"Perempuan." Dokter itu langsung menjabat tanganku dan hanya kubalas dengan senyum penuh kecanggungan. "Istri anda koma, dikarenakan pendarahan yang sulit dihentikan."
Aku menengang. "Radza koma?"
Dokter itu mengangguk pelan. "Berapa kemungkinan dia selamat?"
"Lima puluh persen." Aku kembali tersentak. Bahkan kemungkinan dia mati dan hidup seimbang.
"Kenapa bisa sampai koma?" teriakku frustasi. "Apa dia memiliki sakit atau komplikasi lain?"
Tuntutku tidak terima. Dokter itu hanya menggeleng pelan, gelengan yang membuatku begitu ragu. Apakah ada hal yang disembunyikan?
*
Tangis bayi yang berada di kursi samping membuat fokus mengemudiku seketika buyar. Aku memilih untuk menepi, memandang bayi mungil yang terus menggeliat tidak nyaman di dalam sebuah box berwarna merah muda. "Anak siapa pun kamu, saya minta maaf. Ini yang terbaik untuk kamu, Azkayra."
Dengan perlahan aku keluar dari mobil, membuka pintu penumpang, lalu mengeluarkan box berwarna merah muda itu. Di bawah langit malam yang tampak mendung, aku meninggalkan seorang bayi tanpa dosa, bayi kecil yang baru berusia satu minggu, terlihat dari tubuhnya yang masih berwarna kemerahan. Aku meringis, menatap sendu bayi cantik Radza yang masih tampak pulas. Sebuah plastik berwarna hitam, kutaruh di dekat tubuh mungilnya, berisi uang tunai satu juta rupiah, sebuah cek yang sudah kutanda tangani sertas selembar kertas berisi beberapa untaian kata.
Terima kasih, untuk sudi merawat anak ini.
RadSha-
"Saya minta maaf, gadis kecil. Ini yang terbaik untuk kita, Radza belum tentu selamat dan aku tidak tau harus berbuat apa pada bayi cacat seperti kamu."
Suara petir menyambar membuatku berjenggit kaget. Setelahnya rintikan hujan mulai berjatuhan, bayi mungil itu terlihat bergerak tidak nyaman, hatiku berdesir hebat, sisi kemanusianku ingin sekali memeluknya. Tapi egoku ternyata lebih besar, aku menggeleng membiarkan bayi itu tenggelam dalam hujan. Memilih untuk bangkit dan berlari menuju mobil tanpa menengok bayi itu sedikit pun. "Semoga Tuhan cepat mengambilmu, Ayra."
"Tidak ---"
Aku terengah, mengusap kasar wajahku lalu mengambil cepat air mineral yang berada di nakas. Kenapa aku bisa memimpikan kejadian itu? Setelah enam tahun berlalu, kenapa baru sekali ini mimpi buruk itu datang? Apa karena aku baru saja menceritakannya pada Radza?
Pertanyaan demi pertanyaan langsung bergelanyut dalam pikiranku. Aku menengok, menatap Radza yang masih tertidur pulas di sampingku dengan selimut yang dipakai sampai ke dada, bayangan pergelutanku beberapa jam yang lalu membuatku tersenyum samar. Semoga ada keajaiban pada perempuan ini agar bisa kembali mengandung, walau belum dilakukan operasi pengangkatan jaringan endometrium.
"Radza." Kutepuk pelan bahunya. "Ada pertemuan di Mall, bangunlah."
Radza menggeliat lucu, lalu kembali mengeratkan selimut di tubuhnya, hal yang membuatku selalu terkekeh. "Masukin lagi ya ---"
Perempuan itu langsung bangkit dari ranjang, lalu berjalan menuju kamar mandi. Aku tertawa terbahak, lalu mengikutinya dari belakang. "Apa lagi?"
"Mandi bersama," ujarku sambil menerobos masuk ke kamar mandi, lalu masuk ke bathup. Radza mengumpat kasar dan membanting keras pintu itu hingga menimbulkan dentuman.
***
"Kamu mau ikut meeting atau menunggu di tempat lain?" tanyaku saat kami memasuki area mall.
Perempuan itu hanya diam, sambil mempercepat langkah kakinya. "Kalau ada yang bertanya ---"
"Aku tunggu di cafe dekat pintu keluar," potongnya sambil berlalu pergi.
"Dengarkan aku dulu." Dengan tergesa kutarik pergelangan tangan Radza.
"Lepas," teriaknya membuat mataku melotot. "Kenapa? Mau marah?"
"Radza, ini tempat umum." Tatapan tajam itu kuberikan pada perempuan di depanku.
"Sayangnya aku tidak peduli," ujarnya tersenyum sinis sambil berlalu pergi, meninggalkanku yang sudah akan meledak karena emosi.
*
"Sudah makan?" Aku terduduk di depan Radza yang sedang asyik bermain ponsel.
Perempuan itu mendongak. "Meeting-nya sudah selesai?"
"Kamu sudah makan belum? Jangan alihkan pembicaraan. Setelahnya kamu juga harus mengomsumsi obat," ujarku mulai emosi, Radza tetapi diam semakin asyik dengan ponsel di tangannya. "Radza, jika aku bertanya ---"
Radza menatapku sebentar. " Bukan urusanmu."
"Jaga bicaramu, Radza!" ujarku menarik kasar bahunya. "Ini di tempat umum!
Perempuan itu tertawa keras. "Kamu selalu menyakitiku, Shaka. Kenapa tidak sekalian membunuhku saja?"
Para pengunjung menengok, merasa terganggu dengan keributan yang terjadi. "Belum pernah lihat pasangan berantem, hahhh?!"
"Kamu sudah membuatku malu, Radzana!" Kutarik kasar pergelangan tangannya dan penolakan itu kembali kudapatkan.
"Peduli setan dengan itu, pembunuh sepertimu memang pantas mendapatkannya." Saat tanganku akan terangkat, sebuah tarikan kecil membuatku terhenti.
"Tuan."
Aku menengok, menatap gadis kecil berbaju kumal yang berada tepat disampingku. Memundurkan langkah beberapa centi, kutatap gadis itu dengan raut penuh permusuhan. "Bagaimana mungkin di mall sebesar ini ada pengemis?"
"Tuan, saya bukan pengemis. Ini waktu tadi siang, Tuan menyemir sepatu, kembaliannya belum diambil." Diserahkannya dua lembar uang berwarna hijau.
"Ambil saja kembaliannya, Shaka tidak akan mau menerimanya," tukas Radza dan dengan cepat kuangguki.
"Tapi, nyonya, ini bukan hak saya."
"Orang miskin belagu amat sih, cepat pergi, kamu buang-buang waktu kami," ujarku sambil menarik tangan Radza untuk menjauh.
"Di luar hujan, apakah Tuan dan Nyonya mau meminjam payung saya?" tanya anak itu sambil mengikutiku.
"Bisakah kamu pergi dan jangan mengikuti kami?!" Aku berhenti, menatap tajam gadis itu. "Kamu paham perkataan saya, bukan?"
Gadis itu mengangguk takut, lalu berbalik meninggalkanku dan Radza. Aku menegang ketika melihat bagaimana gadis itu berjalan, Dia pincang?
Apa dia?