Ujungpangkah, Desember 2010
"Assalamualaikum." Seorang perempuan muda menyapaku. Manis anak ini. Kulitnya, meski sawo matang tetapi terlihat bersih.
"Nah ini Nisa, nanti Mbak satu kamar dengan Nisa ya." Kyai Zakaria, pengelola Pondok Pesantren (Ponpes) di Ujungpangkah memperkenalkan aku pada Nisa.
Aku manut. Sebulan lalu aku sudah pernah ke tempat ini. Sekedar untuk need assessment saja. Hari ini baru akan tinggal beberapa hari. Nisa adalah salah satu santri putri yang ada di Ponpes. Masih kelas 2 Madrasah Aliyah. Setingkat kelas 2 SMU. Nisa tak banyak bicara.
Dia mengantarku ke sebuah ruangan yang tidak jauh dari kolam ikan lele dan patin. Ruangan ini tidak berpintu, hanya ada tirai putih yang menjadi penutup. Ini bukan pesantren moderen. Kehidupan di sini memang dibiasakan sederhana.
Setelah tirai disibak, bisa aku lihat lorong kecil yang menjadi penghubung ke kamar mandi. Lorong diapit rak buku dan lemari pakaian milik santri di sisi kanan. Sementara di sisi kiri, ada kurang lebih 3 kamar besar. Setiap kamar tidak memiliki kasur. Hanya berupa ruang kosong.
Kamar pertama adalah kamar untuk santri putri yang masih Madrasah Ibtidaiyah, setingkat SD. Ruangan ini terang dan rapi. Tetapi ada satu anak terus menangis. Nisa bilang, anak itu memang agak manja dan selalu rindu rumah. Keadaan kamar kedua hampir sama dengan kamar pertama. Ini adalah kamar santri putri yang sekolah di Madrasah Tsanawiyah, sekelas dengan SMP.
Nah, kamar ketiga yang menjadi kamar Nisa—dan berarti akan jadi kamar aku juga—ternyata adalah kamar paling pojok yang gelap. Lampu kamar itu mati dan santri putri yang tidur di sana sepakat untuk tidak membeli lampu. Mereka lebih suka tidur dalam gelap.
Selain Nisa, kamar ini juga dihuni Ulfa, Rahma, dan Vira. Mereka semua juga masih sekolah di Madrasah Aliyah. Memang Ponpes ini juga memiliki Madrasah dari tingkat Ibtidaiyah sampai Aliyah. Sudah ratusan muridnya.
Tetapi untuk mereka yang ingin lebih intensif belajar, disediakan pondok yang kapasitasnya tidak sampai 100 orang. Pondok putri ini sendiri ada di bagian belakang, sementara pondok putra ada di sebelah depan.
Kebetulan adzan Maghrib baru berkumandang. Kami semua berhamburan ke kamar mandi dan tempat wudhu. Kamar mandi menjadi tempat yang paling luas. Ada tiga kamar mandi di sini. Setiap kamar mandi punya bak yang besar sekali.
Tetapi bak paling besar ada di tempat wudhu. Aku pikir tidak hanya bisa berendam di dalamnya, barangkali anak balita bisa berenang di sana. Maklum, seperti Ponpes tradisional lainnya, di sini pun wudhu tidak menggunakan kran, langsung saja dari bak.
Usai wudhu, kami bergegas ke Surau. Santri putri yang masih SD berlarian. Lucu sekali. Santri yang lebih besar sampai di Surau lebih dulu. Mereka menyapu lantai dan memasang karpet untuk sholat. Aisyah, pendamping santri putri yang menjadi imam shalat Maghrib hari ini.
Rumah Aisyah masih ada di dalam lingkungan Ponpes. Persis di sebelah Surau. Dulu Aisyah adalah santri di sini. Suaminya juga santri di Ponpes ini. Setelah menikah, mereka memutuskan untuk mengabdi di Ponpes. Aisyah bertanggung jawab mendampingi santri putri, sedang suaminya membantu Kyai Zakaria mengelola tambak dan ternak.
Shalat Maghrib berjamaah tidak hanya diikuti santri Ponpes. Ada juga ibu-ibu sekitar yang datang. Usai shalat, Aisyah memberi ceramah sebentar. Lalu santri lanjut merapal ayat-ayat suci Al Qur'an sampai Isya.
Setelah shalat Isya, sebagian santri masuk ke kamar masing-masing, kecuali santri yang duduk di Madrasah Aliyah. Maklumlah, kamar mereka tidak ada lampunya. Praktis mereka belajar dan mengerjakan PR di Surau yang terang-benderang. Aku sendiri menemani mereka di Surau sembari membaca Al Qur'an.
Pukul 23.00 di Ujungpangkah, santri mulai mengantuk dan masuk ke kamar. Aku juga. Kami sempat mengobrol sebentar. Mereka cerewet sekali. Banyak bertanya tentang kehidupan kota. Bagi mereka, kota besar adalah impian yang hanya bisa didengar sekilas dari balik tembok Ponpes.
Waktu semakin malam. Ulfa memberikan satu bantal untukku. Tidak ada tikar apalagi kasur. Kami tidur beralaskan lantai yang jika malam sangat dingin. Selimut pun tidak ada. Rahma memberikan aku lotion anti nyamuk.
"Nyamuk di sini ganas-ganas,Mbak," ujarnya sembari tertawa. Santri yang lain ikut tertawa.
***
Fajar merekah di Ujungpangkah. Menyambut Subuh yang mendekap hangat tubuh nan dingin. Suara tilawah berakhir dengan kumandang adzan. Lembut bayu membelai sukma. Seperti sentuhan ibu yang membangunkan ananda untuk shalat berjamaah.
Kami merapikan shaf dan berjamaah di Surau. Mendaras Al Qur'an sebentar. Santri bergegas menuju kamar mandi. Tidak lama, kericuhan terjadi. Ada yang mencari baju. Ada yang mencari buku. Ada pula yang menanyakan sepatu. Ribut sekali.
Baru setengah jam kemudian suasana menjadi hening. Santri berangkat sekolah. Kamar mandi sudah kosong. Aku bisa bergerak lebih leluasa. Usai mandi, aku keluar dari pondok putri. Yahya, suami Aisyah ada di pekarangan. Dia sedang membuat kandang bebek.
"Assalamualaikum, Mbak." Kyai Zakaria menyapaku dengan ramah. Pagi-pagi begini beliau yang sudah sepuh masih sempat melihat-lihat tambak lele dan patin.
Aku menghampiri beliau ke dekat tambak lele. "Waalaikumsalam Warrahmatullohi Wabarrakatu….sepagi ini Pak Kyai sudah ada di tambak?"
Kyai Zakaria tersenyum ramah. "Iya…melihat-lihat tambak sebentar. Ibu Nyai malah sudah berangkat."
Aku menghamburkan pandangan ke pekarangan belakang Ponpes yang sangat luas. Ada lebih dari sepuluh tambak lele, lima tambak patin, kandang bebek yang bisa menampung 50 bebek, kandang kambing yang berisi lebih dari 10 kambing dan kandang ayam potong yang berjumlah lebih dari 100 ekor. Peternakan ini dikelola oleh beberapa orang mantan santri yang sedang mengabdi di Ponpes.
"Berapa orang yang bekerja di sini, Kyai?" Tanyaku setelah beberapa lama terdiam mengamati pekarangan belakang Ponpes.
Pak Kyai melihat ke sekeliling "Ada tiga orang mantan santri yang mengabdi di sini. Masing-masing mendapat gaji bulanan. Tapi kalau yang mengantar hasil panen, sering juga santri dewasa."
Aku mengikuti Kyai Zakaria menyusuri jalanan kecil di tengah-tengah tambak. Seorang pekerja melempar pakan ternak. Puluhan ikan lele langsung melompat. Agresif menangkap mangsa. Aku sampai takut melihatnya.
"Banyak sekali ikan lele dan patin di sini ya…," ujarku lagi.
Kyai Zakaria tersenyum, lalu menoleh ke arahku. "Ini saya sedang siapkan kolam untuk 15.000 benih ikan lele. Kemarin dalam waktu empat bulan kami bisa menyebar 10.000 benih ikan lele. Nah ikan lele yang sudah besar dan siap panen harus dipisah kolamnya. Sekarang bukan ikan lele saja yang diminati, tapi juga ikan patin, makanya kami juga budidaya ikan patin."
"Terus pakan ternaknya beli di mana, Kyai?" Aku makin semangat menggali lebih dalam pengelolaan wakaf produktif di Ponpes ini.
Kyai Zakaria juga antusias. "Saya buat sendiri untuk menghemat biaya operasional. Pakan ternak dibuat dari limbah udang dan ikan. Kualitasnya tidak kalah dengan pakan ternak yang ada di pasar-pasar."
Aku menatap takzim Kyai Zakaria. Beliau tak pernah sekolah pertanian apalagi ekonomi atau bisnis. Tapi jiwa entrepreneur-nya tumbuh secara alami. Demi menunjang biaya operasional Ponpes dan Madrasah yang tidak sedikit, beliau memutar otak untuk mengembangkan tanah wakaf menjadi jauh lebih produktif dan profitable.
"Wah, sudah agak panas ini, ayo kita mengobrol di ruang tamu saja. Sambil minum teh. Maklum, saya sudah sepuh, tidak bisa berdiri lama."
Kyai Zakaria mengajak aku ke ruang tamu di rumahnya yang asri.
Seorang perempuan yang tidak terlalu muda mengantarkan teh untuk kami berdua. Aku melanjutkan obrolan. Jarang-jarang aku bertemu dengan orang yang kreatif tapi tetap membumi dan tawadhu seperti Kyai Zakaria.
"Pak Kyai, tanya lagi ya, jangan bosan," kataku sambil sesekali tertawa. Pak Kyai juga ikut tertawa.
"Terus ini hasilnya dijual ke mana?"
Kyai zakaria meminum tehnya sebentar. "Ada yang langsung dijual, ada yang diolah dulu."
Dahiku mengkerut. "Diolah bagaimana Pak Kyai?"
"Ada yang bisa langsung dijual seperti lele dan ayam potong. Alhamdulillah, sudah ada restoran yang menampung hasil panen di sini. Tapi ada juga yang kalau diolah lebih dulu harga jualnya makin tinggi. Misalnya, seperti telur bebek yang kami olah jadi telur asin, lalu dijual ke supermarket. Ada juga ikan yang diolah jadi ikan asin lalu dijual langsung ke masyarakat sekitar Ponpes." Kyai Zakaria menjawab sambil beberapa kali tertawa kecil.
Aku menggeleng beberapa kali. "Masya Allah, Kyai kok ada saja idenya? Dengan dana terbatas, lahan tidak terlampau luas dan peralatan yang masih tradisional…kok bisa?"
Kyai Zakaria kembali tersenyum. "Alhamdulillah, ya, modal masih jadi kendala untuk pengelolaan wakaf produktif ini. Kalau saja ada bantuan dan perhatian dari Pemerintah, tentu lebih baik lagi. Apa boleh buat, sekarang Ponpes harus kreatif mencari sumber pendanaan agar bisa mandiri dan tidak bergantung dari donasi. Sedikit-banyak pengelolaan wakaf produktif ini bisa untuk subsidi murid yang kurang mampu di Ponpes dan Madrasah."
Kali ini aku yang tersenyum, menginsafi perjuangan panjang Kyai Zakaria untuk mengemban amanah mengembangkan Ponpes dan pendidikan Islam. Kini Ponpes juga punya unit usaha sendiri, seperti koperasi dan bimbingan haji. Ada juga fasilitas kursus merias pengantin bagi santri putri. Ini agar para santri putri punya keahlian selepas keluar dari Ponpes.
Waktu Zhuhur akan tiba satu jam lagi. Kyai Zakaria harus bersiap-siap menjadi imam shalat. Aku pamit dan kembali ke kamar di pondok santri putri sebentar. Lalu menuju Surau, menyapu lantai dan menggelar karpet untuk persiapan shalat Zhuhur.
Menjajal menjadi santri putri di pesisir Jawa Timur ternyata jauh berbeda dari yang aku bayangkan. Aku bisa fokus belajar Islam di sini. Tidak diganggu dengan televisi atau hingar-bingar metropolitan. Rasanya tenang sekali. Aku menyelesaikan shalat Zhuhur berjamaah bersama ibu-ibu yang tinggal di sekitar Ponpes. Selepas shalat, aku keluar sebentar. Menuju arah pasar.
Kota pesisir ini memang panas. Untunglah pasar bisa ditempuh hanya dengan berjalan kaki. Aku memilih warung soto ayam yang tidak terlalu besar untuk bersantap siang. Entah karena lelah setelah berjalan di bawah terik matahari ataukah karena soto ini memang enak. Aku menghabiskan semangkuk soto dan satu piring nasi dengan cepat.
Aku kembali jalan kaki menuju Ponpes. Kiri dan kanan jalan dipenuhi rumah-rumah tua dengan warna cat cream, tosca dan torquise. Warna-warna vintage yang membawaku seakan berada di era yang lain. Rumah di sini tinggi-tingi, tetapi cenderung lebih gelap dari di kota Gresik. Tampaknya lantai paling atas sengaja dibiarkan kosong dan gelap.
"Mampir sini, Mbak." Perempuan pemilik warung di dekat Ponpes memanggilku. Aku tidak punya alasan untuk menghindar.
"Beli teh botol dan chiba-nya, Bu." Aku spontan mengambil chiba. Teringat masa kecilku yang terangkum dalam sebungkus chiba dan anakmas.
Pemilik warung memberikan aku teh botol yang masih dingin. "Tamu Bu Nyai ya?"
Aku mengangguk. Tidak lama datang seorang perempuan paruh baya yang gemuk dan mulai susah berjalan. Dia duduk di depanku dan bertanya pada pemilik warung tentang identitasku. Pemilik warung bilang kalau aku tamu Ponpes.
"Ini Hajjah Nana, masih sepupu Bu Nyai juga," ujar pemilik warung melihat gerak-gerikku yang mulai kurang nyaman.
Aku meletakkan teh botol di kursi dan langsung mencium tangan Hajjah Nana. Beliau menyambut ramah. Kami lalu bercakap. Tiba-tiba aku teringat rumah-rumah yang tinggi dan gelap.
"Rumah di sini besar-besar ya?" Ujarku sambil berhenti mengunyah chiba.
Pemilik warung mulai ikut nimbrung. "Iya, di sini, dulu zaman Orde Baru banyak orang Orang Kaya Baru (OKB)."
"Oh ya?" Rasa ingin tahuku memuncak.
"Iya, di sini kan dulu banyak pengusaha sarang burung wallet," pemilik warung terus bicara. "Hajjah Nana, dulu juga pengusaha sarang burung wallet."
"Ooh…Hajjah Nana juga punya sarang burung wallet?" Aku bertanya lagi.
Hajjah Nana menunjuk ke salah satu rumah yang paling besar dan tinggi. "Itu rumah saya, sekarang tinggal sedikit. Dulu lantai paling atas rumah kami hampir semuanya dijadikan tempat untuk sarang burung wallet, tetapi keadaan berubah."
"Kenapa Hajjah Nana?" Aku menangkap ekspresi Hajjah Nana yang mendadak sedih.
"Produksi sarang burung wallet menurun drastis. Industri dan polusi membuat wallet tidak mau datang lagi. Lingkungan sudah rusak. Wallet tidak suka." Hajjah Nana masih terlihat sedih.
Pemilik warung kembali nimbrung. "Nah, pelan-pelan orang-orang kaya jadi bangkrut. Sejak sarang wallet semakin sedikit, orang-orang jadi kehilangan penghasilan."
Aku sedih mendengarnya. Kerusakan lingkungan akibat aktivitas industri ternyata benar-benar berpengaruh pada ekonomi warga sekitar. Obrolan kami terhenti oleh adzan Ashar.
Aku pamit dan kembali ke Ponpes. Saat aku tiba, Ulfa dan Rahma sudah ada di sana. Mereka panik sekali. Ternyata, mereka membawakanku makanan karena khawatir aku belum makan. Duh, gadis belia yang manis.
Kami membereskan Surau. Kali ini agak lama, karena harus berbenah. Setelah shalat Maghrib, aku tidak ikut kajian. Aku pamit untuk mengirim laporan beberapa hari ini. Nisa mengingatkanku tentang peraturan Ponpes.
Memang setelah Maghrib, santri dilarang keluar. Apalagi santri putri. Tetapi apa boleh buat. Laporan harus aku kirim malam ini juga. Ini akan jadi malam terakhirku di Gresik.
Sebenarnya warung internet (warnet) tidak jauh dari Ponpes. Kebetulan ada yang kosong juga. Aku tidak perlu menunggu lama.
Aku sempat chatting dengan Professor di Universitas tempatku belajar dan bekerja. Kami membahas beberapa data yang masih dibutuhkan untuk penelitian. Aku pulang ke Ponpes setelah Isya. Saat aku memasuki Ponpes, seorang santri lelaki menggangguku. Tingkahnya aneh dan janggal. Sepertinya dia kurang waras. Aku berlari ke Surau santri putri. Dia mengikuti.
Santri putri dewasa (yang khawatir menungguku) belum tidur. Mereka masih terjaga di Surau. Sementara santri putra yang kurang waras itu terus membuntutiku. Ulfa dan Rahma langsung mengusirnya. Nisa menarik aku masuk ke Surau.
Tetapi apa yang terjadi? Santri putra yang kurang waras itu malah ribut. Ulfa dan Rahma juga tak kalah ribut. Mereka bertengkar. Keributan rupanya terdengar sampai ke rumah Kyai Zakaria. Pak Kyai pun keluar dan menghentikan keributan.
Habislah mereka semua dimarahi. Aku merasa bersalah. Gara-gara aku melanggar peraturan, seisi Ponpes ikut heboh. Santri jadi kena omel dan hukuman. Pelajaran besar bagiku, di mana pun aku berada, tidak selayaknya aku abai pada norma yang "hidup" di sana.
Apapun alasannya. Kami kembali ke kamar setelah menerima wejangan dari Kyai Zakaria. Dan perempuan-perempuan manis ini, masih berbagi mimpinya denganku.
"Seperti apa Jakarta?" Ulfa bertanya nanar.
"Kami belum pernah ke Jakarta, ke kota saja jarang." Nisa ikut bicara dengan nada sedih.
Aku tersenyum melihat mereka. "Jauh dengan keadaan di sini. Jakarta bising. Di sini lebih tenang…"
Rahma mendekat ke aku. "Apakah kami nanti bisa melihat Jakarta?"
Ulfa juga mendekat. "Kami tidak akan selamanya di sini, nanti kami akan pergi dan mencari mimpi kami sendiri."
Nisa masih tetap duduk di tempatnya. "Kami hanya mendengar cerita kota dari balik tembok Ponpes. Tapi pasti kami tidak akan terus di sini."
Aku memeluk mereka satu per satu. Sudah seperti adik sendiri mereka ini. Selama di Ponpes, aku merasa kehidupan melambat. Begitu jauh dari ambisi dan stres. Hidup berjalan apa adanya.
Tanpa mesti didikte dengan perencanaan yang panjang dan rumit. Tanpa harus diprotes dengan seribu satu keinginan yang tak pernah ada habisnya. Malam ini, kami tidur berdekatan. Tidak peduli nyamuk yang ganas. Lantai yang dingin. Kamar yang gelap. Sebab bahagia telah hadir dalam dekap sahaja.