Sore menjelang malam, pasir beterbangan semakin rapat. Yena dan Eden sudah memahami kondisi bumi tempat mereka berpijak. Itu sebabnya, mereka mengenakan jubah coklat bertudung sebagai pelindung dari badai besar yang sewaktu-waktu bisa terjadi.
Jarak antara kota Denvail menuju kota Mitri lumayan jauh. Tanpa istirahat malam, mereka bisa tiba di sana pagi hari. Namun, jika dalam perjalanan mereka memilih istirahat, rentang waktu sampai ke tempat tujuan akan semakin panjang. Oleh karena itu, walau terhalang badai sekalipun mereka tetap menerjangnya tanpa gentar.
Yena dan Eden melewati beberapa kota mati, sampai akhirnya wujud kota Mitri jelas terlihat. Mereka segera turun dari kuda tunggangan.
"Semoga ... kita tidak terlambat." Yena bergumam pelan. Namun, masih bisa terdengar oleh Eden.
"Hhm, kuharap begitu."
Berjalan berdampingan sembari menuntun kuda masing-masing. Yena dan Eden mencari rombongan Raja Firan. Seharusnya mereka sudah sampai, dan benar saja di arah depan sudah ada beberapa kuda terikat pada tiang kayu rumah usang. Sepertinya telah terjadi sesuatu. Keduanya lekas menunggangi kuda, memerintah si kuda untuk berlari. Terpampang jelas rombongan Raja Firan dan beberapa pengawal dari Menteri Perpajakan. Tampak berkumpul di depan rumah reyot.
Eden segera melompat dari atas kuda, memberi hormat terlebih dahulu pada Raja Firan diikuti Yena dari belakang setelah mengikat kedua kuda pada tiang rumah penduduk.
"Ada apa Yang Mulia? Apakah kami terlambat?" tanya Eden sangat sopan masih dengan posisi membungkuk.
"Berdirilah, kita semua yang terlambat. Aku, Penasihat Zain, dan Wakil Syamsir baru saja sampai. Menteri Kaide sudah seperti ini," ujar Raja Firan. Setelah menatap sedikit lama kondisi Kaide, beliau langsung berjalan menjauh dari sana diikuti Penasihat Zain di belakangnya.
Yena dan Eden bisa melihat dengan jelas keadaan Menteri Kaide. Seperti pembunuhan yang sudah-sudah, kepala Menteri Kaide hilang. Tampak seperti sengaja di ambil. Meskipun sudah sering melihat mayat-mayat bergelimpangan dan mencium bau anyir darah segar, Yena tetap tak terbiasa melihat mayat para petinggi yang tidak berkepala. Hal itu tidak berlaku bagi Eden.
"Yang Mulia, lalu kami harus bagaimana?" tanya Eden. Raut wajah dinginnya tidak berubah sejak memulai perjalanan.
Raja termenung. Tampak dibisiki sesuatu oleh Penasihat Zain. Yena penasaran, mengapa Tuan Zain selalu berbisik seperti itu? Padahal Raja Firan tidak tuli. Mungkin demi kerahasian? Sementara ini, dirinya hanya bisa menebak-nebak.
"Untuk sekarang kalian ikut bersamaku. Kita perlu membuat pertemuan karena jika tidak assassin itu akan semakin mudah melakukan aksinya," tutur Raja Firan akhirnya.
"Baik Yang Mulia." Semua bawahannya menjawab serentak.
Yena selalu terkagum-kagum ketika Raja Firan mulai berbicara, kalimat yang beliau gunakan selalu terdengar cerdas dan berkelas, berbanding terbalik dengan sistem kekuasaannya. Kira-kira, apa yang mendasari perbuatan sang raja? Dari situlah Yena mulai bertanya-tanya. Namun, tetap saja pemikirannya akan terus menjadi misteri tersendiri jika tidak ada yang berani mengulik. Yena berani? Hm, sepertinya tidak. Dia masih ingin menikmati masa hidup bersama keluarga tercinta. Meskipun sempat berpikir gila, ingin mengikuti jejak sang pembunuh. Yena tidak bisa melakukan itu karena sudah terikat oleh sumpah.
Para pengawal Tuan Kaide memberi hormat terlebih dahulu sebelum pergi, karena tandu mereka berada sangat jauh dari tempat kejadian pembunuhan. Sedangkan Raja Firan dan rombongannya berbalik arah, menuju tunggangan yang terikat pada tiang rumah reyot.
Yena dan Wakil Syamsir mengekor Eden dan Tuan Zain dari belakang, sedangkan sang Raja sebagai pemimpinnya di depan. Rombongan Raja Firan menunggang kuda menyusuri jalan setapak kota Mitri.
Yena menebak kota ini sebentar lagi akan menjadi kota mati seperti kota-kota lain yang menentang sistem Pemerintahan Kerajaan Altair. Ia hanya memandang iba rumah-rumah penduduk lokal tanpa mampu melakukan sesuatu. Ketika netranya mendapati penghuni kota hanya mengintip dari jendela usang, Yena dapat melihat penderitaannya dari cara mereka memandang.
Seketika Yena menunduk, takut kesedihannya disadari oleh Wakil Syamsir.
"Menangislah jika Anda tidak sanggup melihat penderitaan penduduk di sini, tenang saja saya tidak akan memberi tahu siapapun," ujar Syamsir begitu pelan seperti berbisik.
Yena menoleh kearah Syamsir, pria itu sama sekali tidak terlihat baru berkata. Mungkin hanya halusinasi. Namun, ketika maniknya memperhatikan Syamsir dengan lekat pria itu menoleh, pandangan mereka bertemu. Yena terbelalak tanpa suara.
"Saya serius, Nona. Silakan menangis, tapi jangan sampai terdengar." Syamsir kemudian tersenyum, seketika kembali pada posisi menatap ke depan.
Yena menunduk, bukannya menangis dirinya malah tersenyum. Bagi Yena kata-kata Syamsir tadi terdengar lucu. Kesedihannya sedikit menguap berkat Syamsir.
🍂🍂🍂
Di sebuah bangku reyot, tersimpan kepala yang masih mengeluarkan darah segar di bagian lehernya. Pada samping kepala tersebut seorang pria bermasker bersandar di dinding gubuk sembari memegang sepucuk bunga yang hanya memiliki empat kelopak—bentuknya seperti bunga Clover. Bunga tersebut berwarna ungu muda dengan bagian tengah kelopak tampak memutih. Tangan kanannya memegang gulungan paripus dari Pangeran Harith. Elang pengirim pesan dengan setia menunggu di depannya—bertengger pada pagar rumah yang sudah lapuk. Pria itu mulai mengibaskan gulungan tersebut hingga terbuka sepenuhnya.
___________________________________
Pemburu Kepala,
Bagaimana aku harus memanggilmu? Kau tidak pernah menyebutkan nama, aku jadi bingung harus memanggilmu apa. Tulis dalam gulungan paripusmu nanti, ya.
Sebenarnya aku hanya ingin menginformasikan padamu bahwa kami masih jauh di perjalanan, jadi belum bisa melaksanakan rencana selanjutnya.
Aku tidak akan menanyakan bagaimana tugasmu lancar atau tidak. Karena aku yakin, kau sedang bersama kepalanya Tuan Kaide, bukankah begitu?
Aku pikir tidak ada yang perlu sampaikan lagi, untuk sekarang kau kubebastugaskan. Nanti jika sudah waktunya, aku akan segera mengirim gulungan paripus lagi padamu.
Tertanda,
Harith
___________________________________
Sudut bibir pria itu tergerak. Namun, tak terlihat lantaran memakai masker. Dirinya mengambil sebuah paripus dan pena bulu beserta wadah tinta dalam kantung kecil yang menggantung di belakang celana. Lalu mulai menulis balasan kepada pangeran Harith dengan hanya satu kalimat singkat.
"Nama saya Hazard."
Paripus segera digulung dan disematkan pada kaki burung elang. Pria bernama Hazard menerbangkan burung elang dengan kedua tangan. Untuk sementara ia bisa bersantai sedikit lebih lama.
"Nek, aku akan pulang ...." Manik hitam Hazard membentuk busur panah, menandakan dirinya sedang tersenyum.
Hazard segera menenteng kepala Tuan Kaide dan melempar bunga ungu. Dirinya lenyap dari pandangan serentak dengan bunga yang terjatuh ke pasir.
Di sebuah oase Hazard berpindah, oase yang hanya bisa disinggahi oleh penghuni asli seperti Hazard. Karena lokasinya searah dengan rembulan, jika malam tiba danau dalam oase akan memantulkan cahaya putih nan indah.
Hazard berjalan santai menuju sebuah gua batu yang sangat gelap, tak ada penerangan sama sekali. Dirinya menatap telapak tangan kanan, munculah sebuah akar pohon dari sana. Tanpa basa-basi ia menempelkan telapak tangan pada tanah berumput, tiba-tiba akar dari bawah tanah keluar membentuk sebuah pintu.
"Tanganku masih saja kegelian jika melakukan hal ini," gumam Hazard sembari menatap telapak tangannya yang bersih. Ia mengedikkan bahu pertanda enggan memikirkannya terlalu keras.
Masuklah Hazard pada sebuah pintu buatannya. Setelah pintu tertutup, akar-akar pohon segera kembali kebawah. Menghilangkan jejak Hazard dengan sempurna.
🍂🍂🍂
"Nyonya Senna, Tuan Kazmer meminta Anda untuk makan malam bersama beliau, di mohon Anda turun sekarang juga," ujar seorang pelayan wanita di balik pintu kamar Senna. Sedangkan yang dipanggil hanya berbaring saja, tidak berminat keluar dari kamar.
"Katakan padanya, saya tidak lapar," jawab Senna singkat, kamar masih terkunci dari dalam sehingga pelayan pun tidak bisa masuk dan menyeret Senna seenaknya.
"Baiklah akan saya sampaikan, Nyonya." Suara pelayan wanita terdengar melemas, sepertinya Senna tahu apa yang akan Kazmer lakukan jika si pelayan tidak bisa membawanya keluar. Tentu saja dimarahi kemudian Kazmer yang akan mengetuk pintu dan membujuknya keluar.
"Senna, kau itu sudah menjadi istriku. Tidak bisakah berperilaku selayaknya seorang istri atau Nyonya di rumah ini? Ayolah ... keluar, atau kamu ingin aku mendobrak pintu ini dan menyeretmu paksa?"
Senna menghela napas berkali-kali. Sangat malas meladeni laki-laki yang lebih muda darinya. Senna segera membuka pintu dan berkata, "Aku 'kan sudah bilang bahwa aku tidak lapar."
Mendadak Kazmer mengecup bibir Senna cepat, pelukan segera dieratkan pada tubuhnya sehingga Senna tidak mampu untuk menolak.
"Lepas!" pekik Senna setelah lumatan itu berakhir, "kenapa kau berani sekali?! Aku sudah bilang umurku dan kau sangat jauh berbeda ... tidak seharusnya kau memperlakukanku seperti ini!" Tubuh Senna menggeliat tidak terima dipeluk begitu erat oleh Kazmer.
"Aku tidak peduli! Yang penting wajahmu masih kencang dan kau tahu ... aku suka dengan tubuhmu juga." Kazmer tersenyum licik. Segera membawa Senna ke dalam kamar dan menguncinya.
Setelah mengetahui kenyataan bahwa usia Senna sama dengan ibunya yang telah tiada, tidak pula menyurutkan keinginan Kazmer untuk memiliki Senna. Kazmer dibuat takjub oleh Senna karena dengan usia yang sudah tidak muda lagi, wajah dan tubuh Senna masih sangat kencang dan tidak terlihat kerutan sedikitpun. Hal itu semakin membuat Kazmer tertantang hingga akhirnya bisa memiliki Senna dengan utuh.
Lain cerita dengan Senna, terjadinya pernikahan ini merupakan suatu yang bisa saja merugikan atau bahkan menguntungkan. Tergantung hasil akhirnya. Untuk sekarang Senna belum bisa memastikan karena orang yang dia cari masih belum ditemukan. Senna hanya bisa pasrah karena bagaimanapun juga identitas aslinya tidak boleh diketahui oleh siapapun termasuk Kazmer sendiri.
"Aku harus bertahan sedikit lagi," gumam Senna. Setelah melayani Kazmer dirinya segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.