Chereads / Bedbrother / Chapter 3 - 3. Ciuman

Chapter 3 - 3. Ciuman

Aku sendirian. Entah sudah berapa lama tertidur di sini. Seluruh tubuhku terasa sakit. Aku bangkit, lalu berjalan tertatih ke kamar mandi.

Kulihat pantulan diriku di cermin—sangat menyedihkan. Dia meninggalkan banyak bercak merah keunguan di tubuhku, pergelangan tanganku memar, begitu juga pipiku. Ya ... dia tadi menamparku.

Air mataku kembali menetes, entah disebabkan luka fisik atau karena kecewa yang mendera. Aku merasa begitu kotor dan hina. Bagaimana dia bisa memperlakukanku seperti itu?

Dia pernah berkata akan selalu menjagaku sampai aku menemukan kebahagiaan. Akan melakukan dan mengorbankan apapun demi aku. Namun, kenyataannya dialah yang menyakitiku begitu dalam.

Aku ingin mengakhiri hidupku sekarang juga. Untuk apa lagi hidup jika seseorang yang menjadi cinta pertamaku malah menghancurkan harga diriku? Aku mencari gunting, silet, pisau, atau apapun yang bisa kugunakan, tetapi tidak ada.

Aku keluar lalu mengenakan salah satu pakaian yang ada di lemari—sebuah gaun tidur, entah milik siapa. Lebih baik daripada tidak sama sekali. Aku menghampiri pintu, berniat pergi dari tempat terkutuk ini, tetapi terkunci. Akhirnya, aku hanya bisa kembali meringkuk di ranjang.

Air mataku tumpah. Kenapa ini terjadi padaku? Mengapa kakakku berubah? Di mana kakak yang senantiasa melindungiku? Yang selalu berusaha membuatku tersenyum? Aku menangis dan terus menangis sampai kemudian terlelap.

Aku merasakan seseorang menyentuh wajahku.

"Dek, bangun!"

Suara Bang Dika mengalun lembut. Bang Dika yang biasa—kakak kesayanganku. Aku masih terpejam dan tidak berniat untuk membuka mata—belum ingin berbicara dengannya.

"Dek, maaf udah nyakitin lo sampe begini. Gue nggak tau kenapa, tapi gue ngerasa nggak suka liat lo deket-deket cowok lain. Gue nggak rela lo ngasih senyuman lo buat cowok lain."

Cuma gara-gara itu? Kenapa nggak ngomong baik-baik? Kenapa malah berbuat seperti itu sama aku?

"Gue tau lo ngerasa kecewa. Lo boleh marahin gue, lo boleh bales mukul gue, maki-maki gue, tapi jangan diemin gue—jangan benci gue. Gue nyesel, Dek," sambungnya.

Kurasakan ada sesuatu yang menetes ke wajahku. Pertahananku runtuh. Aku membuka mata dan kulihat dia tengah menangis.

"Abang nangis?" kataku lirih.

Dia cepat-cepat menghapus air matanya kemudian menggeleng. "Maafin gue yang udah jahatin lo. Abang nyesel."

Aku tak menjawab dan tetap memasang wajah datar.

"Ikan hiu makan tomat, Abang udah minta maaf sama kamu, tapi kamunya bodo amat."

Aku menggigit bibir, berusaha untuk tak tersenyum. Tidak, aku tidak boleh menunjukkan kalau aku sudah memaafkannya.

"Dek?" Bang Dika mencolek lenganku.

Aku menoleh, memasang wajah malas. "Apa?"

Dia mengacungkan jarinya, lalu bertanya, "Ini namanya jari apa?"

"Jari kelingking," jawabku tak acuh.

"Kalo ini?"

"Jari manis."

Bang Dika menggeleng. "Salah. Ini jari doang, karena manisnya udah di Adek."

Mau tak mau, aku tersenyum.

"Receh banget, Bang," kataku dengan tawa bercampur tangis.

Air mata Bang Dika kembali menetes. "Demi dapetin maaf dari Adek, apapun bakal Abang lakuin. Jangankan bikin gombalan receh, minta maaf lewat live IG juga bakal Abang lakuin. Lo maafin gue, 'kan?"

"Nggak," kataku.

Wajahnya langsung berubah muram. "Kenapa? Gue harus lakuin apa biar dapet maaf dari lo? Lo minta apa, Abang beliin. Lo minta liburan ke mana, Abang turutin. Yang penting lo nggak ngambek lagi."

Aku menggeleng. "Naa nggak minta apapun, cuma kepingin Abang balik kayak dulu. Jangan kasar, jangan bentak-bentak Naa. Naa takut," kataku terisak.

Bang Dika mengangguk, ia memegang tanganku kemudian mengecupnya. "Iya, gue janji nggak akan ngulangin lagi. Maaf udah bikin lo takut."

"Satu lagi, ijinin Naa bergaul di luar jam sekolah. Naa juga kepingin kayak yang lain. Jalan, nonton, belanja sama temen-temen. Boleh, nggak?"

Aku ragu Bang Dika akan mengabulkan permintaanku, karena sudah beberapa kali mencoba, ia tak pernah mengizinkannya. Jika kali ini dia menolak, aku tak lagi terkejut. Dia diam cukup lama. Kupikir akan menolak, tetapi kemudian mengangguk.

"Iya, boleh, tapi ijin dulu, biar Abang nggak khawatir," katanya, kemudian mengecup keningku.

Aku mengerjap tak percaya. "Beneran boleh, Bang?" tanyaku terperangah.

Bang Dika tersenyum. "Iya. Asal nggak sering-sering, nggak apa-apa."

Aku bangun, kemudian memeluknya. "Makasih, Abang. Naa sayang banget sama Abang," kataku kemudian mengecup bibirnya. Saat hendak menarik diri, dia menahan leherku.

"Boleh, nggak?"

Aku menggeleng—menutup mulut menggunakan tanganku sambil terkikik.

"Please, dikit, Naa. Yaa? Kiss doang, janji," katanya sembari mengacungkan dua jari membentuk huruf V.

"Nggak," kataku tergelak.

Aku memekik ketika dia menarikku. "Sakit, Bang," keluhku.

Bang Dika membelalak melihat luka di pergelangan tanganku. Dia langsung mengambil kantong plastik yang ternyata berisi salep, kemudian mengoleskannya ke seluruh luka di tubuhku.

Bang Dika menatapku iba. "Tahan, Dek. Ini perihnya bentar doang, kok. Nanti pasti sembuh. Ini salep mahal, pasti ampuh," katanya penuh keyakinan.

"Abang udah kayak sales salep," cibirku sambil terkekeh.

"Aduh, cakep bener cayangnya Abang kalo lagi senyum. Senyum lagi, Cayang?" Bang Dika berbicara sambil memanyunkan bibirnya seperti sedang ngobrol dengan anak kecil.

"Jangan masang muka kayak gitu, Bang! Jelek!"

Dia menegakkan tubuhnya, kemudian berkata, "Enak aja! Nggak ada sejarahnya seorang Swarga Mahardika keliatan jelek. Lagi ngiler aja masih ganteng," katanya jemawa.

Aku hanya mendengus, lalu tersenyum kecil.

"Gue sayang sama lo, Dek."

Aku terdiam. Rasa sayang sebagai apa? Kakak-adik? Tidak! Aku tak menginginkan itu. Aku mau dia menyayangiku sebagai laki-laki terhadap perempuan, bukan kakak kepada adiknya.

***

Aku ingat betul kapan hubungan kami mulai tak sehat. Waktu itu, usiaku bahkan baru menginjak enam belas tahun. Aku dan Bang Dika hanya berdua di rumah. Ibu dan Mbak Lana sedang pergi ke Bandung. Sebenarnya, aku sudah merengek untuk ikut, tetapi karena kegiatanku sudah mulai padat menjelang ulangan semester, Ibu tidak mengijinkan.

"Bang ...." Aku mengetuk pintu kamar Bang Dika.

"Masuk aja, Naa! Pintunya nggak dikunci, kok," sahutnya dari dalam.

Aku masuk dan langsung terbatuk-batuk. Kamar Bang Dika dipenuhi asap rokok. Aku mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah—berusaha menghalau aroma rokok.

"Abang jorok, ih!" kataku mencela.

"Etdah, ini bocah! Dateng-dateng ngajak brantem!" sahutnya sengit.

Aku mengacuhkan perkataannya dan melangkah riang ke arahnya, kemudian mengempaskan tubuh di samping abangku itu.

"Naa bobo sama Abang, ya? Takuuut ...." kataku sambil mengerucutkan bibir.

Bang Dika sibuk mengisap rokok, matanya terfokus ke layar laptopnya. "Seraah ...." katanya tak acuh.

"Baang ...." Aku mengguncang tubuhnya.

Dia menghela napas, kemudian menatapku kesal. "Ada apa, Siena Pramesti Mekarsari Kusuma Dewi Harum Mewangi Sepanjang Hari?"

"Beteee .... Dari tadi Abang nyuekin Naa mulu. Nonton apaan, sih?" Aku berubah posisi menjadi tengkurap. "Minggir, dong, Bang! Biar Naa bisa ikutan nonton," kataku sambil mendesak Bang Dika. Meski sambil menggerutu, tetapi dia bergeser juga.

Kami tak saling bicara, fokus pada film yang diputar. Film itu bercerita tentang pertarungan robot-robot dari luar angkasa yang dibantu oleh sepasang remaja manusia.

"Abaaang ... malu, ih!"

Aku memekik ketika terjadi adegan ciuman. Namun, kalau dipikir-pikir lagi, sungguh tidak masuk akal. Sempat-sempatnya mereka ciuman di tengah-tengah perang—saat berada di antara hidup dan mati.

Bang Dika justru tertawa melihat tingkahku, lalu berkata, "Siapa suruh ikutan nonton? Ya, udah, tidur aja sono! Udah malem juga, besok lo mesti sekolah."

Aku bergeming. Meskipun merasa malu sendiri melihat adegan itu, tetapi aku penasaran dengan akhir ceritanya. Saat itulah setan masuk ke otakku.

"Bang, emang ciuman enak, ya? Jadi pengen ngerasain," kataku tanpa berpikir.

"Abang punya pacar, 'kan? Pasti pernah ciuman, deh! Abang pacarannya yang model syar'i—nyenggol dikit langsung istighfar. Atau, yang liat kebon kosong langsung buka lahan? Tebar-tebar benih, bercocok tanam gitu?" cerocosku panjang lebar.

Bukannya menjawab, Bang Dika justru menoyor kepalaku sampai aku terjengkang ke kasur. "Anak kecil nggak usah mikir yang nggak-nggak! Mens aja belom, udah mikir pacaran!" omelnya.

Kulihat wajahnya memerah.

Aku bangkit—berdiri di tempat tidur, kemudian berkacak pinggang. "Walaupun baru mens, tapi umur Naa udah cukup buat tau yang begituan, Bang. Abang jangan ngeremehin anak jaman sekarang. Temen Naa aja udah pada punya pacar. Naa juga kepingin, tau!" kataku menggebu-gebu.

"Ayolah, Bang, jawab! Abang pacarannya yang model apa? Jingga juga udah punya cowok, Bang. Asik kali, ya? Malem minggu ada yang ngapelin, jalan-jalan, ciuman. Pasti—Abaaang!"

Guntur menggelegar, listrik seketika padam sehingga keadaan gelap gulita. Hanya cahaya dari layar laptop menjadi satu-satunya penerangan. Aku memeluk erat Bang Dika dengan tubuh gemetar.

"Bang, takut," kataku lirih.

Di luar, cahaya petir berkilat-kilat membuat keadaan terang diikuti suara yang membuat rumah seperti bergetar, hujan semakin deras disertai angin. Aku mengeratkan pelukan, sedangkan Bang Dika menggumamkan kata-kata untuk menenangkanku.

Listrik tak kunjung menyala. Dan hujan tak kunjung reda.

"Dek, udah, sih, jangan nangis! Kan, ada Abang," bujuk Bang Dika frustasi.

"Naa takut, Bang. Naa mau Ibu."

Tangisku semakin kencang membuat Bang Dika kalang kabut. Tiba-tiba, dia memagut bibirku—aku terdiam seketika. Ciumannya begitu lembut dan menghanyutkan, aku tergoda untuk menutup mata—menikmati setiap sesapannya. Beberapa menit kemudian, ia melepaskan tautan bibir kami.

"Napas, bego!" omelnya.

Aku tersengal, kemudian berusaha menghirup oksigen sebanyak mungkin untuk mengisi paru-paru. Sepertinya kami berciuman cukup lama. Dalam keremangan cahaya dari ponsel, aku melihat senyumannya.

"Gimana? Masih takut?" tanyanya sembari menghapus sisa air mataku.

Aku hanya mengerjap, masih setengah sadar karena serangan mendadak tadi.

"Enak, Bang. Lagi," kata itu keluar begitu saja dari mulutku, membuat Bang Dika tergelak.

Sesaat kemudian, aku merutuki kebodohanku mengatakan hal itu. Dalam hati, aku bersyukur karena listrik belum kembali menyala, sehingga tak perlu bersusah payah menutupi wajahku yang pasti sudah semerah tomat busuk.

Tawanya berhenti. Dia menangkup wajahku dengan kedua tangan, lalu berkata, "Gue bakal ajarin ciuman, tapi lo mesti janji nggak bakal mikirin pacar-pacaran, jangan biarin cowok lain deketin apalagi nyentuh lo, dan ... jangan ngomong sama Ibu."

"Kenapa nggak boleh bilang sama Ibu, Bang?" tanyaku bingung.

"Nanti Ibu bisa marah. Kita sembunyi-sembunyi aja, ok?"

Sebagai remaja polos yang baru menginjak usia enam belas tahun, aku hanya mengangguk dengan patuh. Apalagi, Bang Dika menyebut-nyebut Ibu, tentu saja aku semakin takut. Malam itu berlalu dengan kegiatan kami yang saling melumat dan menyesap satu sama lain. Ralat, sebenarnya abangku yang lebih dominan, sih.