Chereads / ADURA / Chapter 4 - Bab 3 — Dellena

Chapter 4 - Bab 3 — Dellena

Malam sangat dingin, sudah menjadi hal lumrah di Negeri Alraml. Tidak pula menyurutkan para penjahat kelamin untuk mencari kesenangan di malam hari. Hal seperti itu cukup terorganisir di kota ini, Dellena. Banyak penyamun menjual budaknya kepada pemilik penginapan, di sini mereka dipekerjakan sebagai wanita malam—sebutan untuk para wanita yang menjajakan dirinya kepada orang-orang berduit selama satu malam.

Kebanyakan budak yang dibawa oleh para penyamun merupakan orang-orang yang terdampar di tengah gurun. Setelah tertangkap, jika korbannya perempuan berparas cantik akan dijual pada pemilik penginapan. Sedangkan perempuan dengan paras biasa saja bahkan jelek mereka dijual dengan harga murah pada orang yang membutuhkan—kebanyakan bernasib malang dan meninggal karena dipekerjakan paksa oleh majikannya. Sementara ketika korbannya laki-laki, para penyamun menjarah semua barang berharganya dan kalaupun melawan tentu saja dihabisi tanpa rasa belas kasihan.

Bagi manusia seperti mereka hukum kerajaan sama sekali tidak berarti. Karena sang Raja sendiri melegalkan kegiatan tersebut. Sehingga banyak kota di beberapa wilayah menjadi tak berpenghuni akibat kebijakannya yang membuat sengsara. Raja terburuk sepanjang sejarah berdirinya Kerajaan Altair.

Sudah banyak kerajaan-kerajaan yang menentang perbuatan tidak manusiawi Raja Altair. Namun, mereka yang bersuara pun berakhir dengan menyedihkan. Bahkan harapan satu-satunya telah terbelenggu oleh kekuasaan sang Raja Altair, yaitu Pedang Legendaris Er'dura. Itulah sebabnya mengapa tidak ada yang mampu menggulingkan kekuasaan dan kekuatan Raja Altair yang sekarang di masa kepemimpinannya.

🍂🍂🍂

Di sebuah pohon dekat penginapan. Seorang pria bermasker hitam, jongkok dengan santai di sana. Tepat pada batang pohon besar, dirinya mengamati jendela di sebelah yang terbuka. Tak lama, masuk seorang pria menyeret perempuan cantik dengan busana transparan sekali, seperti pakaian untuk perempuan yang sudah menikah. Dari luar dia dapat melihat dengan jelas lekuk tubuh si perempuan.

"Hn, perempuan malang," gumamnya dengan intonasi suara yang datar. Di sekitar penginapan banyak para pengawal yang sedang berjaga. Bahkan tepat di bawah pohon—yang ia jadikan tempat persembunyian—sudah ada beberapa pengawal.

Pria di dalam kamar mulai membuka pakaiannya, sampai lupa menutup gorden saking semangat ingin mencicipi wanita yang ia bawa masuk.

Sebelum semuanya terlambat, pria di atas pohon segera melepaskan pedang dari dalam sarung. Mendadak cahaya berwarna ungu muncul dari sana. Motif tumbuhan pada pedang tampak hidup dan mencengkram pergelangan si pria. Ia melompat cukup tinggi dan berpijak pada sisi jendela yang terbuka.

"Tuan Almeer. Suatu kehormatan bagi saya, bisa bertemu dengan Anda," ujarnya. Pria itu berjongkok dengan kedua netra membentuk busur panah.

Namun bukannya membalas sapaan, si pria bernama Almeer yang hampir menggauli wanita di bawahnya itu terperanjat. Pada seluruh wajah mulai tampak keringat hingga tetesannya sampai ke ranjang. Tuan Almeer meraih celana kemudian memakai dengan tergesa, tubuhnya tampak bergetar hebat. "K-kau ... bagaimana bisa?"

Pria bermasker melompat ke dalam. Kedua netranya masih tersenyum, sungguh ramah. Namun sayangnya ia membawa pedang yang menyala-nyala. "Oh! Sepertinya saya telah mengganggu kesenangan Anda. Silahkan lanjutkan."

Tuan Almeer menggeleng kuat. Kedua kakinya melangkah mundur bermaksud ingin meraih gagang pintu. Sialnya, pintu terkunci karena ulahnya sendiri. "Ja-jangan mendekat! Kau pasti si pembunuh itu!"

Ekspresi pria bermasker berubah. Salah satu alisnya mencuat. Namun, setelahnya tidak ada pergerakan.

Tuan Almeer berpikir inilah kesempatannya untuk kabur. Ia berencana melukai pria di hadapan dengan guci hias di samping pintu. Sayangnya si pria bermasker tahu rencana Tuan Almeer, dari garis pandangnya yang menatap guci.

"Arghh! Tanganku!" erang Tuan Almeer. Lengan kanan terputus dari tubuhnya dan tergeletak begitu saja bagai daging potong. Darah segar mengucur deras. Kedua kakinya lemas sehingga tidak mampu untuk berdiri.

"Anda mau apa, Tuan? Mengapa tidak melanjutkan senang-senangnya?" cerca si pria. Matanya berkilat dipenuhi aura mengerikan.

"K-kurang ajar! Berani-beraninya kau berbuat seperti ini padaku! Menteri Agung Kerajaan! Akkh!"

Pedang mengayun tak terlihat dengan kilatan cahaya ungu mengekor layaknya komet. Sebuah kepala mendadak jatuh ke lantai. Tubuh tanpa kepala itu tumbang. Bau amis langsung menusuk penciuman.

"Hahh ... menyusahkan." Pria bermasker segera menenteng kepala hasil tebasannya tanpa ragu. Ia melirik perempuan di atas ranjang dengan kondisi tanpa busana, tapi tubuhnya tertutup oleh selimut tebal. Entah mengapa jika dilihat dari dekat, sosoknya terasa familiar.

"Maaf, Nona. Saya tidak berniat untuk menakuti Anda. Pergilah dari sini jika ada kesempatan." Pria bermasker mengernyit. Seharusnya ia tidak berbicara sepanjang itu. Dirinya berdecak lalu berbalik memunggungi.

"Tunggu!"

Langkah terhenti. Si pria bisa mendengar perempuan itu berjalan mendekat dengan sehelai selimut membungkus tubuhnya. Terseok-seok. "Ka-kau ... Hazard?"

Udara di sekitar mendadak terasa sesak. Langkah sepatu saling bersahutan semakin jelas terdengar dari luar kamar. Pintu kamar ini langsung jebol, di dobrak oleh seorang Ketua Pengawal, ia bersama anak buahnya memasuki kamar. Sedangkan si pria bermasker sudah menghilang entah kemana.

"Tu-tuan Almeer!" pekik seorang Ketua Pengawal. Ia menatap perempuan yang bersimpuh di lantai. "Siapa yang membunuh Tuan Almeer?!"

Mengigit bibir, perempuan tersebut mengepalkan jemari di dada. "Sa-saya tidak tahu. Tiba-tiba ada seorang pria yang masuk melalui jendela dan membunuh Tuan Almeer. Saya tidak mampu menahannya."

"Lagi-lagi pembunuh keparat itu! Kita harus segera bertindak!" Para pengawal dan ketuanya keluar dari kamar menyisakan si pemilik penginapan di sana, bersandar pada bibir pintu.

Tuan pemilik menatap perempuan yang bersimpuh. Hembusan napas terdengar dari bibir tebalnya. "Sayang sekali, hari ini Anda tidak bisa makan enak karena pelanggan pertama tidak memiliki hidup yang cukup panjang, Nyonya Senna."

Wanita bernama Senna mengepalkan jemari. Menahan ledakan emosi dalam diri, karena posisinya tidak bisa dikatakan mampu untuk melawan.

Tuan Pemilik memandang Nyonya Senna dengan tatapan hina. Ia berkata, "Suami Anda juga di bunuh oleh si pembunuh gurun. Mengapa Anda tidak membalas dendam padanya?"

"Hidupku ... lebih berharga."

Hening. Jawaban dari Nyonya Senna cukup membuatnya terkejut. Karena sama sekali tidak terpikirkan olehnya. Seorang mantan istri petinggi kerajaan begitu tangguh dalam menjawab pertanyaan seperti itu.

"Hm, menarik ...." Si pemilik penginapan tersenyum. Dirinya segera keluar dari kamar tersebut.

"Pelayan! Cepat bersihkan kamar ini dan bawa mayat Tuan Almeer keluar. Berikan pada Ketua Pengawalnya," pekik si pemilik penginapan pada pelayannya. Ia melanjutkan, "Oh dan ... bantu Nyonya Senna untuk mandi. Beberapa minggu lagi saya akan meminangnya."

Senna menatap lelaki sombong itu. Sungguh aneh pikirnya.

Tuan penginapan itu tersenyum penuh arti. "Saya cukup tertarik dengan sikap Anda, Nyonya. Anda tidak keberatan, 'kan?"

Senna membuang muka, tidak peduli dengan posisinya saat ini. Dalam benaknya hanya ada satu nama, seorang lelaki yang sudah lama ia cari. Kemudian para pelayan segera melakukan tugasnya. Satu sampai tiga pelayan wanita menuntun Senna ke pemandian di luar penginapan.

🍂🍂🍂

Yena dan Sameer duduk di lantai berdebu tanpa alas. Sedikit segan berhadapan dengan wanita tua yang sepertinya sudah cukup lama hidup di dunia.

"Katakan, informasi seperti apa yang kalian inginkan?" tanya wanita pemilik toko.

Yena merasa tegang. Kondisi ini, begitu asing baginya. "Um ... begini, Nek. Saya ... ingin bertanya perihal pedang yang saya miliki."

"Boleh saya memegangnya?" Tiba-tiba wanita tua mengulurkan tangan ke arah Sameer.

"Salah, Nek. Nona Yena ada disini," ucap Sameer seraya menggeser lengan si nenek ke arah Yena.

Nenek itu melirik ke arah Sameer, seketika tersenyum ramah. "Sam, ternyata kamu?"

"I-iya, Nek." Sameer menggaruk belakang kepala yang tidak gatal. Sedangkan Yena menatap Sameer meminta kejelasan.

"Saya akan menjelaskannya nanti. Ingat tujuan kita, Nona," bisik Sameer mencoba untuk tidak membahas dirinya terlebih dahulu. Sameer ingin Nona Yena tetap fokus pada tujuannya kemari.

Nenek pemilik toko tersenyum. "Nona, pasti ingin tahu informasi tentang pedang Anda, bukan?"

"Betul, Nek. Saya pengguna pertamanya setelah berabad-abad, sejarah tentang pedang ini pun sudah saya ingat di luar kepala. Namun saya merasa, pedang ini masih memiliki banyak rahasia."

Nenek itu kembali tersenyum, lengannya masih terulur meminta sebuah pedang tersimpan di atasnya. Meski Yena masih merasa ragu, dirinya tetap memberikan kedua bilah pedang itu. Pertama kali pedang berpindah tangan, Nenek pemilik tampak terkejut. Jemari tangannya meraba dengan sungguh-sungguh, kemudian menyunggingkan senyum puas setelahnya.

"Pedang ini bernama Er'dura, bukan begitu?" tanya sang nenek.

Mengagumkan, itulah kata yang Yena dan Sameer pikirkan setelah mendengar dengan telinganya sendiri. Seorang Nenek tahu nama sebuah pedang hanya dengan merabanya? Luar biasa!

"Bagaimana Nenek bisa mengetahuinya hanya dengan menyentuh?" tanya Yena penasaran.

Si nenek berdeham kemudian menjawab pertanyaan Yena dengan ramah. "Saya bisa merasakan energi unik dalam motif pedang ini. Sama persis dengan energi Adura Stone."

Adura Stone? Benda macam apa? Yena merasa belum pernah mendengar benda tersebut. "Memang ada benda seperti itu, Nek? Mengapa saya baru mendengarnya?"

"Adura Stone merupakan batu kehidupan yang telah lama hilang. Jika Nona tidak percaya tak mengapa, saya tidak akan memaksa Nona untuk percaya." Nenek menyerahkan kembali pedang Er'dura pada pemiliknya.

Yena dibuat bingung sambil memandangi sepasang pedangnya. Satu sisi ia sangat penasaran dengan sesuatu bernama Adura, tapi di sisi lain, terasa aneh. Masalah utamanya terletak pada tempat penyimpanan pedang Er'dura. Tak ada petunjuk tentang Adura di sana, mengapa? Apakah informasi tentang Adura sengaja disembunyikan?

"Kalau begitu adakah bukti yang dapat menguatkan ucapan Nenek?" tanya Yena.

Nenek membalas dengan senyum terkembang. "Tentu saja ada."

"Boleh saya melihatnya, Nek?"

Nenek pemilik toko mengambil sebuah buku di belakang punggungnya, memberikan langsung pada Yena. "Ini, ambillah. Bukti yang Nona cari."

Buku tersebut terlihat unik, sampulnya bergambar akar-akar pohon dengan pinggiran diselimuti oleh gambar timbul bunga-bunga kecil.

"Hebat," gumam Yena, netranya berbinar takjub. "Terima kasih, Nek."

"Satu hal yang tidak boleh Nona lakukan, jangan membukanya ketika Nona sedang tidak sendirian."

Saat itu juga kedua tangannya berhenti dan menutup kembali buku. Hampir saja Yena membuka bukunya.  "Memangnya kenapa, Nek?" Yena balik bertanya.

"Buku tersebut tidak bersahabat, suatu hal buruk akan terjadi apabila isinya terbaca oleh orang yang bukan pemiliknya. Pemiliknya adalah orang yang memegang buku."

Yena mengangguk mengerti, segera memasang kedua pedangnya kembali. "Saya akan mengingatnya, Nek. Terima kasih." pamitnya seraya berdiri dan membungkuk hormat diikut Sameer.

"Kami pamit, Nek. Permisi," salam terakhir Sameer. Dia menyusul Yena yang sudah cukup jauh di depan.

Nenek pemilik toko kembali sendirian. Namun tiba-tiba saja dari balik tembok kayu timbul sosok misterius dari sana. Postur tubuhnya tampak seperti manusia biasa. Padahal jika dilihat lebih dekat, seluruh tubuh di penuhi oleh urat-urat pohon. Wajahnya sendiri tidak ada, hanya sebuah batu besar berwarna biru yang dilindungi oleh akar pohon berbentuk cincin.

Makhluk ini bersuara dari batu birunya. "Akhirnya setelah berabad-abad. Adura Stone bisa disatukan kembali."

"Anda benar Tuan Sigra." Si nenek tersenyum.

——————