Di pagi hari yang cerah ini. Seekor burung elang tampak membawa gulungan paripus[1] di kakinya. Dalam perjalanan yang cukup jauh, burung tersebut singgah di sebuah oase hanya untuk sekedar menghilangkan dahaga. Burung itu segera mengepakkan sayap ketika salah satu maniknya mendapati seorang manusia keluar dari balik semak.
"Elang sialan! Kembali!" teriak manusia tersebut seakan si burung dapat mengerti bahasanya.
Manusia itu adalah seorang pemuda dengan pakaian yang cukup bagus, terlihat dari rompi miliknya yang sebagian besar dibuat dari kulit hewan. Celananya terbuat dari bulu domba yang ditenun menjadi kain. Tidak lupa dengan busur panah terikat pada punggungnya.
Awalnya si pemuda sedang mengisi kendi air minum di danau yang kebetulan menjadi tempat minum si burung elang. Pemuda tersebut mengetahui, burung itu bukanlah burung biasa. Karena pada kakinya terdapat gulungan paripus terikat tali dan pin kerajaan. Ditambah, si burung melanjutkan perjalan ke arah barat yang merupakan tempat tujuan utama kelompoknya yaitu kota Reda.
Setelah berhasil mengisi penuh kendi miliknya. Pemuda itu kembali ke perkemahan. Di sana banyak sekali orang-orang berlalu lalang. Dari tenda ke tenda, tampak sibuk mempersiapkan makanan.
Si pemuda segera memasuki tenda berukuran besar. Kemudian berlutut di hadapan seorang pangeran—yang sedang duduk beristirahat di dalam tenda. Ia berucap, "Hormat saya kepada Pangeran Harith."
Pangeran itu tersenyum sembari menganggukkan kepala dengan ramah. "Syamsi. Kamu begitu lama padahal hanya mengambil air. Sepertinya ada kejadian menarik di sana. Coba ceritakan padaku."
Pemuda yang dipanggil Syamsi itu tersenyum tipis. Meski tidak diberi izin secara langsung oleh pangeran untuk duduk. Syamsi sangat mengerti ketika pangeran bertanya, tentunya izin untuk duduk sudah ia dapatkan.
"Pangeran benar. Memang ada sedikit kejadian menarik tadi," balas Syamsi memposisikan dirinya duduk bersila agar lebih nyaman. "Jadi, ketika saya sedang mengisi kendi air. Tiba-tiba ada seekor elang turun. Elang itu membawa gulungan paripus di kakinya. Saya bermaksud menangkapnya dan mengambil gulungan tersebut. Namun, usaha saya gagal."
"Elang itu langsung terbang?"
"Begitulah, saat itu saya ingin menangkapnya dengan tangan kosong." Raut wajah Syamsi berubah kusut, menunjukkan kekecewaannya secara gamblang.
Wajah Syamsi terlihat lucu bagi Pangeran Harith. Beliau tertawa ringan membuat Syamsi tersipu malu. "Yah, salahmu sendiri ingin menangkap seekor elang dengan tangan kosong. Padahal kamu memiliki busur panah di balik punggungmu." Gelak tawanya semakin pecah.
Kalimat Pangeran Harith telah menyadarkan Syamsi bahwa ternyata dirinya begitu bodoh. Wajah Syamsi berubah merah, tampak seperti kepiting rebus yang baru saja diangkat. Beberapa menit kemudian seorang wanita dengan pakaian pelayan membunyikan lonceng terlebih dahulu kemudian membuka tirai tenda. Dia memberi hormat kepada Syamsi dan Pangeran Harith.
"Tuan Pengawal Syamsi. Ada sedikit masalah di luar. Kami butuh bantuan Anda," terang si wanita sembari menundukkan pandangan.
"Pangeran ...." Syamsi ingin meminta izin terlebih dahulu pada pangeran. Namun, sebelum kalimatnya selesai, pangeran sudah mengangguk, pertanda beliau telah memberi izin. Syamsi pun bangkit dari duduk lalu memberi hormat terlebih dahulu sebelum keluar dari tenda.
Syamsi, salah satu Pengawal Pribadi Pangeran Harith. Memiliki gelar 'Pedang Kanan Pangeran Harith'. Dia bukanlah sekadar pengawal biasa. Bakatnya dalam berpedang dan memanah tak bisa diremehkan oleh siapapun termasuk Yena, si pemilik pedang legendaris. Syamsi tumbuh bersama Pangeran Harith, menyebabkan hubungan mereka tidak seperti atasan dan bawahan melainkan seperti sepasang sahabat. Sebenarnya Pangeran Harith masih memiliki satu pengawal pribadi lainnya yang bergelar 'Pedang Kiri Pangeran Harith'. Namun, pengawal itu sedang dalam keadaan bertugas sehingga kehadirannya tidak tampak saat ini.
Setelah kepergian Syamsi bersama seorang pelayan wanita, tenda kembali terbuka. Terlihat seorang wanita dengan abaya khas Istri Kerajaan Altair terdahulu. Raut wajahnya yang menua tidak lantas membuat kecantikannya memudar.
"Ah, Nyonya Chayra." Harith bangkit dari duduknya sebagai tanda penghormatan.
"Silakan duduk," ucapnya.
Wanita bernama Chayra mendekati Harith. Ia memeluk tubuh tegap itu dengan erat. "Harith ... sebentar lagi kerajaan akan kembali ke tanganmu. Tolong, balaskan dendam Yang Mulia Raja Ghani dan Yang Mulia Ratu Alea."
Harith membelai lembut tubuh lemah Chayra. Wanita dalam dekapan sudah ia anggap sebagai ibunya sendiri.
"Tenang saja, Nyonya. Saya berjanji akan menuntaskan semua kejahatan yang telah dilakukan oleh Raja Altair zaman ini."
Sejujurnya Harith tidak begitu yakin dengan statusnya sebagai pangeran. Yang ia tahu, dari kecil sudah dibesarkan oleh Chayra di sebuah kastel yang cukup terpencil dari peradaban. Ia belajar berpedang dan berburu dari orang-orang yang ikut bersama Chayra. Sedikit cerita tentang orang tua Harith, mendiang Raja Ghani merupakan ayahandanya yang telah gugur dalam perang pemberontakan. Sedangkan mendiang ibundanya meninggal sesaat setelah melahirkan Harith sebelum pemberontakan terjadi. Setelah pertimbangan yang cukup panjang barulah Nyonya Alea yang diangkat menjadi Yang Mulia Ratu menggantikan posisi mendiang Ratu terdahulu—ibunda Harith. Chayra pernah bilang pada Harith, Ratu Alea memiliki seorang putra bernama Hazard sebelum beliau diangkat menjadi Ratu. Namun sayangnya, mereka terpisah ketika sedang dalam pelarian akibat kekalahan sang Raja dari kelompok pemberontak. Hingga saat ini tidak ada yang tahu, apakah Ratu Alea dan putranya berhasil selamat?
Mendadak Syamsi menyingkap tirai tenda. Napasnya tidak beraturan seakan baru saja di kejar roh jahat. Pada tangan kanannya terdapat sebuah gulungan paripus yang belum di buka. "Pangeran ... ini ... su-surat dari si pembunuh gurun!" pekik Syamsi seraya mengulurkan lengannya ke arah Harith.
Harith melepaskan dekapannya dari Chayra. Dirinya segera meraih gulungan surat tersebut. Kemudian membacanya dalam hati.
___________________________________
Pangeran Harith,
Apa kabar? Malam ini sungguh malam yang sangat cerah, bukan? Secerah perasaanku. Hahaha.
Aku menulis ini, pada malam hari karena tidak ada waktu jika menulis di siang hari. Jadi, jika suratnya baru sampai pagi hari maklumi saja karena saya baru selesai bertugas.
Oh ya, semua tugas yang Anda berikan, mengapa tidak ada yang menegangkan? Jujur saja, hal seperti ini sungguh membosankan.
Ayolah Pangeran, beri saya tugas yang lebih menarik. Agar saya bisa membawa pulang kepala manusia lebih banyak lagi.
Tertanda,
Si Pemburu Kepala
___________________________________
Harith menggeleng, tak menyangka bisa mendapatkan surat menarik dari seorang assassin yang akhir-akhir ini sangat ditakuti oleh para Petinggi Kerajaan. Dirinya jadi teringat hari dimana ia bertemu dengan si Pemburu Kepala. Tepatnya di hutan dekat kastel. Saat itu si Pemburu Kepala sedang terluka karena terperangkap oleh jebakan yang dibuat pengawal-pengawalnya. Aneh, setelah diobati, luka si pemburu langsung sembuh sehari setelahnya. Sama sekali tidak ada bekas luka di kulitnya. Setelah itu, si pemburu menawarkan bantuan pada Harith sebagai bentuk balas budi. Saat itulah Nyonya Chayra berkata lantang, beliau meminta bantuan kepada si pemburu untuk menghabisi satu per satu Petinggi Kerajaan Altair. Dan si Pemburu Kepala menyanggupi. Mulai hari itu, pembunuhan demi pembunuhan terjadi. Bahkan gosipnya tersebar begitu cepat. Hingga menyebabkan pergolakan yang cukup mengancam posisi Raja Altair yang sekarang. Dengan kondisi tidak stabil ini, Harith ingin memanfaatkan situasi. Ia berencana melakukan pemberontakan dan memenggal kepala sang raja. Jika rencananya berhasil bukan tidak mungkin kekuasaan akan jatuh dengan mudah ke tangannya. Tentu saja hal semacam ini harus didiskusikan dulu dengan si Pemburu Kepala.
"Be-begini ... Pa-pangeran. Si pembunuh sekarang masih ada di luar ..." tutur Syamsi terbata-bata.
Harith mengerutkan keningnya. Agak tidak percaya dengan perkataan Syamsi. Namun tidak mungkin Syamsi berbohong, 'kan? Pangeran Harith pun segera mengecek kondisi di luar. Dan benar saja, di atas pohon kelapa berkulit cokelat kehitaman, seorang pria berjongkok di sana. Pria itu melambaikan tangannya dengan ceria tanpa beban. Baru saja berkedip, pria itu sudah ada di hadapan Harith membuatnya terkejut bukan kepalang. Hingga memeluk seorang pelayan perempuan di sampingnya.
"Maaf saya tiba-tiba menemui Anda, Pangeran," ujar si Pemburu Kepala seraya berlutut di hadapan Harith.
Para pelayan dan pengawal saling bersenggolan melihat Harith yang masih memeluk seorang pelayan perempuan. Hingga akhirnya Harith tersadar dan kembali memposisikan dirinya seperti semula. "Ekhm! tidak apa-apa. Berdirilah," Harith berdeham cukup keras untuk mengembalikan wibawanya. Walaupun begitu, suara tawa masih terdengar samar dari beberapa orang bahkan Nyonya Chayra dan Syamsi ikut tertawa.
Si pemburu dengan wajah tanpa dosa, berdiri begitu santai. Ia menatap heran orang-orang yang tertawa. Baru saja ingin membuka mulut dan menanyakan mengapa mereka tertawa, Harith sudah merangkulnya.
"Kemarilah, aku ingin mendiskusikan tentang rencana selanjutnya," ajak Harith, membawa si pemburu masuk bersama ke dalam tenda diikuti oleh Pengawal Syamsi dan Nyonya Chayra.
Pelayan perempuan yang baru saja dipeluk tampak terpaku di tempat. Pipinya benar-benar merah merona karena ketidaksengajaan pangeran membuatnya merasa canggung dan malu.
"Kaila, kau mau di sana terus? Cepat bantu kami siapkan makanan!" teriak lantang seorang Kepala Pelayan wanita, diwajahnya sudah terdapat banyak kerutan.
"I-iya Ibu Kepala, sa-saya datang!" Akhirnya Kaila berlari begitu sadar. Ia segera menyatu dengan pelayan-pelayan yang lain.
——————
Ket.
[1] Kertas Kuno