Depok, 2009
Binar curiga melihat aku dan Putik yang serius. "Ada yang aku lewatkan? Rin, kamu baik-baik saja kan?"
Aku menggeleng. "Tidak ada, aku masih hidup setelah lepas dari dua operasi dan bersiap untuk operasi ketiga. Cuma sepertinya Putik butuh piknik. Bosan dia, mainnya cuma sekitar pohon salak dan Ciliwung."
Putik memukul pundakku "Jangan drama! Jangan merasa paling menderita sedunia. Hidup itu butuh banyak bumbu biar makin sedap," lagaknya mirip super trainer yang menyelesaikan masalah dengan yel dan jargon.
"Hidupku itu sudah terlanjur jadi drama tanpa babak. Tidak ada jedanya. Kalau ditambah bumbu lagi, yang ada malah mual. Oh ya, aku memutuskan untuk berhenti kuliah."
Mata Binar membelalak. "Jangan gila!"
Aku menggoyangkan jari telunjuk kananku beberapa kali. "Jangan hakimi aku…Kamu tahu? Mereka tanya padaku: kenapa bisa kena tumor payudara untuk kedua kalinya? Kamu tidak jaga diri sih. Ah, aku lelah…saat ini, aku hanya butuh alasan untuk hidup. Aku ingin berkelana."
Putik menggeleng. "Tidak ada satu pun yang berhak menghakimimu. Setiap kita punya garis hidup yang berbeda."
"Tapi ini bukan keputusan sembarangan. Sedikit lagi Rin." Binar geregetan.
Aku hampir putus asa. "Apa lagi Nar? Cuti lagi? Berapa lama waktuku harus kuhabiskan di dalam kampus? Terperangkap dalam situasi yang sama? Kuliah, operasi, cuti…begitu saja terus. Bagaimana kalau di operasi ketiga hidupku berakhir? Ya ampuuunnn…setahun ini hidupku hanya tentang lorong rumah sakit, jarum suntik, jas putih dokter dan obat penahan rasa sakit. Aku tidak punya energi untuk skripsi, berhadapan dengan dosen pembimbing atau persiapan sidang. Aku ingin rehat. Aku ingin melihat dunia yang lebih luas. Aku ingin waktuku tidak dihabiskan di tempat yang itu-itu lagi. Aku butuh perjalanan. Lagipula aku kuliah untuk belajar hukum, bukan untuk pasang foto dengan toga di ruang tamu. Nasibku tidak ditentukan oleh selembar ijazah universitas."
"Iya…aku sepakat, kamu butuh liburan. Sudah tidak perlu dibahas, kamu bukan anak kecil. Aku percaya kamu tahu yang terbaik untuk dirimu." Sabit mengeluarkan agenda dari tasnya. "Aku tahu isi hati kalian. Lihaatt!!! Aku sudah rencanakan liburan seru."
Binar penasaran. "Kemana?"
Sabit menunjuk gambar pantai di agendanya. "Anyer."
"Ah! Terlalu mainstream." Aku menjawab acuh.
Sabit tidak terima idenya dimentahkan begitu saja. "Ini akan beda, pokoknya seru!"
Aku berpikir sejenak. "Baiklah!"
Binar menggeleng beberapa kali. "Dasar mudah dibujuk!"
"Kamu bisa tinggal kalau tidak mau ikut." Sabit melotot ke arah Binar.
Binar hanya merengut. "Kalian tidak akan bisa pergi tanpa aku."
Seminggu kemudian, pukul 06.00 WIB, mobil Sabit sudah dipacu dari selatan Jakarta. Putik duduk di kursi depan, menemani Sabit yang mengemudi. Aku dan Binar duduk di tengah. Bening tak bisa ikut. Dia masih disibukkan dengan pasiennya. Bagian belakang mobil sudah dipenuhi dengan koper. Kami akan menyewa satu cottage di sana.
Perjalanan ditempuh dengan sunyi. Jarang ada yang bersuara. Bagi kami ini terlalu pagi untuk meracau. Bahkan Binar pun tak punya banyak tanya pagi itu. Putik berusaha melawan rasa kantuk. Sebagai orang yang duduk di sebelah supir, matanya harus selalu awas.
"Kita sampai." Dua kata dari Sabit berhasil membuat Binar melonjak.
Aku dan Putik menurunkan barang. Binar menemani Sabit mengambil kunci di penjaga cottage. Syukurlah, tempat kami tak jauh dari bibir pantai. Putik ingin langsung bermain air, tapi Sabit mencegah.
"Main airnya nanti saja, setelah makan dan sholat, sekarang kita beres-beres dan menyisir bibir pantai."
Sedikit kecewa, Putik menahan hasratnya untuk terjun bebas di laut lepas. Barang-barang dimasukkan ke dalam satu kamar yang tersedia. Sabit mengamati seisi cottage, lalu keluar ke beranda.
Orang-orang di pantai terlihat antusias. Ada yang bermain banana boat, ada yang meluncur bebas dan ada juga yang hanya berkutat dengan istana pasir. Selangkah demi selangkah, Sabit menuju bibir pantai.
Binar sudah ada di sana dengan kameranya. Biasanya aku yang semangat mengambil gambar, tapi kali ini perhatianku terpaku pada istana pasir yang dibangun anak-anak. Sesaat hempasan air menghancurkan istana mereka.
Anak-anak itu kecewa, tapi tak bertahan 1 menit, mereka sudah mengumpulkan pasir lagi, menggali dan kembali membangun.
"Andai kita sesederhana anak-anak itu. Tak pernah jemu membangun mimpi mesti dihempas berkali-kali." Putik tiba-tiba sudah ada di sebelahku.
Aku membalikkan badan. Menghindari sengat matahari yang memantul di Pantai Bandulu. "Orang dewasa terlalu rumit Put, itu sebabnya mereka tidak bahagia."
"Mereka? Apa kita bukan bagian dari mereka?"
Matahari bergerak ke atas kepala. Aku merasakan pandanganku mulai nanar. "Kita juga." Aku bergegas pergi, menghindar dari pertanyaan yang lebih menyayat lagi." Andaikan kita tetap jadi anak-anak."
Kata-kataku yang tiba-tiba terucap membuat Putik terperanjat. "Peterpan syndrome."
"Apa?" Aku menengok menatap wajah Putik.
"Situasi dimana seseorang tidak siap menjadi dewasa."
Aku mengangkat bahu. Sabit memanggil kami untuk makan siang. Pemilik cottage sudah menyiapkan makanan. Menu utamanya pasti ikan bakar. Kami makan tidak terlalu banyak.
Putik berlari menuju pantai. Dia menyewa satu papan luncur. Aku juga ikut belajar meluncur. Bagiku ini adalah pengalaman pertama. Semoga kali ini telingaku tidak bermasalah di dalam air. Sabit lebih suka berenang di pantai, sedang Binar masih dengan kameranya.
"Awas! Ombaknya mulai tinggi. Nanti ada buaya." Hari menuju sore, ombak lebih ganas dari siang tadi. Sabit mulai khawatir.
Tapi tentu saja, kata-kata Sabit malah membuat Binar tergelak.
"Hahahaha….memangnya ada buaya di laut?"
Sabit yang polos menjawab Binar tanpa rasa bersalah. "Ada…hmm…buaya laut."
Jawaban ini membuat Binar terbahak-bahak. Lulusan Fakultas Biologi yang selalu berurusan dengan kehidupan ikan dan pelet itu tidak bisa membayangkan buaya berenang di laut. Sementara Putik dan aku tak peduli, kami terus bermain papan luncur. Seperti ada sesuatu yang baru saja ditaklukkan.
Meluncur di atas ombak. Melawan rasa takut sendiri. Membuktikan pada dunia kalau kita berada di atas. Kepala orang lain ada di bawah sana. Mereka tak berani menantang ombak. Mereka orang-orang yang harus puas bermain di zona nyaman.
"Awas! Putik…." Teriakan Sabit yang kian meninggi tak sampai ke tengah pantai yang hampir bewarna biru tua.
Ada Putik di sana. Papan luncurnya belum lagi siap. Sementara ombak tinggi terlihat seperti tangan yang siap menerkam tubuh mungilnya. Aku yang hampir usai bermain, spontan berenang ke tengah. Pun Sabit yang ada di tepi pantai juga ikut berlari ke arah Putik.
Namun, setiap kesombongan selalu ada harganya. Putik dan aku tak sanggup melawan cengkraman ombak yang tingginya 1,5 meter di atas kepala kami. Hampir saja dua tubuh ringkih terbawa ombak. Tangan kami berpegangan, saling menguatkan. Sabit yang baru mencapai tengah laut berhasil menarik tangan salah satu dari kami. Bertiga, kami memanjat doa.
Ombak kembali normal. Kami masih bertahan di tempat yang sama. Syukurlah, arus mengantar ke tepian, bukan menarik ke tengah laut. Kami selamat. Hanya ada tanda merah di pipi. Bekas tamparan papan luncur. Binar yang melihat kejadian itu dari pinggir pantai menarik napas lega. Beberapa menit lalu, jantungnya berdegup kencang.
"Biar mereka kapok! Dasar impulsif!" Sabit menggerutu begitu tubuhnya berhasil menyentuh daratan.
Putik tertawa lepas. "Hahaha…kalau gak begitu gak belajar…"
Sabit melotot. "Itu keterlaluan!"
Putik masih saja terus tertawa. "Baiklah, kita main yang lebih santai saja."
Bagi Putik, ini hanya petualangan kecil. Bagi Sabit, ini tindakan ceroboh. Tapi bagiku, ini sebuah perjuangan menaklukkan rasa takut. Setelah kerusakan di tulang telinga—yang menyebabkan telingaku sensitif saat kemasukan air—kupikir aku tidak akan bisa berenang lagi.
Kukira tidak akan kujumpa lagi laut yang indah dan pantai yang tenang. Aku hampir merasa satu kebahagiaan kecilku telah direbut. Namun hari ini, aku ada di sana, di atas ombak. Berhadapan dengan keterbatasanku sendiri. Aku bisa. Aku melampaui rasa takutku.
Keesokan harinya, lebih dari 10 orang menarik satu tambang yang sama. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak. Tak ada yang duduk diam dan bersantai, kecuali turis yang datang untuk berlibur. Tapi bagi mereka, tak ada liburan. Bahkan di laut seindah ini. Laut tempat mereka tumbuh, hidup, dan mencari penghidupan.
Jaring yang ditebar kemarin sudah bisa ditarik lagi. Tak mungkin hanya satu orang yang bekerja. Bahu-membahu, sekuat tenaga, mereka genggam tali besar yang mengikat jaring di laut. Sedikit susah payah, dengan peluh keringat hasil sengatan matahari yang masih malu-malu untuk hadir. Jaring akhirnya mendarat sempurna di daratan.
Ibu-ibu berkerumun menghampiri jaring yang dibuka. Transaksi langsung dimulai. Ikan yang ada dalam jaring seketika ludes terjual. Tak banyak hasil tangkapan pagi ini. Hanya beberapa saja yang bisa dijual. Sisanya dicampakkan begitu saja di pasir yang mulai bau amis.
"Ikan itu tidak bisa dimakan." Putik bicara sebelum Binar dengan kening berkerutnya sempat bertanya.
Binar, ahli biologi pencinta biota ini memasang senyum sinis. "Diambil dari habitatnya dan dihempas dengan sempurna. Begitu buruk kita memperlakukan alam." Jika menyangkut keberlangsungan biota, Binar jadi serius sekali.
Putik tertawa mendengarnya. "Hahaha…mereka tidak punya pilihan."
"Mereka tidak disediakan pilihan. Ini berbeda…." Aku menyela
Tawa Putik makin keras. "Hahaha…sinis banget."
"Hai, Kalian kenapa masih di situ? Kita harus pergi sekarang!" Suara Sabit terdengar berdampingan dengan suara mesin mobil yang menyala.
Kami meninggalkan Pantai Bandulu. Melepaskan batas laut utara-selatan. Sesaat kemudian, mobil kembali dipacu melintasi jalan yang begitu fenomenal.
Jalan Raya Anyer-Panarukan atau lebih dikenal dengan Jalan Raya Pos. Kadang orang-orang menyebutnya dengan Jalan Raya Daendles. Jalan yang menjadi bagian penting sejarah negara bernama Indonesia. Begitu masyurnya, hingga sang penulis besar rela mencatat kisahnya.
Dunia sastra mengenal catatan sang penulis dengan judul: Jalan Raya Pos, Jalan Raya Daendles. Ah, karya penulis yang konon pendengarannya terganggu karena dipopor senjata itu memang selalu mengagumkan.
Aku sendiri lebih banyak mengenal jalan ini dari cerita Sicilia tentang Opa yang pernah bekerja di Jawatan Pelayaran Belanda. Sebulan sekali, Opa bertandang ke Pulau Seribu melalui Anyer.
Opa punya dua pistol di saku kiri dan kanan celananya. Tasnya berisi uang yang harus dibagikan pada penjaga di Pulau Seribu. Sesekali Sicilia menemani Opa menaiki mobil Jeep kebanggaannya. Sicilia tak ikut menyeberang ke Pulau Seribu. Opa menitipkan noni kecilnya pada penduduk di Anyer.
Sicilia tak akan pernah lupa pada pos-pos pengawasan Belanda yang berjejer di sepanjang jalan. Itu sebabnya mereka sebut ini Jalan Raya Pos. Dulu ada mercusuar tinggi di sana. Konon Daendles memang membangun mercusuar untuk mengawasi pantai. Sayang, mercusuar Daendles sudah koyak akibat letusan Gunung Krakatau. Mercusuar yang pernah dilihat Sicilia dan yang kini masih berdiri adalah mercusuar yang dibangun ulang.
"Hei, ada di mana kita sekarang?" Tiba-tiba suara Sabit terdengar cemas.
"Jangan tanya aku, kemampuan spasialku jeblok." Putik berusaha menghindar. Sama sekali tidak membantu.
Binar membuka kaca jendela. "Parkir saja dulu di Klenteng depan itu, ada penjual es kelapa. Kita bisa tanya-tanya di sana."
Sabit menurut. Mengemudikan mobilnya masuk ke area parkir Klenteng. Kami turun dari mobil dan langsung menyerbu warung penjual es kelapa. Tak jauh dari tempat mereka duduk, bangunan kuno berwarna coklat terlihat hampir runtuh.
"Mainlah ke bekas benteng Belanda itu. Benteng Speelwijk. Bagus pemandangannya." ibu penjual es kelapa sepertinya bisa mengira keinginan hati Binar yang sejak datang tadi selalu melirik ke arah bangunan yang hampir runtuh itu.
Putik bangkit dari tempat duduknya. Menatap sisa bangunan yang katanya bekas benteng. "Ooh…ada benteng di sini?"
Ibu penjual es kelapa juga melihat ke arah benteng. "Iya, bekas tempat tentara Belanda memantau laut. Sekarang malah jadi tempat anak-anak main bola dan petak umpet."
"Ayo kita ke sana!" Binar langsung bangkit dan bersiap mengambil kameranya.
"Malas." Putik menjawab acuh.
Sabit menggeleng. "Masih lelah setelah menyetir."
Binar langsung melirik ke arahku, tinggal aku harapan satu-satunya. Aku pura-pura tidak melihat, tapi akhirnya tertawa dan beranjak dari kursi. "Hahaha…baiklah, ayo kita lihat seberapa menarik benteng itu?"
"Impulsif lagi. Hati-hati! Kita bahkan tidak tahu siapa yang ada di sana." Seperti biasa, Sabit selalu khawatir.
Putik memutar bola matanya beberapa kali. Jelas dia tak setuju "Mereka bukan bocah. Tahu diri dan harusnya bisa jaga diri."
Sebelum Sabit kembali melontarkan keraguannya, Binar dan aku sudah menghilang. Tak jauh benteng ini dari Klenteng atau Vihara tempat kami istirahat tadi. Benteng ini terbilang masih kokoh, meski ada beberapa bagian yang rusak.
Aku bahkan bisa memanjat ke sisi atasnya. Memang banyak anak-anak yang bermain di sini. Mereka ceria sekali. Satu anak terlihat murung di kejauhan. Teman-temannya memanggil dia si bungkuk.
"Kalau masuk ke lorong itu bisa tembus ke laut." Ujar salah seorang anak lelaki pada Binar.
Binar menanggapi dengan serius. "Oh ya? Aku mau coba. Kita harus masuk ke lorong itu."
Namun begitu Binar masuk, lorong di salah satu benteng itu ternyata kosong saja. Buntu dan tak tembus kemana-mana. Anak-anak yang sedang bermain pun tertawa keras. Binar kesal dan merasa tertipu.
"Lupakan! Ini benteng untuk memantau pantai, mungkin dulu orang tua anak-anak itu bercerita kalau mata para tentara bisa sampai ke laut. Itu sebabnya mereka percaya lorong dalam benteng ini langsung tembus ke laut. Sudahlah…ayo kembali. Sabit dan Putik terlalu lama menunggu."
Binar masih sedikit kesal, tapi akhirnya meninggalkan benteng itu dengan senyum dan lambaian tangan untuk anak-anak yang sedang bermain. Tak terkecuali dengan si bungkuk. Sampai di penjual es kelapa, Sabit memang sudah bersiap menyalakan mesin mobil. Putik tengah menunggu uang kembalian. Mengikuti petunjuk dari penjual es kelapa di area parkir Vihara, Sabit memacu mobilnya melewati pelabuhan Karangantu. Beberapa perahu bersandar di sana, namun sepi sekali. Tak ada tanda-tanda kehidupan.
"Seram sekali tempat ini. Benar-benar seperti tempat hantu." Suara Binar sudah terdengar lagi.
"Pelabuhan Karangantu, dulu menjadi pusat lalu lintas laut yang vital. Tadi si Ibu penjual es kelapa sempat cerita." Putik menanggapi ketakutan Binar. Sementara Sabit fokus pada setir di tangannya.
Aku melihat lekat tempat yang seakan keramat dari balik jendela. "Masih aktif?"
Kepala Putik yang duduk di kursi depan menyembul sebentar. Seolah ingin menatap kedua sahabatnya yang duduk di kursi tengah.
"Beberapa kali dalam seminggu digunakan untuk berlayar ke Pulau Tunda."
Sabit kembali tancap gas, meninggalkan Pelabuhan Karangantu dengan kisah lampau yang tertinggal. Sementara khayalku melambung pada lukisan The Market of Banten karya G.P. Rouffer dan J.W. Ijzerman—yang mengisahkan aktivitas pasar di banten pada masa Cornelis de Houtman. Sebagai kota bandar, Banten memang punya peranan penting dalam perdagangan nusantara.
Tak berapa lama setelah meninggalkan Karangantu, kerumunan massa jelas terlihat. Parkir luas membentang berisi mobil dan bus dari berbagai daerah. Katanya orang-orang ini hendak ziarah atau wisata rohani. Mereka tidak cuma beribadah, tetapi juga menyambangi makam-makam kuno yang dipercaya masih keturunan para wali.
Sabit memandu mobilnya ke sudut halaman yang luas. Kami turun dan bergabung dengan ratusan jamaah yang memasuki gerbang Masjid Agung Banten. Sekejap saja aroma menyan menyergap.
Tidak ada ruang untuk bernapas. Rasa sesak menghimpit dada. Satu per satu pengemis berpakaian lusuh menghampiri. Potret kepercayaan di negeri ini. Tercampur antara keyakinan dengan kisah mistis.
Satu tiang tinggi bertengger di muka gerbang. Berhias tulisan yang sengaja dilukis dengan huruf besar. Binar dengan seksama membaca tulisan "DILARANG" yang sangat menarik perhatian. Dia berpikir kalau ini adalah himbauan yang biasa ada di tempat-tempat wisata religi yang sedikit mistis. Misalnya saja dilarang meludah atau dilarang berkata kotor. Tetapi lanjutan dari kata-kata itu justru:
"DILARANG MEMBUANG SAMPAH DI AREA MASJID."
Aku yang mengerti apa yang ada di benak Binar langsung tertawa. Binar pun ikut-ikutan tertawa. Sebagai anak moderen, ternyata kami terpengaruh juga ungkapan "pamali" yang sering didengung orang tua zaman dulu. Maklum orang timur, tampaknya hal-hal berbau mistis memang sulit dihilangkan seratus persen.
Anehnya, area Masjid justru tidak terlihat ramai. Kemana ratusan orang yang berjalan bersama kami tadi? Oh, ternyata konsentrasi massa terpecah menjadi dua bagian. Rombongan yang satu terlihat memadati makam-makam kuno. Mereka berdoa di sana, ada juga yang meminta berkah.
Rombongan lainnya langsung menuju tempat wudhu, tetapi bukan untuk berwudhu, mereka ada di sana untuk mandi. Air Masjid Agung Banten dipercaya memiliki banyak khasiat.
Aku yang kebetulan sedang tidak sholat pun beberapa kali ditawari untuk mandi. Ada juga yang menjajakan berbagai tasbih, foto para wali dan air suci (yang konon kabarnya sudah didoakan di dekat makam kuno). Tetapi, aku hanya ingin segera keluar karena tak tahan dengan kerumunan orang di tengah bau menyan yang menyekap.
Sisa perjalanan kembali ke Jakarta lebih banyak diisi dengan aksi diam. Sabit sadar ada sesuatu yang ia dan kami simpan dalam dada masing-masing. Rangkuman cerita yang terjalin dari lampau hingga kini. Kisah kejayaan samudera Indonesia yang tersisa menjadi dongeng masa lalu. (Bersambung)