesan lagi oleh lelaki itu. Ini menjadi bekal untuk kami di Pulau Untung Jawa. Maklum, kepergian kami ke sana tanpa rencana menginap. Jadi uang yang dibawa seadanya saja.
Lelaki itu mengantar kami ke Tanjung Pasir. Setelah saling mengucap salam, kami berpisah. Aku dan Bening menumpang kapal nelayan ke Pulau Untung Jawa. Cuaca cerah siang ini. Ombak berlarian sekedarnya. Tidak sampai menguncang perahu motor yang tidak seberapa besar.
Bening sesekali menenggelamkan jemarinya ke dalam laut. Merasakan gemericik air di tangannya. Tidak lebih dari 2 meter, Pulau Untung Jawa terlihat mempesona. Setelah 15 menit digoyang ombak, akhirnya perahu yang kami tumpangi berhenti. Aku menginjakkan kaki di pulau yang tidak terlalu besar. Tampaknya bisa dikelilingi dengan jalan kaki tak sampai setengah hari.
"Kalian dari mana?" Nelayan tua pemilik perahu menyapa dengan ramah.
Aku tersenyum. "Jakarta, Pak."
Nelayan tua membalas senyumku dengan senyumnya yang lebih lebar lagi. "Menginap di mana nanti?"
Aku dan Bening kembali menggeleng. "Belum tahu." Jawab kami serempak.
"Aduh kasihan." Nelayan tua memasang wajah prihatin. "Menginaplah di rumah Bapak. Hanya ada istri Bapak saja di rumah. Meski rumah kami kecil, tapi cukup untuk kalian menginap."
Terharu aku dan Bening mendengarnya. Rasa terima kasih segera dihaturkan. Tapi kami tidak ingin merepotkan. Lagipula kami masih berencana untuk tidak menginap. Kalau terpaksa harus bermalam di Pulau Untung Jawa, mungkin akan mencari penginapan yang paling murah.
"Ya…ya…jalan-jalanlah kalian dulu. Bapak kembali dulu ke Tanjung Pasir. Nanti kalau tidak bisa pulang ke Jakarta dan tidak punya tempat menginap, tunggulah Bapak di dermaga ini. Biar kalian temani istri Bapak di rumah."
Nelayan itu kembali menawarkan bantuannya saat melepas aku dan Bening di dermaga utama Pulau Untung Jawa.
Ah, banyak benar orang-orang baik di dunia ini. Mereka yang dengan tulus dan tanpa pamrih mengulurkan tangannya. Siapa bilang negeri ini tak lagi ramah? Dalam perjalanan, kita mungkin bertemu dengan orang yang berniat buruk, tapi kita seringkali dipertemukan pula dengan orang-orang berhati emas.
Adil benar Tuhan pemilik semesta. Tidak pernah dia biarkan hamba-Nya salah arah. Hanya kadang manusia saja yang salah membaca pertanda.
Seperti burung camar yang terbang beriringan di langit Untung Jawa. Mereka membentuk formasi V secara teratur. Tidak ada yang saling mendahului. Patuh taat pada sang pimpinan. Namun sejenak saja formasi berubah.
Burung yang ada di paling belakang menjadi yang paling depan. Burung-burung lainnya dengan cepat menyesuaikan. Kembali membentuk formasi V seperti sedia kala. Siapa yang mengajar mereka terbang teratur begitu? Mungkin memang beginilah aturan semesta, selalu tertata rapi. Meski sesekali tatanan berganti, tetapi dengan cepat akan kembali teratur.
Aku dan Bening masih terpukau dengan atraksi alam yang sederhana. Menyusuri bibir pantai yang membuat telapak kaki menjadi basah. Butiran pasir membekas pada jari-jari dan membuat tapak-tapak di pasir basah. Seolah berkata, "Ini jejakku. Kamu! Buatlah jejakmu sendiri." Lalu seorang bocah perempuan manis mengusik ke-syahdu-an kami berdua.
"Aduh manis sekali, berapa usianya?" Aku tak dapat mengabaikan bocah semanis dia.
Ibu bocah perempuan itu (yang sedang duduk di tepi pantai) langsung menyahut. "Baru empat tahun." tangannya memegang mangkuk berisi makanan balita.
"Ah, lagi aktif-aktifnya ya, Bu. Lagi disuapi ya?" Bening selalu semangat melihat anak kecil yang sedang makan.
Ibu bocah itu tersenyum, lalu menyahut lagi. "Iya."
Aku duduk di sebelah Ibu si bocah. "Asli dari sini, Bu?"
Si Ibu menggeleng, "Saya dari Pulau Tidung. Tetapi tinggal di sini karena ikut suami."
"Suaminya kerja di sini?" Tanya Bening.
Si Ibu mengangguk. "Ya, tetapi sekarang sedang ambil gaji di ATM."
"Di sini ada ATM?" Bukan main senangnya aku mendengar kata ATM. Maklum, persediaan uang kami sudah menipis.
"Tidak ada." si Ibu buru-buru mengklarifikasi. "Tidak ada bank apalagi ATM di sini. Suami saya mengambil uang di Pantai Marina Ancol. Harus menyewa boat untuk sampai ke sana."
"Hah? Mau ambil uang saja harus sewa boat, bisa habis untuk transportasi saja gajinya." Aku benar-benar terkejut.
Wajah si Ibu mendadak muram. "Begitulah."
"Kalau belanja di mana?" Bening bertanya lagi.
"Harus menyeberang ke Tanjung Pasir, lalu naik angkot ke Kampung Melayu di Tangerang. Setiap pagi ibu-ibu naik kapal ke sana," jawab si Ibu lagi.
Tiba-tiba saja aku dan Bening belajar, menjadi warga pulau bukanlah sebuah hal yang mudah. Sementara angin paksina berbisik tenang. Pasir-pasir putih terbang terbawa angin. Laut biru kehijauan membentur bebatuan. Pecah membuyar dan meninggalkan dentum memukau. Gemericik tenang membuai. Membawa lamunan pada mimpi-mimpi tak bertuan.
Lamunan kami terusik adzan Ashar yang terdengar dari Surau di Pulau ini. Kami pamit pada si Ibu bocah perempuan. Bergegas mengambil wudhu dan sholat. Aku dan Bening berbincang sebentar. Uang yang kami punya dikumpulkan jadi satu.
Ah, semoga saja cukup untuk bertahan barang semalam di pulau cantik. Siapa yang rela cuma melancong beberapa jam di tempat setenang ini? Rasanya kami berdua belum ingin pulang.
Syukurlah ada kamar kosong yang disewakan dengan harga terjangkau. Kamarnya luas. Cukup untuk 5 orang. Kamar mandi pun ada di dalam. Sungguh, nikmat Tuhan mana lagi yang kami dustakan? Mendapat begitu banyak kemudahan dalam perjalanan, pastilah rahmat yang mesti terus disyukuri. Waktu sudah bergeser menuju jam 17.00 WIB. Saatnya mengejar sunset.
Aku dan Bening berjalan kaki menuju pantai barat. Pulau ini tidak seberapa besar. Bisa ditelusuri dengan berjalan kaki. Jarak antara penginapan dengan pantai barat pun tidak begitu jauh. Mudah dijangkau dengan cepat. Matahari belum ingin pulang rupanya. Aku dan Bening masih sempat bermain air, sambil duduk santai di batu buatan yang sengaja dipasang untuk menghalau air pasang.
Tak lama, matahari mulai berbenah diri. Hendak menghilang. Pulau Rambut yang seperti gambaran surgawi itu terlihat di seberang sana. Tidak ada manusia yang tinggal kecuali penjaga pulau. Pulau Rambut memang Suaka Margasatwa. Harus ada izin khusus untuk berkunjung ke sana. Tetapi di akhir pekan, banyak juga warga Jakarta yang nekat ke sana tanpa izin.
Pasir di Pulau Rambut konon begitu putih dan bersih. Airnya jernih lagi indah. Isinya hanya hutan yang dihuni burung-burung liar. Benar-benar serupa khayalan nirwana.
Kini bola bundar berwarna merah itu hendak bersembunyi di sana. Seakan mentari jatuh di Pulau Rambut. Perlahan surya turun dari langit. Meninggalkan tahta biru yang berubah kelabu. Seperti awan-awan bersekutu menekan si bola merah raksasa.
Matahari berontak dengan melempar pijar cahaya putih ke segala penjuru. Segenap langit pun harus kena imbasnya. Berubah jingga dalam sekejap. Beberapa ruang bahkan berwana merah kesumba. Meninggalkan bayangan serupa di laut yang mendadak kelam. Kami bilang ini senja, sang kekasih sore.
Swastamita…merahlah laut yang sejenak tadi berwarna biru. Hadirmu mentari, mengganti rona warna samudera. Inilah kisah laut dan langit. Dua biru yang berjarak. Memantul satu sama lain. Bertahan tak luruh agar manusia bumi tetap selamat. Tetapi cinta laut pada langit tak hanya sebatas biru.
Saat langit memerah, laut pun memerah. Ketika langit kelabu, begitu juga dengan laut. Bila langit memancar emas merona, laut menyimpan kilau serupa. Mungkin begitulah semestinya rasa kasih diumbar. Tidak selalu sama persis, namun pasti punya ruang untuk saling menyesuaikan.
"Wujud…Qidam…Baqa…." Lantunan bocah-bocah pengguni pulau menghentak kensunyian. Maghrib hampir datang. Sifat-sifat Sang Kuasa mengalir dengan syahdu lewat lisan insan-insan kecil yang mempesona. Waktunya melepas mentari. Toh dia tak lagi terlihat. Berjalanlah kami menuju asal suara.
Menjelang malam, pulau semakin hening. Tidak banyak lagi yang hilir-mudik. Hanya turis-turis lokal yang mencari udara malam. Duduk berdua di salah satu gazebo di pinggir pantai, aku dan Bening menikmati santapan ikan bakar yang tadi diberikan oleh si Lelaki ASN.
Indah benar hidup di Indonesia, kemana pergi banyak saudara. Ada saja yang hendak beri makan atau tumpangan. Jika tidak punya obsesi berlebih, tidak mungkin menderita dan kelaparan di negeri subur begini. Lihat saja malam ini, nelayan kembali bersiap melaut.
Persis di tepi laut, istri dan anak-anaknya melepas kepergian sang tulang punggung. Lambaian tangan mereka adalah semangat juang bagi si nelayan. Bisa saja esok si nelayan tak lagi kembali. Tenggelam dilamun ombak atau terbawa samudera ke daratan lain. Bisa saja ini lambaian terakhir istrinya untuk sang suami.
Duhai Pencipta kami, adakah yang lebih indah dari pengorbanan lelaki yang bertaruh nyawa untuk memenuhi kewajiban pada perempuannya?
"Cukup melamunnya. Kita tidur saja. Besok sebelum jam 8 kita sudah harus ada di dermaga. Kembali lagi dengan hiruk-pikuk kotamu itu…." Suara Bening menyela lamunanku.
Aku tertawa. "Hahaha….hanya kotaku?"
Bening ikut tertawa. "Ya, kotamu, yang bising itu. Beruntunglah aku lahir sebagai gadis desa, cucu petani."
"Ah, Kamu bukan cuma cucu petani, kamu cucu tuan tanah. Tidak akan sama nasibmu dengan keluarga petani."
Bening tertawa. "Hahaha…setidaknya kan aku tetap besar di desa…tetap tahu rasanya main tanah. Kamu? Mana ada tanah di rumahu? Kiri-kananmu kan aspal."
Aku menyerah. "Ah, suka-sukamu saja!"
Bening tertawa lagi. Berdua, kami kembali ke penginapan.
***
"Bening, ayo cepat!" Pagi-pagi aku sudah bersiap. "Nanti mataharinya naik."
Bening menggeleng beberapa kali. Reaksi yang paling sering dilakukan saat melihat aku begitu impulsif. "Baru lepas Subuh. Mataharinya belum siap tugas."
Aku duduk di sebelah Bening. "Itulah, kita yang akan menyambut saat dia datang nanti."
Bening tersenyum. "Baiklah, tidak ada yang bisa membantahmu saat sedang impulsif."
Aku tertawa lepas. Bahagia. Kami menuju ke pantai timur. Ya, Bening benar, matahari belum muncul. Sesaat kami hanyut dalam suara debur ombak hijau yang mempermainkan pasir putih. Perlahan melesap buih air pada kaki yang terbenam pasir. Camar sekali lagi terbang melintas mega. Ada haru menyusup sekejap. Merasakan sunyi di antara kibaran Dwi Warna yang dipasang di perahu nelayan.
Sesaat langit berganti rupa. Kelam dan kelabu. Ini saat kedatangan fajar. Tiada cara sakral menyambut fajar selain dengan diam. Cahaya kemerahan seakan keluar dari laut. Seolah tak sanggup meninggi, mestilah awan-awan kelabu disekitarnya ikut mengiringi.
Seakan-akan, awan itulah yang mengangkat sang mentari. Lalu laut ikut berubah warna. Tiada biru ataupun hijau. Tinggal kemilau abu-abu yang tersisa. Terpotong bayangan cahaya matahari yang tampak seperti lintasan jalan. Persis di sana, perahu nelayan berlayar pasti. Gusti Allah, begitu indah alam raya-MU.
Pertunjukan selesai tak lama setelah matahari meninggi. Aku dan Bening menuju dermaga. Mencari perahu yang akan kembali ke Tanjung Pasir. Di sana, nelayan tua yang kemarin menawarkan rumahnya, berdiri tegap. Wajahnya tersenyum lega melihat dua gadis yang kemarin sangat dikhawatirkannya.
"Syukurlah Kalian tidak apa-apa. Ke mana Kalian kemarin? Bapak sangat cemas. Bapak mencari Kalian begitu sampai di sini, tetapi Kalian tidak ada. Kalian menginap di mana? Baik-baik saja kan?"
Seperti seorang ayah yang takut kehilangan putri emasnya, nelayan tua melempari aku dan Bening dengan banyak pertanyaan. Sebersit rasa bersalah hadir dalam hati dua dara. Berdosalah kami, anak nakal yang tidak sadar sudah membuat orang tua khawatir.
Nelayan tua menyadari, tak ada yang perlu dia khawatirkan. "Sudahlah, mari diantar ke Tanjung Pasir." Nelayan tua bicara lagi dengan ramah.
Bening sempat bercerita pada nelayan tua tempat kami menginap. Lalu naik ke atas perahu yang akan berlayar ke Tanjung Pasir.
Bersama kami, ada pula ibu-ibu yang hendak ke pasar (di Kampung Melayu, Tangerang), anak-anak dengan seragam sekolah dan mahasiswa yang mengenakan almamater berwarna hijau. Mereka, warga pulau, harus melintasi ombak dulu untuk bisa mendapatkan sembako dan pendidikan yang layak. (Bersambung)