Chereads / SELFISH (Indonesia) / Chapter 10 - Bagian #10

Chapter 10 - Bagian #10

***

"Maaf lama," ujar Shaka sambil memasuki mobil. "Mau mampir atau langsung ke hotel?"

Tidak ada jawaban. Fokusku tetap pada benda berbentuk persegi panjang yang berada di tanganku. "Jika ada yang bertanya, tolong dijawab. Jangan membuatku muak, Radza!"

Kuhembuskan napas kasar, jika aku tetap diam, bisa dipastikan lelaki ini akan memperkosaku sekarang juga. "Aku ingin ke club!"

"Tidak!" Aku mendongak menatap wajah Shaka yang mengeras.

"Tenang saja, aku akan layani kamu sebelum pergi." Tarikan kasar di bahuku, membuat dahiku berkerut tidak mengerti.

"Apa? Aku akan puaskan kamu, tenang saja." Dengan gerakan erotis, kuusap dada bidang miliknya yang masih tertutup kemeja.

"Kamu tidak boleh lagi datang ke club!"

Lelaki itu menepis kasar tanganku yang ingin membuka kancing teratas kemejanya. Aku jelas saja terpana, ada apa dengan Shaka? Kenapa beberapa hari ini sifatnya menjadi sangat aneh? Kupejamkam mataku sejenak, berusaha mengabaikan semua perubahan yang terjadi pada lelaki ini, toh jika dipikir juga tidak ada gunanya.

"Terserah, aku tidak peduli, izinmu tidak penting!" tukasku enteng.

Aku hampir saja terhuyung ke depan, saat mobil yang kutumpangi mendadak berhenti. Kutatap wajah Shaka dengan perasaan ingin meledak, entah kenapa semenjak aku keluar dari rumah sakit sifat lelaki ini semakin menyebalkan. Bahkan hari ini aku sudah berada di kota kelahiranku, Jakarta. Perdebatan sengit yang terjadi semalam membuatku akhirnya mengalah. Percuma berdebat dengan Shaka yang hanya akan berakhir di ranjang. problem can be resolved by sex, itulah pedoma yang selalu Shaka tekankan.

Padahal rasa takut untuk kembali menginjakan kaki di negara ini, setelah enam tahun berlalu pun masih belum hilang sepenuhnya. Bayangan kejadian buruk di masa lalu masih terus bersinggah di memoriku. Bahkan aku tidak siap, jika tanpa sengaja bertemu keluargaku atau pun keluarga Shaka.

"Jangan gigit bibirmu!" Teriakan itu membuyarkan lamunanku, aku tergelak ketika menyadari wajah Shaka yang berada tepat di depanku. Dengan tergesa aku beranjak mundur, tapi sialnya sebelum hal itu terjadi sebuah kecupan sudah bersinggah di bibirku. "Jika aku melihatmu menggigit bibir lagi, maka aku akan langsung menciumnya, bahkan bisa saja lebih!"

***

Sesampainya di kamar hotel, kulepaskan pakaian yang melekat pada tubuhku, menyisakan bra dan underware berwarna merah menyala. Aku tersenyum lebar lalu berjalan mendekati Shaka. "Ayo, cepat!"

Tatapan bingung Shaka hampir saja membuatku terbahak. "Apa yang kamu lakukan?!"

"Memuaskanmu sebelum kamu meminta. Aku ingin bersenang-senang di club malam ini, jadi sebelum itu terjadi, bukankah aku harus membuatmu senang terlebih dahulu?" tanyaku retoris.

"Mandi dan pakai bajumu. Hari ini aku ada pertemuan penting, kamu harus ikut." Lelaki itu berkata tanpa menatap ke arahku, menghindari pandangan dari tubuh setengah telanjang yang sengaja aku pamerkan untuk membangkitkan nafsunya.

Aku tertawa keras, bahkan hingga terpingkal, sampai perutku terasa sakit. "Kamu menolak aku puaskan? Ada apa denganmu, Shaka? Semenjak kamu tau tentang penyakit yang aku derita, kamu menjadi sangat aneh. Apa kamu mengasihaniku? Hahahahahha, jangan berlagak sok peduli, hatimu tetap saja seorang iblis!"

"Mengasihanimu?" Shaka menatapku remeh. "Asal kamu tau, bagaimana bosannya aku yang selalu memasuki lubangmu yang juga dimasuki puluhan lelaki di luaran sana. Menjijikan, dasar murahan!"

Aku membisu ketika rentetan kalimat merendahkan itu terlontar lancar dari mulut Shaka, setelahnya lelaki itu berlalu pergi meninggalkanku yang sama sekali tidak bergeming. Setetes air mata dengan lancangnya jatuh di permukaan pipiku tanpa bisa aku tahan. "Oh ayolah Radzana, bukankah kamu memang murahan, tapi kenapa saat kata itu keluar dari mulut orang lain, kamu malah menangis?"

Aku tertawa hambar, sambil menatap tubuh setengah telanjangku dari balik kaca besar yang terpampang di depanku. Kamu memang murahan, Radzana, batinku tertawa.

*

"Kapan operasi pengangkatan rahimmu dilakukan?" tanya Shaka, saat kami berdua sudah berada di ranjang.

"Aku tidak berminat," jawabku singkat tanpa sudi menatapnya.

"Jangan pernah bermain-main dengan nyawa, Radza! Aku tidak suka." Tarikan kasar di bahuku membuat emosiku tersentil.

"Kamu juga bermain-main dengan nyawa Ayra, jadi kita impas." Kuhempas kasar pergelangan tangan Shaka.

"Kenapa kamu selalu menyangkutkan apa pun dengan Ayra?!" Shaka mencengram kuat bahuku. "Dia hanyalah sebuah kesalahan yang tidak penting untuk diingat."

Tanganku bergetar hebat, saat tamparan itu benar-benar kulayangkan di pipi Shaka. Aku tercekat, merutuki kebodohanku didetik terakhir. Selama bersamanya, belum pernah aku mengangkat tanganku untuk Shaka, apa pun yang terjadi. "Maaf, aku kelewat batas, aku emosi."

Dengan cepat, aku segera berbaring memunggunginya. Lalu sedetik kemudian, kurasakan sebuah tangan merengungkuhku dari belakang. Kugigit kuat bibirku saat kristal bening itu terus memberontak dari kedua mataku, permasalahan bersama Shaka memang selalu menguras air mata dan lebih menyedihkannya tidak pernah berakhir.

"Kamu lupa, konsekuensi apa yang harus kamu tanggung kalau masih suka menggigit bibir?" bisik Shaka sambil membelai pelan daun telingaku. "Kamu dengar aku, Radza?"

Shaka menarik tubuhku agar berhadapan dengannya, dan dengan lemahnya aku menurut. Aku masih menunduk, sama sekali tidak berani menatap kedua manik mata Shaka, kelancangan karena berani menamparnya tadi masih saja kusesali.

"Kenapa menunduk?" Shaka membelai lembut pipiku.

"Aku minta maaf tadi ---"

"Tatap aku," potong Shaka. "Akan aku tarik dagumu jika tidak menurut!"

Ancaman itu membuatku menciut, dengan perlahan kuangkat wajahku agar bisa menatap wajah dingin Shaka. "Aku membuangnya enam tahun lalu di jembatan dekat Grand Anyer Mall, seberang hotel ini. Aku meletakannya malam hari, ketika Ayra berumur satu minggu, di bawah siraman hujan yang sangat deras. Bahkan aku yakin beberapa menit saja, bayi merah itu akan berubah menjadi biru lalu ---"

Wajah Shaka kembali tertoleh ke samping, kali ini aku tidak menyesal, sama sekali tidak. Lelaki ini membuang bayiku? Aku menggeleng tidak percaya, kenapa Shaka jahat sekali? Tubuhku kembali bergetar,

tidak akan pernah ikhlas bahwa bayi kecilku diperlakukan sekejam itu.

Aku yang mengandungnya sembilan bulan, bahkan aku hampir mati saat berusaha mengeluarkannya. Dia adalah nyawa pertama dan terakhir yang keluar dari rahimku, bahkan dengan susah payah aku bisa mendapatkannya. Dengan operasi, terapi, obat-obatan, semua aku lakukan agar bisa menjadi seorang wanita seutuhnya.

Tapi apa yang iblis itu lakukan? Dia memutuskan sesuatu untuk bayiku tanpa meminta persetujuanku yang mengandungnya? Aku menggeleng tidak percaya. Hati ibu mana yang tidak sakit mendengar anak yang dia lindungi selama berbulan-bulan diperlakukan seperti itu? Walau sebutan ibu tidak pantas untukku tetapi aku tetap ibunya, bukan?!

Tarikan kasar di bahuku membuatku terperanjat. "Berhentilah bermain kasar karena aku bisa lebih kasar dari ini! Dengarkan ceritaku terlebih dahulu, baru kamu bisa menyimpulkan semuanya, Radzana!"