Chereads / TENANG, MASIH ADA PAGI / Chapter 10 - KAMPUNG LAUT

Chapter 10 - KAMPUNG LAUT

Cilacap, September 2012

Kereta pagi yang baru saja aku tumpangi menjauh. Tampak kecil dari peron yang terasa asing. Belum sampai ke tujuan sebenarnya. Masih ada beberapa kilometer yang harus ditempuh.

Pesisir Cilacap menanti dengan seribu satu kisah yang mungkin tidak pernah menjadi dongeng pengantar tidur bocah metropolitan. Bersama dua seniorku, Mbak Kinanti dan Mbak Pijar, aku naik ke dalam mobil yang menjemput kami di Stasiun Kepu. Ada Mbak Nia juga yang ikut untuk mengurus semua administrasi dan keuangan.

Baru pukul lima sore kami sampai di tujuan. Mobil susah masuk. Terpaksa kami harus jalan kaki. Warga yang kami kunjungi menunggu di dekat portal. Daerah ini sudah lama menjadi lokasi konflik antara warga dengan perusahaan yang mengelola pemanfaatan hutan.

Pasalnya, sebagian kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan hutan juga diklaim sebagai tanah warga. Tanah yang mereka ributkan dan perebutkan ternyata gersang dan panas. Tanah yang aku pijak sampai kering dan retak-retak. Sungguh di luar bayangan.

"Coba lihat, Mbak! Apanya yang hutan? Ini kan sawah. Masa mereka bilang hutan?" Ujar seorang petani yang menemaniku jalan kaki.

Aku hanya tersenyum, bingung menjelaskan padanya konsep kawasan hutan yang ada dalam peraturan. Kawasan hutan tidak harus berbentuk hutan seperti rimba atau belantara. Kawasan hutan ditetapkan oleh Pemerintah. Bisa jadi area persawahan, kebun atau bahkan taman bawah laut.

Kami yang sejak di perjalanan menahan diri untuk buang air kecil dan belum sholat, minta izin ke Mushola sebentar. Rasa kecewa menghampiri saat tahu kalau air di Mushola mati. Tidak setetes pun keluar dari kran.

Sayangnya, tidak semua rumah punya MCK. Kata seorang warga, daerah pesisir ini krisis air. Bahkan air yang ada di pancuran umum pun berwarna kemerahan, karena tercampur dengan tanah.

Sebagai tamu desa, kami diperbolehkan untuk menggunakan toilet di rumah warga yang punya sumur. Tetapi toilet ini rupanya hanya sebuah sumur yang ditutupi dengan kain warna putih. Itupun hanya bagian depannya saja. Mbak Kinan tidak bisa menahan rasa kagetnya. Saat dia buang air kecil di sebelah sumur, tepat di belakangnya, seorang lelaki gangon bebek dengan santainya.

Warga ternyata sudah menyiapkan makanan. Tidak mungkin jika tidak mencicipi hidangan warga barang sebentar. Kami makan dulu. Hasil produk lokal memang tidak pernah mengecewakan.

Makanan yang terlihat sederhana ini enak betul. Nasinya dari beras hasil panen warga. Lauknya sederhana, tahu-tempe, sayur asem dan ayam goreng. Hidangan khas desa yang selalu bikin kangen

Sudah hampir Maghrib. Kami harus memulai wawancara dengan warga. Sebentar lagi akan sulit keluar dari daerah ini. Sedang kami harus mengunjungi daerah yang lain. Wawancara kali ini cukup dramatis. Tidak ada listrik. Salah satu warga menyinariku dengan senter. Bapak–bapak yang aku wawancara sebagian hanya bisa bahasa Jawa. Mau tak mau, supir yang menjemput kami pun 'dilantik' jadi penerjemah.

Dan, cerita mereka dimulai. Tanah yang ada sekarang, pada masa kolonial dikuasai oleh Belanda. Ketika itu, berdasarkan peta tahun 1941, tanah tersebut adalah kawasan hutan. Ketika tahun 1943, Belanda pergi dari Indonesia dan berubah menjadi pendudukan Jepang.

Maka lahan kembali diambil alih oleh warga. Jepang membiarkan masyarakat untuk mengolah tanah. Waktu Indonesia merdeka, tanah tetap dibawah pengelolaan masyarakat.

Saat Orde Lama, Soekarno sudah membuat skema yang hampir sempurna: peraturan, permodalan dan pengembangan untuk sektor pertanian. Dimulai dengan peraturan, Pemerintah Orde Lama menyusun Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tahun 1960, serta beberapa peraturan lainnya menyangkut tanah dan SDA yang bersifat neo populis—berpihak pada kepentingan rakyat kecil.

Ada batasan maksimum kepemilikan tanah. Orang-orang yang memiliki kelebihan tanah harus membagikan tanahnya pada petani gurem—yang hanya memilki tanah kurang dari 2 hektar atau tidak memiliki tanah sama sekali.

Seharusnya tanah yang dibagikan untuk rakyat adalah tanah eks perkebunan hasil nasionalisasi tahun 1957-1958, namun tanah yang diambil justru kelebihan tanah Pak Kyai atau Pak Haji yang dianggap sebagai tuan tanah.

Saat itu memang banyak Pak Kyai yang memiliki tanah melebihi batas maksimum. Tetapi menurut beberapa sumber, tanah mereka tetap tidak seberapa jika dibanding tanah eks perkebunan yang semestinya dibagikan.

Beberapa tanah mereka ada juga yang diwakafkan, karena tanah wakaf bukan objek redistribusi tanah. Hal ini semakin memancing pertikaian antara umat Islam dengan anggota partai politik yang dominan di era itu.

Konflik pun tidak bisa dihindari.

Pasca peristiwa tahun 1965, dilakukan perburuan terhadap anggota partai politik—yang kemudian dinyatakan sebagai partai terlarang--dan orang-orang yang diduga terlibat di dalamnya.

Berbagai sumber menyatakan, banyak sekali petani yang tidak terlibat, namun menjadi tertuduh. Padahal mereka hanya petani biasa. Ada yang dibunuh, diusir atau ditangkap. Tanahnya pun menjadi terlantar dan berada dalam penguasaan Pemerintah Orde Baru. Seperti yang terjadi di Cilacap ini.

Kegundahan petani di daerah ini berakhir pada tahun 1980-an, saat Pemerintah Orde Baru menggalakkan swasembada pangan, sesuai dengan REPELITA III. Pemerintah Orde Baru membagikan tanah untuk petani. Termasuk petani di desa ini. Sebagian tanah yang dibagikan sudah memiliki sertipikat tanah. Sebagian lagi masih dalam proses pembuatan sertipikat. Tanah yang belum memiliki sertipikat inilah yang menjadi sengketa antara warga—yang berprofesi sebagai petani—dengan perusahaan.

Tahun 1988, perusahaan datang dan menyatakan bahwa tanah tersebut berada di bawah pengelolaan mereka. Sejak tahun 1988-1989, petani diminta untuk menanam dengan pola tumpang sari. Petani diperbolehkan menggarap tanah, namun juga tetap harus merawat tanaman yang berada di bawah pengelolaan perusahaan. Pajak sendiri dibayar oleh perusahaan. Petani pernah meminta SPPT, namun selama 12 tahun mengajukan permohonan juga tidak diberikan.

Sekitar lima belas menit dari kumandang adzan Maghrib, mereka selesai merapal kisah yang tidak pernah kubaca di buku pelajaran sekolah. Hidup mereka terombang-ambing dalam kebijakan penguasa yang berbeda dari era ke era. Entahlah, jika penguasa berganti lagi, mungkin nasib pun akan ikut berganti. Sepenuhnya, mereka bergantung pada kebaikan hati para elit.

Aku kembali berkumpul dengan Mbak Pijar, Mbak Kinan dan Mbak Nia. Kami masih harus menuju ke Kampung Laut. Aku pamit kepada pemilik rumah tempat kami makan tadi. Hidangan yang disajikan begitu banyak, sedang dia hanya panen satu kali dalam setahun dengan penghasilan kurang/lebih Rp 4.000.000,00 setiap kali panen.

Hari sudah gelap. Ditambah lagi tidak ada penerangan yang memadai. Kami berjalan dengan hati-hati dan cepat naik ke dalam mobil. Berhubung masih harus ke tempat lain, mobil yang kami tumpangi melaju cepat. Hanya ada jalanan gelap yang seperti tanpa akhir mengepung kami dalam sunyi. Sementara motor yang kami ikuti kadang menghilang. Pengendara motor itu adalah penghuni Kampung Laut yang menjemput kami agar tidak tersasar.

Sepanjang perjalanan, kami tidak melihat ada MCK atau Masjid yang dibuka. Sedang kami mulai tidak bisa menahan diri untuk buang air kecil. Katanya jaraknya dekat. Sudah tiga jam kami lewati dan belum sampai ke Kampung Laut. Bukan main kesalnya. Awalnya aku sendiri nyaris menggerutu. Sebelum aku sempat ngomel, Mbak Kinan sudah komentar lebih dulu.

"Ini bagaimana sih? Harusnya dari awal diberi tahu kalau tempatnya jauh. Jadi kan kita bisa buat FGD saja di sekitar kota Cilacap. Kalaupun harus ke tempat warga, kita berangkat siang. Tidak malam-malam begini."

Aku ingin menyahut, tapi tidak kuasa karena "kebelet pipis". Mbak Nia apalagi, sejak tadi sudah tidak bergerak. Hanya bibirnya saja yang komat-kamit. Berdoa penuh harap agar perjalanan segera berakhir.

Kini kami terkurung di dalam hutan jati yang luas dan sepi. Hanya ada mobil kami yang melintas. Situasi begini, supir kami yang asli orang Semarang malah cerita kalau tempat ini rawan "bajing loncat" dan angker.

Sepanjang jalan aku hanya melongok ke kiri dan kanan. Melihat batang pohon jati, jangan sampai ada orang sembunyi di situ. Bertemu jurik masih bisa membaca ayat kursi. Tapi membayangkan bajing loncat mampir di mobil kami, benar-benar menakutkan. Hutan jati yang gelap dan luas begini. Mau minta tolong pada siapa? Aku ikut berdoa agar terlindung dari kejahatan mahluk-Nya.

Setelah menahan gelisah cukup lama, akhirnya terlihat ada satu toko pakaian yang masih buka. Satu-satunya bangunan yang tampak terang. Mobil kami berhenti. Langsung saja izin ke toilet. Ternyata toilet toko ini besar dan bersih. Sepertinya sengaja dibuat untuk umum. Mungkin karena banyak orang yang kebelet pipis macam kami. Demi menyenangkan hati pemilik toko, kami belanja kaos kaki dan pakaian dalam. Sambil tanya-tanya, sebenarnya kami ada di mana?

Mbak Pijar tidak bisa menahan diri begitu tahu kami ternyata berada tidak jauh dari Pangandaran. Empat jam perjalanan pasti bukan waktu yang singkat. Hampir saja Mbak Pijar memuntahkan kekesalannya, seandainya motor yang mengantar kami tidak memberi kode kalau kami sudah sampai tujuan. Lelah karena belum istirahat sejak pagi, kami tak punya energi lagi untuk merasa kesal. Mbak Pijar tetap menyambut ramah, saat ada warga Kampung Laut yang menyapa.

"Iya, Pak, sudah lama di sini?" Tanya Mbak Pijar saat kami sampai di suatu rumah. Kami pikir kami sudah sampai di Kampung Laut.

Seorang Bapak menyahut tidak kalah ramah. "Sejak sore tadi, Mbak."

"Maaf kami terlambat, kami tidak tahu kalau tempatnya begitu jauh. Bapak-bapak jalan kaki atau naik kendaraan ke sini?"Sekarang Mbak Kinan yang bertanya. Dia sangka warga tinggal tak jauh dari tempat kami singgah.

Bapak yang lain menjawab, "Naik perahu, Mbak."

"Naik perahu?" Kami berempat bertanya berbarengan.

Ya, baru aku tahu, Kampung Laut bukan di sini. Warga bilang, Kampung Laut dulunya adalah laut. Namun karena terjadi sedimentasi, muncullah tanah timbul. Sebagai mahluk yang adaptif, manusia dituntut harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan alam. Rumah-rumah warga yang sebelumnya berupa rumah panggung semi permanen di atas laut, berubah menjadi rumah permanen layaknya yang ada di daratan.

Sejak tanah timbul ini muncul, belum ada sertipikat hak milik yang dikeluarkan Pemerintah. Perubahan alam dan kemunculan tanah timbul tidak hanya menyebabkan permasalahan dalam kepemilikan dan penguasaan tanah, tapi juga mempengaruhi mata pencaharian warga setempat. Konversi lahan pun terjadi dari laguna ke sawah, ladang, kebun, pengembalaan, pemukiman dan fasilitas umum.

Tahun 1980-an mulai ada yan menggarap tanah. Tahun 1981, tanah masih basah. Namun setelah itu mulai tumbuh tanaman keras. Warga pun banyak yang beralih profesi sebagai petani. Selain menjadi petani, warga di sana juga membuat tambak-tambak. Kalau mencari kepiting hanya bisa dilakukan pada waktu tertentu saja, karena laguna semakin menyempit dan menjadi daratan.

Kini keberadaan tanah timbul menuai konflik baru. Tentu saja konflik yang paling mendasar adalah klaim kepemilikan tanah. Sebab sebagian kawasan ini juga diklaim sebagai kawasan hutan negara. Sementara itu, sedimentasi yang terus terjadi juga menanti penanganan serius. Bila dibiarkan, tidak hanya laguna yang terancam hilang, tapi juga hutan mangrove dan biota lainnya.

Hampir jam 23.00 WIB. Kami belum kembali ke hotel. Masih di tempat diskusi, aku merenung sendiri. Pesisir oh pesisir, di negeri maritim yang lautnya lebih luas dari daratan ini, deru kehidupan orang-orang pesisir tidak banyak diliput media. Tidak juga dianggap penting untuk jadi perbincangan elit di Ibukota.

Dan aku kembali mengingat duniaku yang nyaman. Duniaku yang pernah begitu biasa, membosankan dan datar. Jika Tuhan tidak menghentakku dengan rasa sakit berkali-kali, tentu aku tidak ada di sini. FAM, polip atau kolesteatum, siapapun kalian, kalian seperti tiket yang mengantarku melihat kehidupan yang jauh lebih kompleks.

Mbak Kinan dan Mbak Nia sedang ke toilet. Mereka khawatir harus kembali menahan hajat. Aku melihat ke luar rumah. Gelap. Terbayang sulitnya warga Kampung Laut harus kembali ke rumah mereka dengan menggunakan perahu. Tetapi dulunya mereka adalah nelayan. Mereka biasa berlayar di malam hari.

Ada yang sebenarnya lebih mengganggu pikiranku. Tentu saja perjalanan kami kembali ke pusat kota Cilacap. Tepat tengah malam nanti, menurut perhitunganku, kami akan berada di tengah-tengah hutan jati yang lebat dan penuh cerita misteri. Dalam hati, aku tidak henti merapal doa.