"Lihatlah, Nona Yena jauh lebih cantik setelah saya dandani. Menakjubkan!" puji seorang penata rias dengan heboh.
Senyum Yena mengembang ketika melihat reaksi tak terduga itu. Ia berujar, "Kau terlalu memuji, Mysha. Justru karena dirimu, aku bisa terlihat cantik. Meski aku melakukannya karena terpaksa."
"Karena tugas dari Yang Mulia?"
Yena mengangguk. Ia segera bangkit dari kursi berpola akar itu ketika Mysha ingin mengikatkan selendang merah pada pinggang rampingnya.
"Coba kutebak. Em, tugas Nona pasti ada hubungannya dengan rumor si pembunuh gurun itu, ya?" Mysha berlagak seperti seseorang yang sedang memecahkan kasus besar, mengakibatkan kekehan kecil tak tertahankan dari Yena.
"Nona Yena mengapa tertawa? Tebakkan saya benar, bukan?"
"Ekhm, tidak apa ... yang kau katakan memang benar." Yena tersenyum tipis. Teman barunya itu selalu bertingkah selayaknya anak kecil, sesuai dengan rambut pendek sebahunya yang berwarna kuning, melambangkan keceriaan. Ia kagum dengan Mysha, karena bisa mempertahankan jati diri di kota yang tidak membutuhkan orang seperti dirinya.
Tahap terakhir, Mysha memasangkan beberapa gelang pada kedua pergelangan Yena. Salah satunya menjadi tempat untuk mengikatkan selendang.
"Sudah selesai!" serunya ketika berhasil memunculkan kecantikan sempurna dari Yena, Sang Pengawal Pribadi Raja.
🍂🍂🍂
Gemerincing gelang kaki yang dikenakan Yena segera menarik perhatian. Para pria di bar menatap penuh muslihat. Penampilan Yena sangat jauh berbeda dari dirinya yang asli. Pakaian merah marun setengah telanjang dengan pusar indah dihiasi tato bermotif bunga. Wajahnya terhalang oleh khimar penutup transparan.
Yena berjalan menuju panggung kayu. Cukup besar ukurannya. Ketika musik ditabuh, ia mulai menari meliuk-liuk membuat berpasang-pasang mata tak berpaling dari kemolekan tubuhnya. Hingga kedua netranya menangkap sesosok pria dengan masker kain menutupi sebagian wajah, terlihat si pria memakai turban sebagai pelindung kepala dan dahinya.
"Pria itu, aku baru melihatnya. Siapa?" gumam Yena, perlahan menghampiri dengan terus menjejakkan kaki. Ia meliuk bagai ular mengikuti alunan musik. Jemari lentiknya membelai mesra wajah kokoh itu, meraih lengan agar si pria bersedia menari bersama.
Debaran jantung serasa berhenti ketika si pria tiba-tiba mendekap erat tubuh Yena. Sangat terasa sentuhan erat jemarinya, seperti tak ingin dilepas. Pandangan mereka saling bertemu, menciptakan suatu tarikan yang aneh. "Tubuhmu wangi," bisiknya pada ujung telinga Yena.
Selama beberapa detik Yena tak mampu menggerakkan tubuhnya. Dekapan dari pria asing membuatnya lupa untuk menolak. Pria tersebut semakin dekat, penutup wajahnya ia turunkan sedikit. "Kau berusaha menggodaku?" tanyanya dengan mengembuskan napas panas tepat di telinga dan menggelitik saraf. Sukses membuat Yena terpaku tak berkutik. Dari sudut mata si pria, Yena sempat melihat kilatan ungu kebiruan, semakin membuatnya tak bisa pikir waras. Pelukan mendadak terlepas, tanpa penjelasan pria bermasker pergi meninggalkan Yena dengan tumitnya yang melemas.
"Nona Yena!" pekik Mysha ketika mendapati Yena yang ambruk. Mysha berlari, membantu Yena berdiri.
"Terima kasih, Mysha," lirih Yena. Dengan kondisinya sekarang, ia tidak paham apa yang sudah terjadi. Begitu cepat sehingga tak ada kesempatan untuk menolak ataupun melawan. Setiap sentuhan dari si pria bagai sihir yang membuat tubuhnya tidak bisa digerakkan.
"Anda tidak apa-apa, Nona?" Yena menatap Sameer yang baru saja muncul dari kerumunan. Ia seorang pria beralis tajam dengan manik biru langit yang berkilau. Merupakan assassin yang cukup akrab dengan Yena di kota Denvail ini, kotanya para pembunuh.
"Mari saya bantu," ucap Sameer lagi. Dirinya berlutut masih dengan tangan yang terulur.
Dengan senang hati Yena menerima uluran tangan Sameer. Ia berpesan pada Mysha untuk menyampaikan maaf kepada pemilik bar karena dirinya tidak bisa melanjutkan tugas sebagai wanita penghibur.
"Jangan khawatir Nona, Tuan pasti akan mengerti."
Yena tersenyum tipis pada Mysha sebagai pengganti ucapan terima kasih. Lagi pula dia bekerja hanya untuk sehari saja dan tidak digaji. Tak berlangsung lama, wanita penghibur lain muncul menggantikannya. Yena segera dipapah keluar oleh Sameer.
"Kakiku lemas, aku tidak bisa berjalan lebih jauh lagi." Sesaat setelah keluhan itu, Sameer mengangkut Yena seakan mengangkat tong kosong.
"Maaf, saya tidak ada pilihan lain," ujar Sameer. Tatapannya sungguh tajam, tapi tidak terasa mengintimidasi.
Yena sekadar mengulum senyum. Ia tak berani menampakkan ekspresi wajahnya lebih dari itu. Lengannya segera melingkar erat pada tengkuk Sameer sebagai pegangan agar tidak jatuh. Kemudian Yena segera dibawa menuju penginapan terdekat. Sameer membaringkannya di ranjang kamar penginapan.
"Ah, pakaianku masih ada di Bar Bafett," ucap Yena, menatap manik biru Sameer.
"Biar saya ambilkan. Nona istirahat dulu saja."
"Terima kasih."
Sameer tersenyum sebelum akhirnya keluar dari penginapan dan menutup pintu perlahan. Meski terkesan dingin, sejauh ini Sameer cukup baik padanya. Sekalipun tidak pernah berlaku tidak sopan. Berbeda dengan assassin lain yang tetap berusaha menggodanya meski Yena adalah seseorang yang disegani.
Yena berguling, mengubah posisinya jadi menyamping kemudian mencabut khimar yang menempel di wajah. Ingatan tentang pria misterius itu membuatnya semakin penasaran.
"Siapa dia? Mungkinkah orang yang sedang kucari?" Yena kembali meluruskan tubuh. Berbaring menatap langit-langit. Pandangannya tertuju pada lampu lentara, seketika memutar kembali pertemuannya dengan si pria. Dirinya sadar, warna mata pria itu begitu unik, ungu kebiruan.
"Aku harus mencari tahu tentang pria itu." Tekad Yena dibulatkan. Pada akhirnya ia terlelap karena terlalu keras memikirkan sosok pria yang membuat dirinya ingin menyembunyikan muka. Memalukan sekali jika mengingat posisi Yena sekarang.
🍂🍂🍂
"Aku tidak tahu harus bagaimana jika tidak ada kamu, Sameer. Terima kasih." Yena menyunggingkan senyum.
"Tidak usah sungkan, Nona. Sudah seharusnya saya membantu Anda."
Pagi ini Yena sudah mengenakkan pakaian resmi—yang terbuat dari bulu domba—lengkap dengan ikat rambut favoritnya. Ia dan Sameer berjalan beriringan pada jalan setapak di kota Denvail. Kota ini banyak yang masih menggunakan tanah untuk bangunannya. Namun, ada pula yang sudah memperbaikinya dengan kayu jati tebal. Layaknya Bar semalam.
Yena memandang Sameer, ia memberanikan diri untuk bertanya, "Tentang pria semalam. Em, kau tahu siapa dia?"
Sameer bersidekap. Satu tangannya menyentuh dagu. "Saya belum pernah melihatnya. Akhir-akhir ini memang banyak sekali assassin yang tidak saya kenal bermunculan."
"Hm, begitu." Yena sedikit kecewa. Ternyata Sameer pun tidak mengenal siapa pria tersebut.
"Tapi saya bisa memberi Nona sebuah petunjuk ...."
"Petunjuk?"
"Ya, jadi saya sempat melihat sebilah pedang di punggungnya. Pada sarung pedang miliknya terukir motif yang mirip dengan pedang Er'dura."
"Benarkah?" Alis berkerut, Yena hampir tidak percaya mendengarnya. Ia sama sekali tidak memperhatikan punggung si pria asing.
"Saya berani bersumpah. Saya tidak sengaja melihat motif tersebut ketika dia keluar dari Bar."
Bahkan Sameer sampai seyakin itu. Jelas sekali penglihatannya tidak mungkin salah. Yena melipat tangan di dada, berpikir keras.
Bagaimana bisa pengguna pedang memiliki motif yang sama pada pedangnya? Sebab motif itulah sebagai pembeda bagi sesama pengguna. Walaupun ada kemungkinan mirip. Namun, hal itu bisa terjadi apabila pengrajin pedang merupakan orang yang sama. Kemiripan tidak mungkin terjadi pada Er'dura, sangat mustahil. Pasti pedang yang dipakai si pria misterius memiliki benang merah dengan pedang Er'dura.
"Aku butuh informasi lengkap tentang Er'dura. Aku yakin pedangku ini tidak mungkin hanya sebuah pedang legendaris biasa. Pasti terdapat sejarah yang tersembunyi dibaliknya."
"Jika Nona ingin mencari informasi langka. Saya tahu siapa yang bisa membantu Anda," tutur Sameer penuh keyakinan, "ayo Nona, ikuti saya."
Mereka saling memandang, memantapkan hati untuk percaya dengan senyuman. Mereka melangkah mengikuti jalan sempit dan penuh batu. Tanpa keraguan, Yena mengikuti Sameer hingga sampai di sebuah toko tersembunyi di balik bangunan-bangunan tua. Toko itu sedikit unik, karena banyak sekali motif bunga langka yang digambar pada dindingnya.
"Kau sedang tidak mencoba menjebakku, kan?" Terlihat keraguan dari air muka Yena.
"Percayalah, Anda bisa mendapatkan informasi yang tepat di sini. Mari masuk, Nona." Tanpa ragu Sameer mengulurkan tangannya. Berharap disambut dengan baik oleh Yena.
Tidak ada pilihan lain. Siapa tahu pemilik toko memang memiliki informasi rahasia tentang pedang miliknya. "Baiklah, jangan kecewakan aku," pinta Yena.
Sameer tersenyum simpul. Baru pertama kali Yena melihat senyuman tersebut. Entah bagaimana perasaannya sedikit bergetar. Tanpa memperdulikan perasaannya, Yena segera memasuki toko terlebih dahulu diikuti Sameer.
"Apakah kita tidak akan dimarahi oleh pemilikinya?"
"Tidak, pemilik toko tak akan tahu ada pengunjung baru. Jadi pengunjunglah yang harus menemuinya."
"Maksudmu?" Yena tak mengerti dengan jawaban yang diberikan Sameer, aneh sekali. Tidak tak ada balasan lagi dari Sameer.
Tanpa sadar mereka sudah masuk lebih dalam. Penampilan toko semakin tampak jelas ketika Yena menelusuri setiap inci bangunannya. Tua dan sedikit usang. Penuh jaring laba-laba di setiap sudut atapnya.
"Pengunjung baru? Akhirnya kalian datang juga. Silakan masuk!" seruan seorang wanita tua mengejutkan pendengaran.
Setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri. Yena mengerti apa maksud Sameer. Pemilik toko tidak bisa tahu karena sepasang matanya ditutup oleh kain putih lusuh. Beliau duduk di sebuah bangku kayu usang dengan ujung yang sudah mulai keropos. Atau mungkin beliau memang buta? Bisa jadi penutup tersebut digunakan untuk menyamarkan kekurangannya.
——————