Chereads / SELFISH (Indonesia) / Chapter 8 - Bagian #8

Chapter 8 - Bagian #8

Aku terdiam, sambil menatap tajam perempuan yang sedang terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Kuamati secara rinci wajah pucat yang tidak terdapat polesan make up sama sekali. Radza tetap terlihat cantik, sekali pun tidak menggunakan alat perias.

Tujuh tahun bersama, tidak menjamin aku untuk mengetahui semua tentangnya. Di balik sifat angkuh yang dia miliki, ada setitik luka yang membuat Radza begitu lemah. Perempuan itu sakit dan bodohnya aku tidak tau. Selama bertahun-tahun dirinya menyimpan beban itu sendiri, tanpa mengeluh sedikit pun.

Mengacak kasar rambutku, kembali kutatap perempuan itu dalam diam. Radza adalah perempuan yang menemaniku dari nol, bahkan dia tidak bergerak sedikit pun, disaat hidup membawaku ke roda paling bawah sekali pun.

Jakarta,Okt,2011.

"Apa ini?!" Aku membisu, ketika papa melempar sebuah kertas berlogo rumah sakit tepat di depan wajahku.

"Shaka, apa kamu sudah gila?" Tatapan terluka mama seperti menguliti tubuhku.

"Kamu bisa menjelaskannya, Nak?"

Ayah menepuk bahuku pelan, lalu mengajaku duduk di sofa ruang tamu.

"Radza, apa kamu hamil?" Suara bergetar milik bunda terdengar begitu nyaring.

"Jangan sentuh aku!" Radza menghindar ketika tangan ringkih bunda akan membelai surai hitam miliknya.

"Radza!" geramku, ketika perempuan itu hampir saja mendorong wanita yang telah melahirkannya ke dunia.

"Apa? Jangan ikut campur!" jawabnya bruntal.

"Radza, dia suamimu, dan mereka orang tuamu, di mana sopan santunmu sebagai anak?!" Mama ikut menimpali.

"Peduli setan."

"Kamu!" teriakku muak melihat semua kelakuan Radza.

"Apa?!" balasnya menantang.

"Sudah kalian!" teriak Ayah. "Tolong jelaskan tentang surat perjanjian aborsi ini."

"Iya, aku hamil," jawab Radza mantap. "Dan aku ingin menggugurkannya malam ini."

Sebuah tangan mendarat mulus di pipinya. Aku terperangah melihat ternyata tangan besar ayah pelakunya. "Di mana otak kamu?"

Radza terkekeh lalu mengusap pelan pipinya yang memerah. Aku masih terdiam, lebih tepatnya terkejut, dan apa kata Radza tadi? Dia akan menggugurkannya malam ini? Bahkan aku yang membuat perjanjian dengan dokter tanpa sepengetahuannya, surat itu aku yang membawanya, tetapi karena ceroboh akhirnya ayah menemukannya di ruang tamu.

"Saya tidak akan membiarkan kamu menyentuh cucu saya sedikit pun."

Dengan wajah merah padam, mama maju lalu menunjuk wajah Radza dengan tangan bergetar.

"Cucu?" Ulang Radza sambil mengerutkan dahinya.

"Anak dalam kandunganmu, itu cucuku!"

Tawa Radza pecah, perempuan itu sampai mengelurkan air mata saking kerasnya tertawa, membuat perasaanku tiba-tiba merinding. "Radzana."

"Lepas," teriak Radza sambil menyingkirkan tanganku. "Di hadapan kalian semua, saya akan mengakui semuanya. Saya, Radzana Raqueenza adalah seorang wanita pemuas nafsu di sebuah club di jakarta, dulu saya memang sengaja menjebak shaka agar dia tidur bersamaku, karena aku tau uang yang dia miliki sangat banyak. Hahahahahaha."

Untuk kedua kalinya wajah mulus itu tertoleh kesamping. "Jangan cuma tampar saya, sekalian saja bunuh."

Tawanya kembali terdengar setelah mengucapkan kalimat itu, dengan kasar tangannya mengusap pelan sudut bibirnya yang mengeluarkan darah. "Dan asal kalian tau, anak ini entah milik siapa. Banyak yang memasuki lubangku."

"Menjijikan." Tangan ayah kembali terangkat, tapi kali ini papa langsung menghalanginya.

"Shaka, ceraikan perempuan murahan ini!" teriakan mama menggelegar.

"Mama." Aku menggeleng sambil menatap mama penuh permohonan, tapi wanita itu tidak menggubris.

"Anak saya bukan wanita murahan." Dengan berlinang air mata, bunda maju di hadapan mama.

Radza kembali tertawa. "Drama, drama dan drama. Aku lelah, jika memang tante ingin Shaka menceraikanku, maka dengan senang hati saya menerimanya."

Aku menggeleng. "Tidak akan."

"Ceraikan dia atau kamu pergi jauh dari sini? Semua fasilitas kamu mama ambil, dan silahkan kalian berdua menjadi gelandangan bersama anak haram."

"Tutup mulut, tante. Bukan dia yang haram tapi saya." Semua langsung membisu ketika Radza membela janin dalam perutnya.

"Shaka, ayo pulang. Papa yang akan mengurus surat perceraian kamu."

Kulepaskan pelan genggaman tangan Papa. "Maaf, Pa."

Setelah itu kuambil tangan Radza sebagai gantinya. "Ayo Radza, kita pergi."

"Gila kamu, Shaka! Anak di dalam perutnya itu bukan milikmu, untuk apa kamu bertanggung jawab!"

"Aku tidak peduli, Ma." Dan mulai malam itu, kami resmi ditendang dari keluarga masing-masing.

*

"Malam ini kita tidur di hotel saja, besok baru cari kontrakan," ujarku di sela-sela perjalanan kami.

"Masih pegang uang?" cicit Radza pelan.

"Ada, tapi nggak banyak. Habis ini harus cari kerja, nanti coba ambil semua berkasku di rumah," balasku dan Radza mengangguk.

"Aku juga akan kerja," ucapnya pelan.

"Kerja apa?" tanyaku.

"Apa saja yang penting bisa untuk makan."

"di club?" tebakku.

"Tidak, aku takut bayiku---"

"Aku sudah buat janji malam ini dengan salah satu dokter untuk aborsi." jelasku. "Tapi sepertinya kita tidak bisa datang. Jadi besok akan aku carikan lagi." Tidak ada jawaban, perempuan itu diam sambil terus berjalan.

"Shaka, kenapa kamu tidak mendengarkan kata orang tuamu?"

"Kenapa juga kamu mengakui kesalahanku, pahadal aku tau bahwa kamu sama sekali tidak tau akan rencana aborsi malam ini? Dan menjebakku? Kamu malam itu mabuk, aku tau. Tapi tadi kamu mengaku, bahwa kamu menjebakku agar aku bisa menikahimu, padahal nyatanya tidak, kenapa?"

Tidak ada jawaban, perempuan itu hanya diam sambil terus berjalan. Lalu keheningan itu terjadi sepanjang perjalanan.

**

Aku tersenyum getir mengingat hal itu, dulu semua tampak indah, walau kami hanya tinggal di sebuah kontrakan kecil satu kamar. Bahkan satu bulan setelah kejadian itu, aku membawanya ke dukun aborsi, semuanya juga masih tampak sama walau dirinya sempat mengamuk hebat, setelah tau aku akan merenggut bayinya.

Radza hanya meminta, agar anaknya bisa lahir ke dunia, walau awalnya aku menolak mentah-mentah tetapi setelah perdebatan panjang yang kami lalui, akhirnya aku mengalah. Toh dia berkata setelah itu akan memberikan anaknya pada orang lain, walau aku tidak yakin ada yang mau menerima anak cacatnya.

Sampai malam itu, ketika suara bayi terdengar nyaring di telingaku dan beberapa dokter berlarian ke arah ruang bersalin. Saat itu juga kenyataan seperti menamparku habis, Radza koma dan semua tim medis angkat tangan, meninggalkanku berdua bersama bayi mungil itu. Tidak ada pilihan lain, dengan perasaan berkecambuk, akhirnya aku menyingkirkan bayi kecil Radza.

Delapan bulan berlalu dan keajaiban itu akhirnya datang. Radza membuka mata dan akhirnya mengetahui semuanya. Perempuan itu jelas saja mengamuk hebat, setelah tau bahwa putrinya sudah aku singkirkan. Dan sejak saat itu semuanya berbeda, Radza berubah seratus delapan puluh derajat. Perempuan itu terlihat sangat membenciku.

Hubungan kami berdua menjadi sangat buruk. Dan entah kenapa saat aku menawarinya untuk ikut pergi ke Amerika karena aku mendapatkan tawaran pekerjaan di sana, perempuan itu tidak menolak sama sekali, dia hanya diam dan segera mengemas seluruh barangnya. Di sana Radza bekerja di sebuah butik ternama, karena kemampuan design-nya yang terbilang cukup menarik. Uangnya dia gunakan untuk melanjutkan kuliah dan sekarang perempuan itu sudah memiliki butik sendiri, luar biasa bukan?

Selama enam tahun hubungan kami tetap dingin bagaikan es yang tidak mau mencair, tidak ada kebahagiaan sama sekali. Kami hanya bersama saat di ranjang, sifat Radza yang sangat dingin membuatku tidak bisa berbuat apapun. Dia yang selalu membangkang bahkan selalu diam saat kami bercinta, tidak pernah ada desahan lagi yang keluar dari mulutnya.

Dia yang selalu pergi ke club sampai lupa waktu, dia yang selalu minum win tanpa batasan, dia yang hampir setiap malam menangis di kamarĀ  mandi atau dia yang selalu mengigau nama Ayra disetiap tidurnya?

Kami memang terlihat hidup bersama, tapi kenyataannya ada batas tak kasat mata yang memisahkan kami berdua.

Sampai pada akhirnya, hari ini aku mengetahui dua fakta sekaligus. Pertama tentang Ayra yang ternyata adalah putriku, memang sejak awal aku sudah curiga tentang hal itu.

Terlepas dari jarangnya aku memakai pengaman saat bercinta dengan Radza, sampai ketika aku menatap mata bulat bayi kecil itu saat aku mengadzaninya untuk pertama kalinya, enam tahun lalu.

Tapi anak siapa pun itu, aku tidak terlalu peduli karena nyatanya aku tidak menyukai dunia anak-anak yang terkesan polos. Mungkin keterkejutan itu ada saat Radza memberitahuku tadi, tapi itu hanya berlangsung sebentar, karena nyatanya aku lebih terkejut saat mengetahui sejak menikah perempuan itu hanya bersetubuh denganku.

Tapi Fakta yang kedua tentang penyakit Radza, itu benar-benar tidak kusangka, wanita itu memang pintar sekali bersandiwara.

*

"Pyarr, Brughh."

Suara kaca yang pecah menyadarkan lamunanku, kulihat Radza yang ikut terjatuh diantara pecahan kaca yang berceceran, dengan tongkat penggantung infus yang ikut menjatuhinya. "Aduh."

Aku bangkit tergesa, lalu membantunya bangun. "Kenapa kamu ceroboh sekali?"

"Aku haus," jawabnya singkat.

"Kenapa tidak meminta tolong?" Kubersihkan beberapa pecahan kaca yang menempel pada bajunya. "Simpan gengsimu, Radza. Jangan bersikap seolah kamu baik-baik saja!"

Aku hampir saja terpleset, saat sebuah tangan mendorongku ke belakang. "Walau sekali pun aku sekarat, aku tidak sudi meminta tolong padamu."

"Kalau aku berkata bahwa Ayra masih hidup, apa kamu tetap tidak butuh bantuanku?" tanyaku tanpa bisa dicegah.

"Jangan pernah bermain-main dengan nyawa, Shaka!" Tarikan kasar pada kerahku hanya kubalas dengan ringisan, merutuki mulutku yang tidak bisa diajak berkompromi.