Di balik semak-semak, Gina dan Furo bersembunyi. Dengan wujud rubahnya, sebesar harimau yang ada di Bumi.
Furo memfokuskan pendengaran. Menguping obrolan Harith dan Chayra, kebetulan keduanya berada tak jauh dari semak, tempat persembunyian Furo dan Gina. Berkat tenda tempat perlengkapan perang yang dibangun dekat pepohonan.
Sementara itu, Gina merasa makin tak tenang. Dia dapat mencium bau manusia yang mendekat. Berbeda dengan Furo yang lebih unggul pendengarannya, tak mampu menangkap suara apapun disekitar saat sedang memfokuskan pendengaran.
Gina memergoki seorang manusia yang bersembunyi di semak belakang Furo. Manusia itu berdiri, mengacungkan busur panah, mengincar kaki gurunya.
Bersamaan dengan Furo yang menoleh, Gina menggeram, menerkam manusia itu yang ternyata adalah Syamsi. Melumpuhkan pergerakannya dengan mencakar busur panah hingga terjatuh dan menginjak dada si pemanah. Beruntung, Gina hanya menunjukkan giginya yang tajam tanpa menggigit.
Melihat kejadian itu, Furo yang tadinya berbentuk binatang, langsung mengubah diri menjadi manusia. Akibatnya, pemanah yang berbaring tak berdaya melotot di tempat dengan suara tegukan ludah yang tak sengaja tertangkap oleh telinga panjang Furo.
Furo berjongkok, mengatakan pada Gina untuk menyingkir dari tubuh Syamsi. Sudah jelas, bahwa pemuda di depannya hanyalah manusia biasa.
Saat itulah Syamsi duduk, mencerna kejadian yang baru saja terjadi padanya. "Kau siapa?"
Dengan wajah datar, Furo menjawab, "Seharusnya aku yang bertanya padamu. Kau siapa? Mengapa bisa ada di tempat ini?"
"Sebenarnya aku tahu siapa dia dan pemimpinnya yang sedang mengobrol itu. Yang aku tidak mengerti adalah, mengapa mereka tiba-tiba ada di Middle Earth dan bermalam di dekat danau? Hal tersebut, membuatku cukup penasaran. Apa yang mereka gunakan untuk bisa masuk ke Middle Earth?" Batin Furo bersuara.
Sembari menunggu Syamsi menjawab, Gina mengubah wujudnya juga. Menimbulkan keterkejutan Syamsi yang kedua kalinya.
"Ka-kalian siluman?" tanya Syamsi sedikit gagap. Kedua tangannya mulai bergetar karena ketakutan.
Furo terkekeh mendengar pertanya itu, sedangkan Gina mengernyit sambil menatap gurunya heran.
"Ternyata kau tahu juga istilah itu? Mungkinkah kau pernah tinggal di negeri sebelah yang subur?"
"Maksudmu Negeri Aisty?"
Furo seketika duduk bersila di samping Syamsi diikuti Gina. "Ya, istilah itu sering aku dengar di sana," ujarnya seraya menatap lebih serius, "Oya, kau belum menjawab dua pertanyaanku."
"Yang mana?"
"Soal siapa kamu dan mengapa bisa ada di sini." Gina mulai menyela pembicaraan gurunya. Dia jengkel, menatap tajam Syamsi. Karena sang guru malah berbasa-basi kepada manusia yang ingin memanahnya.
Cukup susah menelan, karena dua makhluk itu terus memojokkan Syamsi dengan menatap tanpa jeda. "Aku tidak tahu," katanya, "Aku ke sini bersama rombongan. Beliau yang menuntun kami semua ke tempat ini."
"Siapa itu 'Beliau'?" Furo.
"Nyonya Chayra, ibundanya tuanku."
Syamsi duduk lebih santai setelah cukup lama berbincang dengan kedua makhluk itu. Yang ternyata, mereka tidak berbahaya. Dia sempat mengutarakan niatnya, ingin melumpuhkan salah satu dari mereka, tapi gagal karena serangan rubah berbulu merah yang sekarang merupakan gadis cantik.
Kedua matanya yang merah, rambut panjang jingga, dengan bibir tipis dan sedikit gigi taring terlihat ketika gadis itu berbicara. Sejenak menghasilkan gemuruh di dalam dada. Sampai tidak menyadari ada dua buah telinga rubah di atas kepala sang gadis.
"Kalau begitu, kenalkan kami berdua pada Tuanmu."
Permintaan Furo yang mendadak, mengembalikan kesadaran Syamsi seutuhnya. Maniknya berkedip sembari bertanya, "Bagaimana? Bisa ulangi sekali lagi?"
"Kenalkan kami berdua pada Tuanmu." Furo mengulangi kalimatnya lagi dengan wajah serius. Dirinya tahu, manusia di hadapannya ini tampak tertarik pada Gina, muridnya.
Mulanya, Syamsi diam. Lalu menatap mereka lagi. Dia mengangguk sambil berkata, "Baiklah, aku akan membawa Pangeran Harith ke sini dan tunggulah di balik semak. Jangan keluar sebelum kupanggil."
Furo menyetujui kesepakatan itu dengan mengulurkan tangan. Syamsi membalas uluran tersebut sebagai tanda perjanjian dimulai.
Sesuai rencana, Gina dan Furo menunggu di balik semak. Sedangkan Syamsi bangkit, berjalan menuju Chayra dan Harith yang sedang mengobrol.
Terlihat dari kejauhan, Syamsi kesulitan membujuk sang pangeran. Namun, setelah dibisiki, pangeran langsung setuju.
"Apa yang mereka bicarakan, Guru?" tanya Gina.
Furo menggeleng, tidak begitu yakin dengan apa yang dia tangkap dalam pendengarannya. Akan tetapi, Syamsi berhasil membawa Harith menuju tempat persembunyian Furo dan Gina. Berhenti tepat di depan semak.
"Jadi benar, tempat ini bukan oase yang biasa kami tinggali? Kalian berdua, ingin terus bersembunyi?"
Tubuh Furo mematung. Tak menyangka Syamsi akan memberitahu identitasnya dari awal. Sementara Gina menjadi geram, dia ingin berlari menerkam kedua manusia itu. Namun, Furo mencengkeram pergelangannya dan menggeleng tanpa berkata.
Furo berusaha tenang, mengembuskan napas teratur dan bangkit. Melangkah sembari menggandeng Gina. Furo membungkuk sebagai tanda penghormatan. Menunjukkan sosok mereka pertama kali pada seorang manusia biasa.
Mata tak lepas dari kedua makhluk itu. Terlihat memiliki ekor dan telinga di atas kepala. Yang membedakan hanya warna bulunya dan telinga yang berbeda ukuran. Harith sangat terpukau melihat mahluk yang ada di hadapannya sekarang. Keduanya mengenakan baju dan celana dari bulu yang memiliki warna sama dengan telinga dan ekornya.
"Kalian itu makhluk apa?" tanya Harith, masih dengan pandangan takjub.
Furo menjelaskan dengan singkat jenis makhluk apa mereka. Dia juga menjelaskan kalau Pangeran Harith beserta kelompoknya telah memasuki dunia yang seharusnya tidak mereka singgahi, tapi Furo tidak memberitahu segalanya. Untuk menjaga informasi tentang dunia Middle Earth agar tetap tersembunyi dari dunia luar.
"Boleh saya bertemu dengan Nyonya Chayra?"
Harith mengernyit. "Bagaimana bisa kau tahu nama Nyonya Chayra?"
Syamsi mengalihkan perhatian sang pangeran dan mengaku bahwa dirinya yang sudah memberitahu mereka. Harith jadi mengerti, mengapa Furo tampak ingin sekali bertemu dengan Nyonya Chayra. "Baiklah, aku mengizinkanmu menemui Nyonya Chayra. Tapi dengan syarat, biarkan temanmu menunggu di sini bersama Syamsi."
Harith memberi persyaratan yang cukup mudah. Gina sendiri bersedia menunggu di luar. Pada akhirnya Furo berjalan beriringan menuju Nyonya Chayra yang sedang menunggu kembalinya Harith di bawah pohon.
Reaksi yang sama ditunjukkan oleh Chayra. Dirinya terkejut ketika melihat sosok Furo, tapi juga takjub dengan apa yang dilihatnya sekarang. Dia jadi teringat soal legenda siluman di Negeri Aisty.
"Kau mengingatkanku pada sosok siluman yang sering diceritakan di Negeri Aisty." Pengakuan Chayra begitu jujur. Furo bisa merasakan ketertarikan wanita itu pada telinganya yang berbulu. Lantas dia sedikit menunduk, memperbolehkan lengan Chayra menggapai telinganya.
Pandangan mereka bertemu, Chayra tersenyum sambil membelai telinga berbulu lembut Furo. "Aku tidak menyangka, bisa bertemu dengan siluman sepertimu."
"Sa-saya bukan suliman." Furo tergagap bukan karena tertarik secara seksual. Dia hanya merasa emosional ketika seseorang menyentuh telinga dan memperlakukannya dengan lembut.
Akibat pemandangan itu, Harith salah paham terhadap apa yang dilihatnya. Dia langsung menjauhkan jarak antara Furo dan Nyonya Chayra. "Aku harap kau tidak melupakan tujuanmu!" serunya sangat jujur.
"Ah, maaf. Saya sedikit terlena," ungkap Furo dengan senyum ramah terpatri di bibirnya, "Saya di sini hanya ingin menanyakan beberapa hal kepada Nyonya Chayra. Apakah boleh?"
Tanpa perlu meminta persetujuan Harith, Chayra menjawab pertanyaan dengan berkata, "Tentu saja boleh, ya kan Harith?"
Harith mengangguk dengan tangan terlipat di dada, pertanda menyetujui. Lalu meninggalkan keduanya untuk mengobrol. Tentunya dengan perasaan yang sedikit tak tenang.
***
Pada waktu yang sama di kamar pengasingan. Sang Raja berdiri dengan angkuh. Menatap ke bawah kaki, terdapat Yena yang berlutut dan menunduk.
"Aku ingin memberimu satu kesempatan, agar kau tidak di sini terus-menerus sebelum upacara pernikahan. Bagaimana menurutmu?" Firan bertanya, meminta pendapat tentang niatnya ingin membebaskan Yena dengan beberapa syarat.
Yena bergeming. Pertanyaan itu tidak di jawab sepatah kata pun.
Emosi sang Raja mulai naik. Beliau berjongkok dan mengucapkan ejekan, "Kenapa kau tidak menjawab? Kau masih punya mulut, kan? "
Saat itulah Yena mengangkat kepalanya. Menatap ke dalam mata sang Raja. "Tunjukkan dimana keluargaku yang masih hidup sekarang! Setelah itu aku akan setia padamu seumur hidup."
"Kau tidak akan berkhianat?"
"Aku tidak pernah seserius ini."
Raja bangkit, menyuruh pengawalnya memegangi tangan Yena supaya tidak kabur. Sementara sang Raja berjalan duluan menuju sebuah pintu kayu yang pernah Yena masuki bersama Nyonya Senna. Sementara kedua pengawal lain menjaga di belakang Yena.
Saat melewati tempat yang kanan-kirinya terdapat mayat, Yena mulai menerka-nerka, di mana tempat keluarganya ditahan? Apakah ada ruang rahasia lagi di sini?
Akhirnya Yena kembali ke tempat dimana Hazard dikurung. Berjalan sembari memperhatikan Hazard yang tidak bergerak sama sekali.
Ketika sudah cukup dekat, Yena memalingkan wajah. Tak ingin bertemu pandang. Meski jauh dilubuk hatinya merasa sedih melihat kondisi Hazard, Yena tidak sanggup melakukan apa-apa. Bahkan dirinya sendiri saja masih belum tahu, bisa selamat atau tidak? Yena tidak ada waktu untuk memikirkan orang lain selain keluarga dan dirinya sendiri.
Tak disangka, Raja Firan menggeser dinding batu sebelah kiri sel Hazard, yang sudah ditempel sebuah gagang pintu terbuat dari kayu, diukir mengikuti lubang yang ada di dinding. Agar bisa ditarik dan bergeser.
Ketika masuk ke dalam, ternyata dinding itu adalah sebuah pintu kayu yang ditempeli bebatuan agar terlihat seperti dinding batuu yang tidak bisa dibuka. Di sana ada sebuah sel lagi. Namun, tidak ada siapa-siapa di sini.
Yena pun sadar, dirinya kembali dikhianati oleh sang Raja. Dan langsung dijebloskan ke dalam sel dengan pintu segera ditutup rapat-rapat pengawal.
Yena tersungkur. Dengan kedua telapak tangan menahan berat tubuh. Dia berlari, memukul sel dan menarik-narik sel besi itu. Namun, nihil. Sang Raja justru tertawa melihat Yena yang mulai merosot dengan tangis dalam diamnya.
Setelah puas melihat ketidakberdayaan Yena, sang Raja melangkah menjauh, tapi terhenti ketika Yena bertanya lirih, "Mengapa? Mengapa aku diperlakukan seperti ini?"
Seringainya muncul. Tanpa berbalik Raja Firan berkata, "Karena kau adalah ancaman, jadi kau harus aku lenyapkan juga. Bersama dengan ibu dan adikmu yang bodoh." Lalu keluar dan menutup pintu rapat-rapat.
Cairan dimata semakin mengalir, dari pipi ke baju dan menetes ke tanah. Kalimat yang dilontarkan raja membuat rasa putus asa kembali muncul, bertambah pekat dan dipenuhi dendam. Namun, Yena hanya bisa menangis. Menyalahkan dirinya sendiri atas semua yang terjadi. Hingga air mata tak lagi ada, sudah kering karena terlalu banyak menangis. Yena sekadar memandang kosong ke depan. Seperti seseorang yang sudah kehilangan akal.