Chereads / SELFISH (Indonesia) / Chapter 7 - Bagian #7

Chapter 7 - Bagian #7

Jakarta, 2012.

"Shaka, demi apapun perut aku sakit banget." Kuremas kuat pergelangan tangan lelaki di sampingku.

"Sabar, Radza! Tidak usah berteriak, telingaku sakit." Dihempaskannya tanganku dengan kasar.

"Shaka, ini sakit banget! Aku nggak kuat hiks."

Tangisku pecah, kuremas kuat dress berwana jingga yang melekat apik pada tubuhku. Shaka hanya diam sambil fokus mengemudi. "Aaaa huh huh," teriakku sambil berusaha mengatur pernafasan.

Lalu kurasakan tangan besar itu bersinggah di perutku yang sudah sangat membuncit. Kupejamkan mataku erat, mulai menikmati usapan Shaka yang begitu lembut.

"Saya nggak mau melahirkan normal!" Kututup kuat kedua kakiku saat suster itu menyuruhku mengangkang.

"Tapi anda bisa melahirkan normal, Bu." Aku menggeleng kuat, menolak mentah-mentah tawaran untuk mengelurkan bayiku secara normal.

"Bu, ayo kakinya dibuka," ujar suster itu lembut.

"Bawa saya ke ruang operasi, kalian tau perut saya sakit sekali!" Setetes air mata kembali tumpah, kuremas kuat kepala ranjang saat dorongan dari dalam semakin menggila.

Lelaki itu berkacak pinggang sambil tersenyum sinis. "Dok, operasi saja sih, turuti mau pasien, nanti saya bayar berapa pun itu."

"Ini bukan masalah biaya, Pak. Tapi pembukaan sudah hampir sempurna. Beberapa kali bu Radza mengejan, pasti si bayi akan keluar."

Shaka mengacak rambutnya frustasi, menatapku dengan tatapan setajam pisau, aku terus merengek berusaha meraih tangannya, ingin berbagi rasa sakit ini tapi lelaki itu tentu saja menolak. "Aku nggak ikut campur soal ini, Radza. Sudah aku bilang gugurkan! Sudah sampai di tempat aborsi juga, sudah jalan setengah menggugurkannya, tapi kamu keras kepala tetap mempertahankannya, maka nikmatilah penderitaan yang di buat anak kamu ini!"

Setelah Shaka membisikan kata-kata tajam itu, dirinya memilih untuk pergi dari ruang bersalin, meninggalkanku yang semakin terisak. "Shaka, sakit!"

"Eh, bapak mau kemana? Istrinya mau melahirkan ini." teriak dokter itu menghalangi langkah shaka. "Pak ini istrinya bagaimana kok malah ditinggal---"

"Biarkan saja, dok."Nafasku mulai tersenggal. "Saya sudah boleh mengejan?" tanyaku bergetar.

Kedua wanita itu membuka pelan kakiku, memastikan pembukaan sudah lengkap atau belum. "Ayo, sudah bisa mulai mengejan."

Astaga, ternyata seperti ini rasanya bersalin, sakit tidak tertahan. Kugenggam kuat kepala ranjang, saat bayangan wajah bunda terlintas dalam benakku. Aku terisak, lalu mengambil nafas dalam, senyum manis bunda yang selalu kubalas dengan tatapan kebencian semakin terngiang. Saat seperti ini ingin sekali aku bersujud di kaki bunda, meminta maaf atas semua kesalahan yang terjadi, karena aku baru merasakan bagaimana perjuangan seorang wanita untuk bisa melahirkan buat hatinya.

"Pintar, kepala adiknya sudah terlihat."

Aku mengangguk, ketika dokter itu terus memujiku, memberikan kata-kata penyemangat yang membuatku semakin bertenaga. "Aku pasti bisa. Bismillahirohmannirohim."

Dokter itu tersenyum, melihat semangatku yang berkobar. "Sedikit lagi, Bu. Ayo semangat!"

Kurilekskan pikiranku, sambil mengumpulkan seluruh tenaga yang masih tersisa. Kuambil nafas dalam-dalam dan kembali mengejan. "Aaaaaaaaaaa."

"Oek oek oek." Aku membeku, setetes air mata jatuh di pipiku. Apa aku berhasil mengeluarkannya?

"Alhamdulillah, bayinya perempuan."

Suara samar itu terdengar, tetapi kenapa pandanganku semakin memburam? "Bu, liat ini putrinya cantik sekali. Jangan tutup matanya."

"Dok saya mohon, apapun yang terjadi , jangan pernah memberitahu siapa pun tentang penyakit ini, termasuk suami saya." Lalu semuanya gelap.

*

Aku mengerjab pelan, merasakan pegal dikeseluruhan tubuhku. Dengan perlahan aku bangkit, ruangan serba putih dengan semerbak wangi obat-obatan langsung menyambutku. "Shaka, aku dimana?"

Lelaki itu langsung berdiri, melempar asal koran yang berada ditangannya, lalu menatapku tidak percaya. "Kamu sudah sadar?"

Shaka melangkah cepat untuk menghampiriku. "Astaga, Radzana, Akhirnya! Aku akan panggilkan dokter."

Ditekannya tombol berwarna putih di samping ranjangku, dan beberapa saat kemudian seorang dokter dan suster sudah berada di ruangan ini. "Ada apa Shaka?"

Pertanyaanku tidak tergubris. "Dok, istri saya bagaimana?"

"Coba kami periksa terlebih dahulu." Aku hanya pasrah, ketika dokter muda itu menyuruhku berbaring, lalu menelusupkan stestoskop di balik baju rumah sakit yang kukenakan.

"Alhamdulilah, keadaannya sudah membaik, ini semua adalah keajaiban." Wajah dokter itu berseri. "Mungkin dua sampai tiga hari sudah boleh pulang."

"Terimakasih banyak, dok." Shaka menjabat tangan perempuan itu dengan senyum lebar, lalu kedua perempuan muda itu pamit keluar.

"Aku ingin pulang!" tukasku tak terbantahkan, lelaki itu malah diam, sibuk menata beberapa obat di nakas. "Peduli setan! Boleh atau tidak aku akan pulang."

Saat jemariku sudah siap untuk menarik infus di tangan kiriku, tatapan tajam Shaka persis seperti akan membunuhku. "Gila kamu!"

Aku tertawa sinis, menatap wajahnya yang seperti ingin meledak. "Kamu yang gila! Aku sehat, aku ingin pulang."

"Kamu sehat?" tanya Shaka dan dengan cepat kuangguki. "Hahahaha"

"Tidak ada yang lucu, kenapa tertawa?" kesalku.

"Kamu koma selama delapan bulan."

Aku menganga, koma? " Dokter sudah menyarankanku untuk menyetujui agar alat penopang hidupmu dilepas saat bulan ketiga, tapi lihat aku masih baik hati untuk mempertahanmu."

"Bercandamu tidak lucu, Shaka," sinisku.

"Bercanda?" Shaka mengerutkan dahinya. "Saat kamu melahirkan, pendarahan yang kamu alami sulit dihentikan, bahkan delapan kantong darah yang kamu habiskan saat itu, tetap tidak menyadarkanmu."

Aku menegang. "Melahirkan?"

Kupegang kilat permukaan perutku yang sudah rata, Bagaimana mungkin aku lupa kalau aku sudah melahirkan dan delapan bulan, apa maksudnya?

"Aku koma selama delapan bulan?" tanyaku seperti orang linglung.

Shaka mengangguk. "Kamu melahirkan tepat dihari ulang tahunmu, tanggal 1 Mei dan sekarang kamu sadar tanggal 22 Desember, jadi delapan bulan kurang sedikit."

Bibirku bergetar. "Anakku, iya dia dimana?"

"Oh, kalau dia sudah aku singkirkan." Aku mendongak, menatap Shaka dengan wajah berbinar.

"Kamu sudah menemukan orang tua angkat yang cocok? Apa dia dari kalangan berada atau malah biasa saja? Apa orang tua yang mengangkatnya sudah memiliki anak kandung atau ---"

"Radza, stop!"

Mulutku tertutup rapat, ketika Shaka membentakku. "Kamu ingat saat aku membawamu ke wanita tua untuk aborsi?"

Aku menjawab dengan anggukan. "Wanita tua itu berkata, bahwa saraf bayi yang ada di dalam kandunganmu sudah rusak sebagian, karena dia sudah memijatnya."

Kukerutkan dahiku, sungguh aku tidak mengerti."Saat itu kamu malah merengek tidak jelas, kamu mengamuk karena tidak mau anak itu digugurkan. Aku yang panik melihat darah yang terus mengucur dari pahamu, akhirnya dengan sangat terpaksa membawamu ke rumah sakit dan tidak lagi melanjutkan acara menggugurkan bayimu dengan  simbok.

Saat sampai di rumah sakit, kamu pingsan. Saat itu aku yang berbicara empat mata dengan dokter yang menanganimu, dokter juga berkata sama seperti simbok, kalau sebagian saraf anak dalam kandunganmu sudah rusak.

Anakmu saat itu memang masih ada, tapi jika dilahirkan dia tidak akan normal atau kata kasarnya cacat. Dokter bahkan menawarkan untuk melanjutkan aborsi, karena mempertahankannya sama saja membuatnya menderita."

Tubuhku meremang, ribuan paku seperti menghujani tepat pada jantungku, cairan bening itu mulai memberontak dan akhirnya tanpa bisa dicegah, menetes perlahan dipermukaan wajahku.

"Aku saat itu setuju atau lebih tepatnya sangat setuju, tapi ketika kamu sadar, kamu mengamuk tidak karuan, membanting semua barang yang berada di nakas. Kamu berteriak memberi tau semua tim medis bahwa kamu menolak aborsi."

Aku masih tergugu, sebagian hatiku membenarkan perkataan Shaka, saat itu memang aku begitu melindungi malaikat kecilku. "Kamu keras kepala dan tetap ingin mempertahankannya, entah aku tidak tau apa alasanmu sampai mau mengandung anak cacat itu!"

"Cacat yang bagaimana, Shaka?" tanyaku lirih, ribuan kemungkinan hinggap dalam benakku.

"Bayi perempuan itu terlahir dengan berat 1,8kg dan tinggi 32cm. Hanya bisa melihat dengan satu mata, saat tumbuh tangannya juga hanya akan berfungsi satu dan yang terakhir jika anak kamu sudah mulai bisa berjalan kakinya akan sedikit pincang." Shaka tertawa sinis melihat raut wajahku yang begitu menyedihkan.

"Kenapa kamu tidak memberitahuku dari awal?!" Kutarik kasar kerah kemejanya.

"Aku sudah berusaha memberitahu hal itu, tapi kamu batu! Aku malas berdebat denganmu." Perlahan kulepaskan cengkraman tanganku pada kerah kemeja Shaka, tidak lagi memiliki tenaga untuk mendebatnya setelah mengetahui fakta tentang malaikat kecilku.

"Lalu siapa orang yang mau mengadopsinya dengan keadaan seperti itu?" Bibirku tercekat.

"Tidak ada!" jawabnya.

"Lalu dia? Kau berikan di panti asuhan?" tanyaku tidak sabar.

Shakti tersenyum penuh kemenangan. "Aku menyingkirkannya, untuk selama-lamanya."

Sebuah tangan mendarat mulus di pipi Shaka. "Kurang ajar kamu! Kenapa kamu jahat sekali? Aku salah apa sama kamu?!"

"Lalu aku harus bagaimana, Radzana?! Kamu koma atau lebih tepatnya sekarat, dan meninggalkan seorang bayi cacat kepadaku, aku harus bagaimana?!"

Lelaki itu berteriak sambil menarik kasar bahuku, aku menggeleng tidak percaya, seorang Shaka bisa sekejam itu pada makhluk tak berdosa?

"Kita sudah sepakat akan memberikan anak aku kepada orang yang membutuhkan buah hati." ujarku bergetar. "Tapi kamu?!"

"Dia cacat, siapa yang mau?!" Beritahu Shaka sambil menatapku tajam.

"Kamu bisa menaruhnya di panti asuhan, disana tidak mungkin ditolak.  Aku bisa menjadi donatur tetap disana, sambil sesekali menengoknya." Air mataku semakin menjadi, tubuhku lemas luar biasa. "Shaka, aku ibunya, kenapa kamu egois sekali? Aku memang bukan wanita baik-baik tapi aku masih memiliki perasaan. Dia anakku, buah hatiku, belahan jiwaku.

Sembilan bulan dia dalam diriku, aku melahirkannya dengan bertaruh nyawa. Kamu bahkan menyaksikan, aku koma selama itu untuk memperjuangkan siapa? Kamu memang benar-benar egois, Shaka.

Kamu tidak pernah bisa menghargai perjuangan seorang wanita, kamu hanyalah lelaki brengsek yang selalu mau enaknya saja! Aku sangat membencimu. Kamu Shaka Malik, pembunuh!" Mulai hari itu semuanya berbeda, ada benteng tak kasat mata yang sengaja aku bangun untuk menjaga jarak dengannya. Tidak lagi ada obrolan sebelum tidur atau sekedar meminum teh bersama disaat senggang, semuanya berubah, dan hanya sex yang membuat kami bersama itu pun sangat hambar.

***

"Hey, kamu ngalamun?"

Aku terperanjat, saat tangan besar Shaka mengguncang kasar bahuku. Bayangan masa lalu memang selalu menghantuiku, bahkan setelah enam tahun berlalu. "Radza, kamu kenapa?"

"Aku tidak apa." Kulepaskan kasar tangan Shaka dari bahuku.

"Kamu bisa melakukan operasi pengangkatan jaringan endrometrium jika ingin hamil lagi," cicit Shaka dengan nada sedikit membujuk.

"Aku sudah bilang bahwa aku tidak berminat!"

"Tapi jika kamu tidak mau, seumur hidup kamu tidak akan memiliki anak, Radzana!" Shaka mengacak kasar rambutnya.

"Lalu apa masalahmu? Aku jalang, aku wanita murahan, lalu untuk apa kamu mau anak dari wanita sepertiku?!" Shaka membisu. "Asal kamu tau, kejadian enam tahun yang lalu itu tidak termaafkan! Aku tidak sudi mengandung anakmu lagi."

"Apa?! Anakku?" Shaka menatapku tajam.

Aku terkekeh. "Lalu kamu kira anak siapa?"

"Kamu melakukannya dengan banyak lelaki, Radza!" bibirku melebar.

"Aku juga berhubungan dengamu, jadi kemungkinan Ayra anak kita."

Azkayra Felicia Alana

Seseorang yang bersih dan dihormati pembawa kebahagiaan serta kedamaian.

"Hanya kemungkinan, nyatanya kamu banyak berhubungan dengan para lelaki di luar sana!" Shaka tersenyum lebar.

"Aku hanya berhubungan denganmu."

Entah kenapa rasanya aku ingin jujur, mengakhiri kebohonganku selama beberapa tahun ini.

"Hanya aku? Maksudmu apa?!" Tarikan kasar di tanganku membuatku menghembuskan nafas kasar.

"Setelah menikah, hanya kamu yang menyentuhku."

Shaka melotot tajam tepat di depan wajahku, lalu sedetik kemudian tawanya meledak. "Tidak ada yang lucu, Shaka!"

"Aku sering melihatmu bercumbu dengan berbagai jenis lelaki yang berbeda, bahkan beberapa kali masuk kamar." Shakti masih saja terpingkal sambil menatapku rendah.

"Itu hanya foreplay, Shaka! Aku tidak pernah melakukan sejauh itu setelah resmi menikah denganmu," jujurku. "Dulu sebelum menikah aku memang semurahan itu, melakukan sex dengan beberapa pria muda yang memiliki uang berlimpah. Tapi setelah menikah aku baru tau bahwa aku mengalami endrometriosis, dan itu membuatku kesakitan saat melakukan hubungan intim."

Shaka semakin tertawa. "Kamu bohong! Beberapa hari lalu bahkan kamu tidak sadar jika kamu melakukan sex denganku, bukan client tuamu itu!"

"Malam itu aku mabuk, makanya aku shock saat terbangun tanpa busana."

"Bagaimana jika malam itu bukan aku yang menidurimu, Radzana?" Shaka tersenyum remeh.

"Terserah kamu, aku malas berdebat!" 

Jujur saja pagi itu saat aku terbangun tanpa busana, perasaan panik itu langsung menghampiriku. Sudah lama sekali aku tidak berhubungan dengan lelaki selain Shaka, bahkan dulu saat remaja aku selalu berhubungan dengan lelaki terpilih itu pun selalu penuh kesadaran, tidak mabuk.

"Semua perkataanmu adalah kebohongan! Jika kamu sakit setelah menikah denganku, maka Ayra tidak akan hadir, karena dokter berkata penyakitmu sangat menyulitkanmu untuk bisa hamil!"

"Aku melakukan operasi pengangkatan jaringan endometrium setelah satu tahun menikah denganmu dan hasilnya aku hamil, jadi asal kamu tau Ayra bukan kesalahan karena aku sengaja untuk mendapatkanya."

Skakmat. Mulut Shaka menganga, matanya terus menatapku dengan tatapan tak terbaca. Sedangkan aku hanya bisa tersenyum miris. Sambil menebak, menyesalkah seorang Shaka Malik karena telah membunuh darah dagingnya?