Aku menatap pantulan wajahku melalui kaca besar yang terletak persis di depan wastafel, benar katanya aku terlihat pucat.
Dengan cepat, kubasuh permukaan wajahku menggunakan air dingin. "Hey kamu! Semalam saat berhubungan, kamu hebat, tidak membuatku sakit. Tetap seperti ini ya, agar tidak ada yang mencurigaiku."
Aku tersenyum lebar, sambil sesekali mengusap pelan permukaan perutku, yang tertutup sweater rajut berwarna coklat muda, pemberian dari seseorang di masa lalu.
Dengan malas, aku keluar dari kamar mandi lalu bergegas ke tempat semula. Lelaki itu, masih terduduk manis di sana, sesekali mata pekatnya melirik arloji hitam yang melingkar apik di tangan kirinya.
"Sudah selesai?"
Aku mengangguk, saat pertanyaan itu terlontar dari mulut Shaka. "Langsung ke mobil saja, aku sudah cek out."
Tidak perlu menjawab, cukup menurutinya saja, karena berbicara empat mata dengan Shaka, adalah hal yang sangat aku hindari.
***
Hanya keheningan yang terjadi sepanjang perjalanan, sama sekali tidak ada pembicaraan. Aku memilih menatap keluar jendela, melihat jalanan yang ramai, dipenuhi para manusia yang lalu lalang memenuhi kota Loss Angels.
Memilih memejamkan mata, saat nyeri itu kembali menderai, adalah pilihan yang tepat. Kugigit kuat bibir bawahku, saat rasa perih itu mulai menjalar keseluruh bagian perutku. Bayangan masa lalu yang tanpa izin malah merasuk kedalam memori-ku, membuat tanganku refleks terkepal. Kejadian yang tidak akan pernah termaafkan, bahkan di nafas terakhirku sekali pun.
Jakarta,Nov, 2011.
"Kita mau kemana?" Aku mendongak, menatap intens lelaki disampingku, yang sedang fokus mengemudi.
"Diamlah Radza, nanti kamu juga akan tau," jawab lelaki itu dingin, membuat bibirku mengerucut sebal.
"Sudah sampai."
Aku mengernyit, saat mobil hitam yang kami tumpangi, berhenti tepat di depan sebuah rumah tua. Kugenggam kuat jemari Shaka, saat hawa tidak enak menyeruak masuk menembus pori-pori kulitku.
Shaka menatapku lekat. "Kenapa?"
"Tidak apa," jawabku cepat.
"Yasudah, ayo." Aku mengikuti Shaka keluar dari mobil. Perasaanku mendadak tidak enak, saat langkah kakiku memasuki rumah bercat coklat pudar itu.
Dengan pelan, Shaka mencoba mengetuk pintu jati di depannya. Tidak berselang lama, muncul seorang wanita tua, dengan selendang yang dililitkan di atas kepalannya. Wanita tua itu berdiam, menatapku dan Shaka bergantian, lalu setelahnya mempersilahkan kami berdua untuk masuk ke dalam.
"Shaka, kita mau ngapain di sini?" bisikku pelan. Kuremas erat jemari shaka, menggunakan tanganku yang mendadak dingin.
"Jangan banyak tanya, nanti juga kamu akan tau," ketusnya. "Kamu disini saja, aku akan bicara dengan simbok," lanjutnya sambil berlalu pergi, meninggalkanku yang hanya bisa mengangguk patuh.
Beberapa menit berlalu, tetapi Shaka masih saja betah berbincang dengan wanita tua yang dia sebut sebagai 'simboknya' itu. Sesekali kulihat lelaki itu hanya mengangguk, tapi di detik yang lain, dia terlihat seperti sedang bernegoisasi tentang sesuatu yang bahkan aku sama sekali tidak mengetahuinya.
Sempat terlintas dibenakku bahwa Shaka akan bermalam dengan si simbok ini, tetapi dengan segera kutepis jauh-jauh pemikiran itu, mana nafsu Shaka dengan wanita berumur seperti dia? Ckckckck.
"Radza..." Aku menegok ketika lelaki itu sudah di depanku.
"Nggeh, sak niki koe baring neng ranjang kui, Nduk. ( Yaa, sekarang kamu berbaringlah di ranjang itu Nak)." Simbok mendekat, lalu menyentuh pelan bahuku. Aku refleks mundur, karena merasa tidak nyaman disentuh wanita ini.
"Berbaringlah di ranjang itu. Ikutilah apapun yang simbok katakan, jika kamu tidak mengerti bahasa nya, kamu cukup mengangguk saja," ujar Shaka seolah bisa membaca pikiranku.
Kugelengkan kepalaku. "Aku tidak mau, aku ingin pulang."
"Apa susahnya sih berbaring di ranjang itu?" Shaka menarik kasar tanganku.
"Untuk apa aku harus mau berbaring di ranjang itu?!" Kutarik kasar tanganku dari genggamannya.
Lelaki itu menghembuskan nafas pelan, lalu mengambil jemariku dengan sangat lembut. "Radza, aku mohon berbaringlah di ranjang itu. Nanti kamu akan tau alasanya, dan itu sama sekali tidak merugikanmu, aku yang menjamin."
Tatapan lembut Shaka akhirnya meluluhkanku. Perlahan aku mengangguk, lalu menuruti perkataam lelaki itu untuk berbaring di ranjang, toh katanya tidak akan merugikanku. Walau nyatanya aku sedikit ragu, tapi biarlah, aku tau Shaka tidak akan menyakitiku.
"Wes siap, Nduk? (Sudah siap, Nak?)" Aku hanya mengangguk sebagai jawaban, sesuai dengan perintah Shaka."Kula buka klambine sebates weteng, nggeh? (Saya buka bajunya sebates perut, ya?)" lanjutnya, dan kembali aku mengangguk. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang wanita itu katakan.
Dan saat blouse-ku tersingkap ke atas, saat itu pula aku terpekik kaget. Lalu dengan cepat, aku bangkit dari ranjang. Kenapa wanita ini lancang sekali?! Tapi bersamaan dengan itu tatapan mengerikan simbok menusuk tajam netraku membuat nyawaku seketika menciut, kulirik sekitar dan tidak menemukan Shaka. Akhirnya karena takut, aku kembali berbaring di ranjang, mengabaikan rasa khawatir yang sudah merambat ke seluruh tubuhku. Tenang Radzana, Shaka berkata ini tidak akan merugikanmu.
Tangan keriput itu menyentuh pelan permukaan perutku, lalu memijatnya perlahan. Aku memejamkan mata, mencoba menikmati pijatan si simbok ini, yang jika dirasakan mantap juga. Tapi semakin lama, tangan simbok semakin menekan permukaan perutku, rasa nyaman itu seketika menghilang dan digantikan rasa melilit yang luar biasa sakit.
Tanpa sadar air mataku mengalir, kubuka mataku perlahan dan kutangkap wajah wanita itu yang berkeringat sama sepertiku. Aku mengerutkan dahi seperti orang bodoh, berpikir keras tentang apa yang sedang wanita tua itu lakukan padaku. Dan ketika jawaban itu kudapatkan aku segera bangkit, menyingkirkan kasar tangan simbok, dengan air mata yang sudah meleleh membasahi keseluruhan wajahku.
"Anakku." Bibirku bergetar saat mengucapkan itu. Dengan bergetar kusentuh permukaan perutku yang terasa begitu nyeri.
"Ono opo, Nduk? Anakmu durung gugur (Ada apa, Nak? Anakmu belum gugur.)" Simbok menyentuh pelan bahuku, lalu berusaha membantuku berbaring, tapi aku menolaknya.
"Simbok, ini ada apa? Sebenarnya apa yang Simbok lakukan pada perutku, hingga bisa sesakit ini?" tanyaku menuntut, kugigit kuat bibirku saat rasa nyeri dan panas itu seperti membakar habis perutku.
"Yuk, nduk, dilanjutke sikek aborsine. (Yuk, Nak, dilanjutkan dulu aborsinya)."
Mataku terbelalak kaget, saat mendengar kalimat terakhir yang simbok ucapkan. Aborsi? Jadi Shaka membawaku kesini untuk aborsi? Dengan air mata yang semakin mengalir, aku bangkit perlahan dari ranjang, memaksakan diri untuk pergi dari wanita biadab ini. Sakit pada perutku tidak lagi kupedulikan, berjalan tertatih mengabaikan omongan simbok yang tidak kumengerti. Saat kakiku melangkah, kurasakan cairan panas yang membasahi kakiku, darah? Tubuhku bergetar hebat. Tidak, anak ini tidak boleh lenyap. "Shaka, tolong!"
Lelaki itu muncul dari balik pintu, dengan senyuman yang menghiasi wajahnya. "Hey, sudah selesai?"
Aku menggeleng kuat, dengan air mata yang semakin menjadi. "Kamu... kenapa kamu jahat sekali, Shaka?!"
"Nduk, kui bayimu durung gugur sepenuhe (Nak, itu bayimu belum gugur sepenuhnya.)"
Aku terlonjak ketika wanita tua itu berjalan ke arahku, dengan langkah tertatih aku berusaha menjauhinya dan berlindung di belakang tubuh kekar Shaka. "Untuk sekali ini saja, tolong selamatkan anakku, Shaka. Aku memohon."
"Nduk, mau tak takoni wes mantap di gugurke bayine koe njawab uwes. Saiki wes telat, koe lagi nyadar. Bayimu urong gugur sepenuhe, tapi nek ora dilanjutke engko bahaya kanggo koe, Nduk. (Nak, tadi ditanyain apa kamu sudah yakin menggugurkan bayi ini kamu jawab sudah. Dan sekarang sudah terlambat kamu baru menyadarinya. Bayi kamu belum gugur sepenuhnya tapi jika tidak dilanjutkan akan berbahaya buat kamu.) "
Walau aku tidak mengerti apa yang wanita tua itu katakan, tapi firasatku berkata bahwa simbok menyuruhku untuk melanjutkan membunuh janin dalam rahimku ini. Aku kembali menggeleng sambil menggegam kuat jemari Shaka. "Bilang sama simbok, Shaka. Kalau aku nggak mau aborsi, ini anak aku. Dan Aku tidak mau membunuhnya!"
"Kamu sudah pendarahan, Radzana." Wajah Shaka pucat pasi, menatap nanar darah yang terus menetes melumuri kakiku. "Kamu bisa kehabisan darah jika tetap seperti ini."
"Nduk, dilanjutke wae nggeh? Nek tetep tok pertahanke, saake bayimu lahir cacat, soale mau wes Simbok pijet sarafe lan kemungkinan gede wes rusak. (Nak, dilanjutkan saja ya? Kalau tetap dipertahankan, kasian bayimu bakal lahir cacat, karena Simbok tadi sudah memijat sarafnya, dan kemungkinan besar sudah rusak sebagian.)"
Aku semakin terisak ketika wanita tua itu menarik tubuhku secara paksa, untuk kembali berbaring diranjang. Aku memberontak dengan sisa-sisa kesadaran yang masih kumiliki.
Shaka menarik lembut tubuhku, membuat simbok akhirnya mengalah dan menjauh dari kami. "Radza dengerin aku."
Lelaki itu membawa tubuh lemahku kedalam pelukannya. "Ini masalah nyawa seorang anak, Radza. Aku mau menggugurkan anak ini agar dia tidak menderita. Tapi kalau kamu tetap pada pendirian kamu, untuk mempertahkannya sekarang. Bukankah itu akan semakin membuatnya menderita?"
"Shaka, apapun itu, aku mohon bawa aku ke rumah sakit sekarang!" Kutarik kasar kemeja Shaka untuk menyalurkan bagaimana sakitnya perutku saat ini. "Shaka, aku ingin anak ini."
"Aku minta maaf."Kecupan itu bersinggah sejenak di dahiku. "Ini yang terbaik untuk kita," lanjutnya membuatku semakin terisak. "Simbok, tolong lanjutkan."
*
"Hey, Radza, kamu kenapa?" Kubuka mataku cepat, ketika tepukan lembut itu bersinggah di pipiku. "Kenapa kamu berkeringat?"
"Aku.. aku," ujarku terbata.
"Jangan gigit bibirmu, nanti berdarah!" Entah sudah berapa puluh kali Shaka mengingatkannya, tetapi tidak pernah kupedulikan. "Kita sudah sampai, mari turun."
Aku tetap diam, tidak bergerak sama sekali. "Radza, ayo..."
"Shaka, di mana putriku?"
Lelaki itu menegang, lalu menatapku tajam. "Apa yang kamu bicarakan?! Dia sudah mati, jangan pernah mengungkitnya lagi atau aku akan..."
"Sakit..." Kuremas kuat perutku saat rasa nyeri itu kembali menderai.
"Radza, kamu kenapa?" Wajah khawatir Shaka langsung terlihat, entah kemarahan yang baru saja terjadi menghilang kemana."Ini sudah kesekian kalinya kamu begini, kamu sakit apa sebenarnya?" tanyanya frustasi. "Kita ke rumah sakit, ya?"
Aku menggeleng. "Tolong, ambilkan kotak biru ditasku."
Dengan kilat, lelaki itu mengambil tas hermes milikku, lalu menumpahkan semua isinya. Aku terenyum miris, melihat bagaimana Shaka selalu ketakutan saat aku kesakitan seperti ini. Pengecualian, saat aku melahirkan. "Ini, cepat diminum, agar tidak sakit lagi."
Perlahan kuambil kotak kecil berwarna biru itu, beserta air mineral yang sudah Shaka persiapkan. Tetapi, sebelum aku sempat menegak keduanya, nyeri itu kembali datang bahkan kali ini lebih menyakitkan, membuat keseluruan syaraf-ku seperti mati rasa. Tubuhku melemas, pandanganku buram, dan setelah itu semuanya gelap.