Chereads / TENANG, MASIH ADA PAGI / Chapter 5 - KOLESTEATOMA

Chapter 5 - KOLESTEATOMA

Jakarta, 2008

Ruangan serba putih ini menyergapku. Satu kamera kecil dimasukkan ke telinga. Dokter THT keenam: Prof. Helmy. Suami dosen di kampusku. Dokter-dokter THT sebelumnya tidak bisa membuatku lolos dari rasa sakit.

"Huff…." Prof. Helmy menarik nafas panjang. Kak Rimbun yang duduk depan meja dokter jadi cemas. Ah, selalu begitu. Aku turun dari kursi pemeriksaan yang lebih mirip 'kursi panas.'

Prof. Helmy mengambil kertas putih. "Kita operasi seminggu lagi ya."

Hah? Operasi satu minggu lagi? Apa-apaan ini? Mendadak sekali. Wajah Kak Rimbun jadi pucat. "Adik saya kenapa, dok?"

"Beberapa bagian tulang di dalam telinga Rintik sudah dimakan kolesteatum. Saya harus segera ambil tindakan. Kalau tidak, kolestetatum-nya bisa makan lebih banyak lagi tulang dalam telinga. Makanya harus cepat. Mumpung saya masih bisa masukkan alat ke dalam telinga. Terlambat sedikit saja, kita tidak punya pilihan lain, selain bor dari batok kepala bagian belakang telinga. Jangan khawatir, ini hanya operasi kecil. Tidak perlu bius total."

Sebentar! Tuhan, aku ling-lung. Operasi lagi? Tidak! Ini tidak mungkin. Harusnya hanya ada satu kali saja operasi sepanjang hidupku. Harusnya sudah cukup operasi tumor payudara tahun kemarin. Kenapa harus ada operasi yang lainnya lagi? Satu zat antah-berantah menggerogoti tulang telingaku. Tidak bisa kupercaya. Apa pilihan untukku sekarang? Aku tidak berdaya.

Ruangan dingin ini. Sekali lagi. Sepi. Hanya ada dua orang di sini. Aku dan lelaki dengan pakaian hijau. Masker dan penutup kepalanya juga berwarna hijau. Aku berbaring. Sementara dia ada di sebelah kiri, setia menemani. Lelaki yang sampai sekarang aku tak tahu namanya.

"Nanti apapun yang terjadi, kalau saya panggil harus jawab ya! Ingat! Harus jawab!" Katanya mendikte.

Sebagai orang yang tidak diberikan pilihan, aku hanya sanggup mengangguk. Mau apa lagi? Toh aku tak kenal dia, tapi tidak kuasa menolak titahnya.

"Ini bahaya loh! Bisa sampai ke otak," ujar lelaki ini lagi.

Aku membatin. Mengapa Prof. Helmy begitu lama? Aku dibiarkan berdua saja dengan asistennya yang suka cerita. Menanti operasi tanpa bius total sungguh melelahkan. Seperti kambing Idul Adha yang siap dieksekusi, tapi sang jagal malah asik main gaple. Terbayang kan stresnya penantian model begini?

Sebagai seorang introvert, mendengar cerita orang baru tak selalu menyenangkan. Apalagi di saat seperti ini. Untunglah Prof. Helmy datang. Dokter THT yang wajahnya mirip Affandi ini selalu bisa membuatku tenang. Aku merasa melihat Abah dalam rupanya. Prof. Helmy menyiapkan berbagai alat. Aku tak bisa bayangkan, jika dia benar-benar membor batok kepalaku.

Awalnya dilakukan bius lokal. Lalu alatnya masuk ke telinga. "Ngiuuuuung..." duh ngilu mendengarnya. Tapi belum terlalu sakit. Maklumlah, sebelum ini aku sudah lebih dulu merasakan sakit yang lebih dahsyat. Alat masuk semakin ke dalam. Bisa aku lihat darah keluar dari telingaku. Semakin lama semakin ngilu. Pandanganku berputar. Pusing sekali.

"Rintik Pagi?" Lelaki itu, asisten Prof. Helmy memanggilku.

Aku mengangguk lemah. "Ya."

"Syukurlah." Dia merasa lega.

Alat Prof. Helmy masuk lagi. Kali ini nyerinya luar biasa. Aku berteriak kesakitan. Prof. Helmy, dokter yang seperti ayahku sendiri itu sungguh tak sampai hati. Sesekali dia berhenti, memberiku dukungan dan kekuatan. Mengusap bahuku, bagai aku putrinya sendiri.

Ya, putrinya memang seniorku di kampus. Kami hanya selisih dua tahun. Prof. Helmy kembali meneruskan tugasnya. Darah semakin banyak. Kepalaku benar-benar berputar.

Lama-kelamaan aku rasa tubuhku begitu lemah. Entah mengapa rasa sakit itu hilang. Tak terasa sama sekali. Lalu tubuh menjadi ringan. Perlahan ada yang memecah. Tubuhku dan aku yang entah disebut apa. Aku ternyata begitu halus, ringan dan transparan.

Saking ringan dan halusnya, sampai bisa terlepas dari tubuh. Seperti mimpi. Aku melihat tubuhku sendiri di sana. Terbaring. Lalu aku di sini siapa? Mengapa ada jasadku di sana dan ada aku di sini? Sebelum semua tanya dijawab, aku dengar suara lelaki itu. Asisten Prof. Helmy yang aku tidak tahu namanya.

"Rintik Pagi…Rintik Pagi…Rintik Pagi…." Tak ada jawaban dan dia mulai panik.

Tangannya mulai mengguncang tubuhku. "Rintik Pagi...Rintik Pagi...."

Aku ingat pesan lelaki itu. Harus jawab bila dia memanggil. Lelaki yang baru aku kenal itu. Lelaki yang mendikteku untuk selalu menjawab panggilannya. Padahal aku pun tak akan pernah bisa memanggilnya. Aku tidak tahu namanya.

Tetapi dia, dia memerintahku untuk selalu menjawab bila dia panggil. Sungguh aku ingin. Aku ingin menjawab panggilannya. Tetapi dengan apa? Aku seperti terputus dari tubuh yang terbaring di sana. Tolong Tuhan, aku tak tahu caranya menjawab panggilan lelaki itu.

Namun lelaki itu terus memanggil. Seperti menagih janjiku padanya. Seperti masih terus berharap aku bisa menjawabnya. Dan aku, perempuan yang akan selalu menepati janji. Perlahan aku rasakan turun. Perlahan, menyatu kembali dengan tubuh yang terbaring.

Perlahan, bisa aku gerakkan bibirku untuk sekedar berkata: "ya..."

"Syukurlah." lelaki itu kembali terdengar senang. Jumawa karena perintahnya sudah aku taati. Aku, menjawabnya, sesulit apapun itu.

Tidak sampai 30 menit kemudian operasi kecil ini selesai. Aku baru tersadar kalau aku hampir saja benar-benar lepas dari tubuh. Mengerikan sekali. Bagaimana rasanya melihat jasadmu sendiri, sedang kau tak ada di dalamnya? Benar-benar mengerikan, apalagi untuk orang cinta dunia dan takut mati.

Tetapi aku tak ingkar janji. Aku menjawab panggilan lelaki itu, iya, dia, lelaki yang tak akan pernah bisa aku panggil. Sebab sampai saat ini, aku tidak tahu namanya.

Telepon seluler Kak Rimbun berbunyi. Dia keluar dari ruangan dan meninggalkanku bersama Kak Ranting. Ada suara Kak Rindu di ujung sana. Menelpon dari rumah.

"Bagaimana keadaan Rintik?" Kak Rindu cemas sekali.

Kak Ranting belum berhasil menenangkanku yang terus menangis karena kejadian ajaib di ruang operasi. Tangisanku membuat Kak Rimbun jadi gusar dan berteriak di telepon selulernya.

"Innalillahi…"

Dan tuut…tuut…tuut…panggilan terputus. Telepon seluler Kak Rimbun habis baterai. Keadaan jadi serba kacau. Tangis Kak Rindu meledak di rumah. Membuat seisi rumah panik bukan kepalang. Hanya sebuah operasi kecil, pikirnya. Kenapa sampai begini?

Ketika aku sampai di rumah, jantungku hampir berhenti. Satu bendera kuning dipasang di depan gang masuk ke rumahku. Aku melihat rumahku dikunjungi orang-orang dan dipasang tenda. Isak-tangis bersahutan. Mereka datang untuk melawatku yang dikira mati dalam operasi siang tadi. Dan aku, seperti hantu yang tengah menyaksikan upacara pemakamanku sendiri. Benar-benar gila!

Pasca kejadian itu, aku mengalami stres berat. Tidak ada percobaan kematian. Lalu yang aku alami ini apa? Simulasi pencabutan nyawa? Aku hampir kehilangan akal sehat. Aku merasa selalu diikuti malaikat maut. Momen yang membuatku bertanya kembali, "mengapa kita hidup?" dan "kenapa kita takut mati?"

Satu demi satu tanya tidak punya jawaban. Aku bukan lelaki itu, asisten Prof. Helmi yang punya kuasa menyuruh orang menjawab. Siapa yang bisa menjawab tanya-tanya yang merambat di kepala lalu akarnya menusuk terus sampai ke hati?

"Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya, tanpa kita mengerti, tanpa kita bisa menawar, terimalah dan hadapilah."

Serasa puisi Gie berputar di otak. Terus-menerus. Tapi kali tidak ada Pangrango atau Puncak Mandalawangi yang dijadikan sandaran. Setengah was-was, aku pergi ke psikolog. Tanpa sepengetahuan kakakku tentunya. Aku bilang mau kontrol ke Prof. Hartanto. Berhubung masih dalam pemulihan, Pak Ikhsan diminta mengantarku.

Psikolog ini praktek di tempat Prof. Hartanto. Rencananya, setelah konsul dengan psikolog, aku langsung cek Prof. Hartanto. Ini sudah waktunya untuk cek payudara. Masuk ke ruangan psikolog membuat jantung berdebar keras.

Tetapi hasilnya jauh dari ekspektasi. Psikolog di rumah sakit ini hanya memintaku untuk sabar, ikhlas dan menceramahiku dengan aneka macam ayat. Cara bicaranya tidak lebih menyenangkan dari Mamah Dedeh. Kalau hanya untuk sekedar mendengar ceramah, kurasa aku tidak perlu ke psikolog. Aku cukup mengetuk pintu rumah Kak Rimbun atau beli kaset ceramah Zainuddin MZ.

Kutinggalkan saja ruangan psikolog itu, menuju ruangan Prof. Hartanto. Nah, di ruangan yang ini, ceritanya lain lagi. Satu FAM yang tidak terdeteksi saat operasi pertamaku, sekarang malah eksis dan membesar. Plus diikuti dengan FAM kecil yang juga mulai genit. Rekomendasi Prof. Hartanto masih sama dengan setahun kemarin. Bisa ditebak, kan? Operasi lagi!

Kayak baru kemarin ditampar di pipi kanan, bekasnya pun masih merah. Sekarang harus pula ditampar di pipi kiri. Aku merasa babak belur. Dalam mobil, aku menangis sendirian.

Takut kembali ke ruang operasi, aku mencari second opinion dari dokter keluarga kami, dr. GA. Tabaluyan. Dokter berwajah oriental ini sudah menjadi dokter keluarga kami sejak tahun 1983, dua tahun sebelum aku lahir. Tidak ada yang lebih tahu riwayat kesehatanku daripada beliau.

"Jangan diambil terus. Ini kan kelenjar susu yang mengeras. Nanti bagaimana kamu bisa menyusui anakmu? Biarkan saja bila tidak mengganggu. Ini kemungkinan besar jinak."

Diagnosa dr. Tabaluyan sedikit menentramkan hatiku. Namun di sisi lain, itu artinya aku harus hidup berdamai dengan FAM. Aku masih dilanda stres dan trauma pada ruang operasi. Saat berada di dalam ruangan yang sempit, gelap dan tertutup, aku merasa ada lampu operasi yang menyorot ke mataku. Lalu, aku bisa bisa tiba-tiba pingsan.

Sementara, urusan telingaku juga belum beres. Kotoran di telingaku tidak bisa keluar sendiri karena bentuk tulang di telinga sudah tidak normal. Aku harus membersihkan telinga di Prof. Helmy.

Awalnya sebulan sekali, lalu jadi seminggu sekali dan memburuk menjadi tiga hari sekali. Aku harus menunggu Prof. Helmy sampai jam 11 malam, karena pasien Prof. Helmy terlalu banyak. Untunglah Kak Ranting selalu menemani. Aku merasa lebih kuat.

"Kalau pusing dan mual bilang yaa…" Prof. Helmy berbisik di telingaku saat akan memasukkan alat seperti besi berwarna putih.

"Aaww…." Aku memegang kepalaku. Rasanya semua seperti berputar.

Prof. Helmy berhenti. Tangannya mengelus pundak dan punggungku beberapa kali. "Tarik napas dan hitung penjumlahan 7. Misalnya 7 + 7 = 14 + 7 = 21 + 7 = 28….begitu terus sampai proses ini selesai yaa…"

Seperti kembali ke TK, aku menghitung penjumlah tujuh, mulai sulit saat 77 + 7 = 84 + 7 = 91 + 7 = 98

Tapi strategi Prof. Helmy ini efektif mengurangi rasa sakit di telingaku saat alat merangsek masuk.

Proses ini selesai. Prof. Helmy duduk di kursinya. Aku Mengekor. "Kamu sudah nikah?"

Aku melongo mendengar tanya mendengar Prof. Helmy. "Belum."

"Kamu nikah sama dokter saja deh…kamu bakal seumur hidup nih begini."

Pernyataan Prof. Helmy membuat air mataku tidak bisa dibendung lagi. Dalam hatiku berbisik: "Jangan menyerah dok, selama dokter tidak menyerah, aku juga tidak akan menyerah."

Sadar sudah membuatku sedih, Prof. Helmy merasa bersalah. "Tapi mudah-mudahan bisa membaik."

"Kalau saya baca di internet, sepertinya saya tidak bisa berenang lagi ya?"

Prof. Helmy menatapku dengan iba. "Tidak apa-apa. Asal setelah berenang, telinganya dikeringkan dengan hair dryer yaa…supaya telinganya tidak lembab. Kalau lembab nanti bisa infeksi dan kolesteatumnya muncul lagi. Tidak akan ada yang berubah dengan hidupmu, semua akan baik-baik saja."

Aku mengusap air mata yang basah di pipiku. Berusaha sekuat tenaga menahan tangis agar Kak Ranting yang ada di ruang tunggu tidak melihat mataku yang sembab. Aku tahu ini berat, tapi aku harus berjuang, seperti Prof. Helmy, yang juga akan terus membantuku berjuang untuk lepas dari ketergantungan ini.

Mungkin karena stres dan tertekan pasca operasi telinga, tumor payudaraku semakin membesar. Aku kembali ke dokter. Tapi dokter yang lain lagi. Mencari third opinion. Kali ini aku datang ke dokter Gunawan, dokter kepercayaan Kak Rekah.

"FAM atau tumor payudara jinak sebenarnya tidak berbahaya. Tapi kalau sering sakit, membesar dan mengganggu aktivitas, ya baiknya diambil saja. Tidak usah terburu-buru. Ini butuh persiapan mental."

Aku lemas, baiklah, itu tandanya aku harus operasi lagi. Setelah drama lepasnya aku dari tubuhku saat operasi kedua, aku tidak tahu kejutan apa lagi yang menantiku di operasi yang ketiga.

Pikiranku kacau dan aku merasa hidupku hampir tamat. Dalam situasi begini, tidak ada keputusan yang bisa aku ambil. Sejenak, aku ingin lepas dari serangan penyakit yang belum juga selesai.

Dengan kondisi yang tidak kunjung membaik ini, praktis kegiatanku lebih banyak di rumah. Aku menghabiskan hari-hariku dengan membaca buku dan menulis. Berbagi cerita dengan orang-orang yang belum pernah kujumpa sebelumnya. Mendengar kisah mereka yang berada di Indonesia bagian lain.

Seolah seseorang berbisik padaku, "hai, bocah yang merasa paling menderita sedunia. Lihatlah! Orang-orang berjuang untuk bertahan hidup. Kau tidak akan mengerti nilai kehidupan bila hanya melihat dari balik tembok rumahmu.

Lakukanlah perjalanan! Susuri alam negerimu! Kenalilah bangsamu! Selami budaya moyangmu! Kau akan mengerti, bahwa seluruh keluhmu menjadi remeh di hadapan orang-orang kecil, dengan semangat dan keberanian yang besar.

Hari ini, kurasa Tuhan menggelar karpet merah untuk jalanku. Seakan ada kompas diletakkan dalam genggamanku untuk menuntunku mencipta beribu jejak. Wahai Tuhan, kalau aku harus selesai sekarang, izinkan aku melihat negeri ini lebih luas.

Aku ingin punya pengalaman yang berbeda. Aku ingin hidupku berarti. Ya, aku janji akan kembali ke ruang operasi. Tapi tidak sekarang. Aku akan datang setahun lagi, setelah menyisir lautan dan menyusuri kisah dari pesisir. (Bersambung)