"Apa yang kamu lakukan?" lirih gadis mungil itu. Segera dia menghampiri Revan yang menahan matanya agar tidak terpejam menuju pingsan.
"Kenapa diam saja? bantu aku membawanya kerumah sakit" teriakan penuh amarahnya bercampur panic.
Randi segera membuka pintu mobil bagian belakang, membantu mengangkat dan membaringkan Revan. Aku termangu, kukira dengan melakukan itu membuatku tertawa senang. Salah besar. Aku ketakutan setengah mati. Pikiranku berkecamuk.
"Ya?" jawabku terkejut mendengar Randi memanggil-manggil ku sedari tadi.
Tak henti-hentinya aku memperhatikan bagian belakang melalui kaca spion dalam. Terlihat gadis itu menangis dalam diam, menahan suara agar tak terdengar oleh kami. Sungguh aku merasa bersalah, mengingat Nadya menyukai Revan. Tetapi aku telah merusak nya.
Dengan sigap petugas serta perawat menangani nya. Setelah Revan memasuki ruangan untuk melepaskan anak panah, Nadya menghentikan langkah. Aku tidak tahu kenapa.
"Loh. Nad. Kemana?" tanyaku saat melihatnya menjauhi ruangan itu. Aku menangkap tangannya, seperti yang sudah-sudah, tanganku langsung ditepisnya.
"Kenapa tidak menunggunya? Jangan biarkan dia jadi bajingan yang tidak tahu terima kasih" kesalku.
"Tolong jangan beritahu apapun padanya. Aku sudah berjanji tidak akan menemuinya lagi" aku gadis mungil dihadapanku ini.
"Bisa kamu beritahu aku sedikit saja?" pintaku lembut. Ia terdiam sejenak. Aku tahu dia ragu untuk membicara kan nya.
"Aku melakukan kesalahan besar saat kami kecil. Aku membuatnya kecelakaan dan trauma hingga sekarang. Kejadian nya sama, aku juga telah menusuk lengannya dengan benda tajam" ia menunduk menunjukkan kesedihan dan kesalahan. Aku hanya diam, tidak bisa berkata. Apalagi sekarang aku telah mengingatkan nya masa menakutkan.
Tanpa kusadari Nadya sudah menjauh, aku menatap punggungnya yang semakin mengecil akibat jarak.
Kilas balik selesai…
***
Revan melamun saat berkendara, memikirkan kebodohannya sendiri. Tidak bosan ia mengeluh akibat keegoisan nya yang mendarah daging.
Seharusnya ia bersyukur telah dipersatukan dengan perempuan nya sejak kecil. Entah energy jahat apa yang memasukinya sehingga bisa melupakan Nadya semenjak pertemuan dengan Rea.
Dan mengapa ia tidak menyadari jikalau itu Adit yang sama. Ia tidak sampai kesitu, sebab terlalu keras memaksa kan otaknya melupakan Nadya dan kejadian waktu itu.
Sangat terburu-buru ia mengetuk pintu rumah dengan keras, membuat Nadya terkejut. Tidak biasanya ketukan nya sekeras ini. Nadya menatap nya bingung. Baru saja ia membuka pintu, Revan langsung memeluknya erat dan menggumam kan kata 'maaf'.
"Bodoh sekali aku, Nad. Sungguh bodoh. Bagaimana bisa aku tidak tahu hal itu. Aku terus membenarkan apa yang kulihat" pelukannya semakin erat hingga Nadya merasa sesak.
"Ka-kak" lirihnya tercekat. Revan melepaskan pelukannya.
"Maaf kan aku. Maaf kan aku" Revan berlutut, menyesali kejadian masa lalu.
"Untuk apa?" Nadya terkejut.
"Adit sudah menceritakan kebenaran nya, masalah saat disekolah dulu. Aku tidak ingin mengingat nya lagi" ia meraih tangan Nadya lalu mengecupnya pelan.
"Semua orang pernah melakukan kesalahan, bukan? Berhenti menyalahkan dirimu. Lagipula kejadian itu sudah lama. Kejadian yang sama-sama tidak kita mengerti-" tuturnya terjeda, menahan sesaknya dada.
"Tidak perlu diungkit lagi. Yang jelas aku mencintaimu istriku. Kumohon lupakanlah masa lalu kelam itu. Ayo bahagia dengan keluarga kecil kita. Bersama Revan dan Nadya junior" ia bersungguh-sungguh dengan mata berkaca-kaca penuh haru mendongak menatap lekat wajah istri nya.
Nadya meneteskan air mata mendengar pengakuan Revan, suaminya. Ia menghambur memeluk suaminya yang berlutut.
"Mari kita bahagia" ucap Nadya disela tangisannya.
Keinginan terbesar setiap pasangan adalah kebahagiaan. Kebahagiaan yang menyelimuti terasa hangat, sebagaimana mentari bersinar namun cahaya nya tidak menyengat menyakiti makhluk-makhluk bumi, sebab awan yang menampungnya.
Menguraikan pelukan yang tak ingin cepat berlalu, rasa lapar cukup mengganggu suasana.
"Masak apa hari ini? Aku lapar, aku juga sangat ingin disuapi mu" manjanya. Revan mulai menunjukkan sifat aslinya yang senang dimanja.
"Dengan senang hati" sambutnya dengan senyum manis, menambah berbunga nya hati seorang Revan.
"Kenapa kamu suka sekali memakai baju tidur batik itu?" penasaran Revan belum terpuaskan karenanya. "Kamu tahu? Baju itu mengekpos seluruh tubuh mu. Aku jadi bisa menerawang nya meskipun terhalangi corak itu" ucap nya tanpa ragu. "Sayangnya aku sedang letih. Kamu aman malam ini" seringainya.
Makanan yang disediakan tak bersisa dari piring. Nadya mengangkat dan menaruh piring ketempat nya, ia sibuk mencuci dan menata piring, Revan mendekat memeluknya dari belakang dengan tangan melingkar sempurna dipinggang kecil istrinya.
Nadya merasa terganggu, membalik kan tubuhnya. Tangan terangkat mengelus rahang dan wajah putih Revan.
"Aku tidak tahu kedepan nya akan terjadi apa. Yang jelas aku tak ingin kehilangan wajah tampan ini" ungkap Nadya tanpa sadar sambil menatap wajah yang disayangnya.
"Tampan?" tanya Revan pura-pura tidak tahu. Nadya tergagap, ia salah bicara. Ia sadar kalau ini bukan mimpi.
Nadya segera membalikkan lagi tubuhnya, dengan sigap menata sisa piring tadi. Berharap Revan tidak mendengar perkataan nya. Jika mendengar, berharap melupakannya.
"Hei. Aku tampan?" nadya masih tak berucap. "Nad. Suami mu bertanya loh. Aku cuma butuh pengakuan" masih saja Nadya diam.
Revan melepaskan pelukannya, memilih duduk menunggu Nadya menyelesaikan pekerjaan disana.
"Kok lama sekali? Kulihat piringnya tidak terlalu banyak" protes laki-laki sedang duduk itu.
Sedari tadi Nadya menyelesaikan nya, hanya saja ia mencari-cari pekerjaan lain. Ia terlalu malu untuk berhadapan kembali dengan Revan.
Nadya mengintip kebelakang, Revan telah menumpukan kepalanya ke meja, ia sudah terlelap. Terdengar ucapan syukur seberang sana, Nadya berjalan bahkan berjinjit pelan, takut akan Revan terbangun.
Tepat saat melewati nya, tangan Nadya tertahan genggaman nya Revan. "Kemana? Kenapa tidak membangunkan ku?"
"Ah.. itu.. tidak mau…" belum sempat menyelesaikan alasan nya, Revan menarik cepat Nadya hingga terduduk dipangkuan nya.
"Apa sesulit itu mengakui nya, hm?" goda Revan mengelus rambut hitam istri nya. Nadya tidak bisa berkata apapun. Rasanya, degupan didada sudah tak terkira.
Baru saja Nadya membuka mulut dan ingin mengucapkan kata A dengan bergetar, Revan lebih dulu menyumbat dengan ciuman nya. Terdiam sempurna pemilik bibir tadi.
Kemudian melepaskan sebagai cela menarik napas. Revan kembali merengkuh penuh bibir itu. Mereka terbuai, menikmati setiap perlakuan, detik demi detik berlalu. Revan membawa istrinya ketempat selayak nya mereka melakukan itu. Benar, dikamar temaram milik mereka. Revan terus melakukan tugasnya dengan baik. Revan mulai melucuti apa yang terpasang pada tubuh nya dan Nadya.
Dibiarkan nya televisi ternyala diruangan santai tadi, mungkin hingga pagi televisi tetap mengobrol sendiri.
Melakukan bersama orang yang kita cintai merupakan anugerah. Keegoisan kapanpun bisa merajai tuannya. Jika tidak segera disadarkan, entahlah… mungkin satu persatu orang didekat kita perlahan menjauh.
"Aku mencintaimu, istriku"
Disaat itulah persatuan mereka terjadi.
Bisa dikatakan keberuntungan, mereka dipertemukan walaupun dengan cara pemaksaan. Juga kepicikan kedua orang tua mereka. Atau bahkan takdir yang turut andil.
Harapan mereka hanya satu. Bahagia bersama selama-lamanya.