Riuh tepuk tangan serta euphoria keberhasilan sangat ditunggu-tunggu. Sayang nya cuma imaji manusia yang tidak tahu, kecuali para petinggi perusahaan.
"Saya telah menerima hasil penjualan kita dua hari yang lalu. Penjualan tidak mencapai target, bahkan untuk mencapai 1% pun sulit sekali" dengan gagahnya Revan berdiri didepan, menampilkan grafik pada layar proyektor serta raut kesedihan turut andil menghiasi wajahnya.
"Waktu yang kita berikan pun sudah lebih dari cukup. Jadi, untuk produk terbaru ini kita hentikan produksinya" Seketika ruangan itu hening, anggota yang hadir tak berkutik. Semuanya tampak bingung, juga menebak-nebak. Sang pewaris akan melanjutkan perannya atau hanya sebatas ini.
"Saya rasa tidak ada hal lain yang perlu disampaikan. Terima kasih telah membantu selama saya disini" kalimat yang diutarakannya seperti kalimat perpisahan. Revan berjalan meninggalkan ruangan tersebut diikuti Adit selaku sekretaris.
"Ada masalah?" Adit bersikap seolah memahami situasi.
"Tidak. Aku hanya menyampaikan apa yang patut disampaikan" sangkal Revan yang memijit pelan pelipisnya.
"Hei. Ayolah. Kenapa kamu sangat susah berbagi masalah kepada orang disekitarmu? Aku juga teman mu asal tahu saja" Adit sedang duduk santai disofa ruangan itu. Sembari membolak-balikkan buku yang tersedia disana.
Revan tidak menanggapi Adit mengoceh sedari tadi, apalagi menjawab pertanyaan tidak penting menurutnya.
"Van. Revan!" suara Adit sedikit berteriak memanggil seseorang yang duduk dibalik meja didepannya. "Baiklah. Mulai saat ini tidak perlu hubungan pertemanan lagi. Kita hanya bicara seperlunya saja, itupun hanya membahas pekerjaan. Dan kurasa kamu tidak membutuhkan bantuan ku" terlihat ada kejengkelan dibalik perkataannya.
Adit telah memunggungi Revan, melangkah keluar begitu saja. Adit berpikir Revan akan menghentikannya, lalu berbagi kisah dan bahagia. Terkaan yang salah besar, padahal ia tahu betul temannya sejak SMA, mempercayai apa yang ia lihat.
"Bagaimana aku bisa menggantikan posisi papa. Pekerjaan yang ia percayakan padaku ini pun gagal total" keluhnya sendiri. Setelah tidak ada kehadiran nya Adit.
Ia beranjak dari kursi yang didudukinya, berdiri didekat jendela kaca, menatap keluar. Melihat orang-orang berlalu lalang sibuk akan pekerjaan disana.
Revan : Hari ini jam berapa pulang?
Sebuah pesan ia kirimkan pada seseorang yang disebutnya istri. Entah mengapa, hanya jika mengingat nama Nadya menumbuhkan kepercayaan atas dirinya.
Nadya : Seperti biasa. Ada apa?
Revan : Nanti aku kesana menjemputmu. Jangan kemana-mana sebelum aku tiba.
Nadya : Baiklah.
"Seperti biasa, kenapa kamu sangat penurut sih?" ucapnya tanpa sadar. Diiringi senyumnya yang merekah.
***
Menikmati sumilir angin menerpa wajah narsis Adit sangat menenangkan, mengurangi kekesalannya terhadap teman atau lebih pantas disebut sebagai atasan. Toh Revan tidak menganggapnya sebagai teman.
Sendiri lebih baik ditaman ini, hanya saja ia tidak sadar dibelakangnya ada seorang perempuan berdiri menatap punggungnya yang terbalut kemeja bergaris horizontal.
"Permisi tuan. Apa ini uangmu? Sepuluh ribu lumayan, masih bisa buat satu kali sarapan, bukan?" polosnya perempuan itu tanpa ragu, dan bisa dikatakan bagaimana mungkin ada orang yang sengaja menjatuhkan uang bahkan sepuluh ribu saja.
Adit tidak menghiraukannya tanpa menoleh kebelakang, ia pikir hanya anak remaja yang iseng tidak jelas.
"Permisi tuan. Saya harap anda menghargai niat baik saya" tukas perempuan manis itu.
Adit membalikkan tubuhnya dengan menahan kekesalan pada wajahnya, senyum paksa jurus satu-satunya sekarang.
"Maaf ya, dik. Saya tidak merasa uang saya jatuh. Saya jarang ada uang cash. Terima kasih" ucapnya berisi makna mengusir.
"Siapa yang anda bilang adik? Saya? Tuan kau tidak lihat wajahku sedewasa ini? Bahkan aku tidak jauh lebih pendek darimu!" ia tersulut emosi, bagaimana bisa perempuan dewasa dipanggil adik. Ia sangat tidak menerima itu.
Adit tercengang setelah apa yang terjadi, sebatas kata adik mampu menimbulkan emosi? Yang benar saja, apa ada orang seperti itu? Sangat aneh. Sejenak Adit terdiam, mencerna keadaan. Mungkin saja perempuan ini sedang masa Premenstrual Syndrome (pms) pikirnya.
"Baiklah berapa usiamu? Paling yah setahun dibawahku" terkanya penuh percaya diri.
"Hei tuan. Aku sudah dua puluh lima tahun. Sepertinya andalah adikku" ucapnya menindas. Menelisik dari atas ke bawah lawannya sambil bersedekap.
Adit tidak mempercayainya, ia tertawa getir. Ia dikalahkan? Tidak. Seorang Adit harus memenangkan argument ini.
"Aku akui, aku lebih muda darimu. Tapi anda tidak perlu memperjelasnya. Permisi" Adit berlalu meninggalkan nya dengan tatapan siap menikam siapapun.
"Hei tuan. Anda tidak membawa uang nya?" pertanyaan mudah tapi terdengar meremehkan.
Langkah gagah Adit terhenti, menghela napas dan menahan diri untuk tidak tersulut emosi.
"Tidak perlu. Ambil saja untukmu"
"Baiklah" sambut perempuan itu cepat.
Lagi-lagi Adit tidak bisa mempercayainya, perempuan itu kekurangan uang atau apa. Tanpa malu dia berkata 'baiklah' padahal Adit asal bicara.
Adit memutuskan kembali kekantor, sia-sia usaha menyegarkan jiwa ditempat yang berdominasi warna hijau. Bukannya jiwa segar yang didapat melainkan jiwa yang pudar.
"Tumben Adit menekuk wajahnya. Tidak seperti hari biasa, penuh kenarsisan dan kepedean" Revan bertanya-tanya sendiri. Tak sengaja ia melihat Adit disaat dia akan keluar gedung itu.
Adit memberhentikan langkahnya setelah tak sengaja melirik Revan yang mendekati pintu utama. Ia berlari-lari kecil menghampiri. Memanggil Revan tanpa embel-embel 'Pak'.
"Ada apa?" tanya Revan datar.
"Mau kemana? Belum jam pulang, kan?" menunjukkan arloji dipergelangannya pada Revan.
Revan tidak punya waktu jika untuk berbasa-basi, ia sangat tidak menyukainya. Tujuannya jadi terhambat gara-gara hal sepele.
"Hei tunggu dulu, Van. Ketidak pedulian mu semakin bertambah saja" kesal Adit.
"Makanya kalau ingin bicara langsung katakan. Jangan bertele-tele, urusan ku bukan kamu saja" ucapnya tanpa penyaringan.
Adit berdecak, masih saja Revan bersikap dingin padanya. Apa dia masih marah dengan kejadian masa SMA dulu, pikir Adit menebak-nebak.
"Kamu tahu toko bunga dimana?" tiba-tiba Revan bertanya hal itu.
Tentu saja Adit terkejut, ini bukan Revan ketus tadi kan. Revan yang seolah tidak butuh apapun dari orang lain. Terlihat senyum mengolok Adit berhasil membuat Revan salah tingkah.
"Tidak usah jawab. Aku bisa sendiri" Revan kesal lebih dulu. Ia tahu bahwa temannya ini mengejek habis-habisan. Baru dua langkah ia beranjak. Adit menahannya.
"Aku tahu tokonya. Sebelum pusat kota ada toko bunga 'Moon Flowers' sebelah butik muslim disana. Tidak terlalu jauh dari sini. Tidak sulit mencarinya. Disana juga ada bunga asli ada juga yang buatan. Semoga berhasil Revan tukang marah" goda Adit terhadap mantan rivalnya masa SMA.
Kemudian Revan segera mendatangi mobil hitam nya.
"Aku sarankan bucket yang raksasa ya" teriak Adit dari posisi awal mereka.
Revan menggeleng-gelengkan kepalanya pelan, tersungging senyuman saat memikirkan temannya yang aneh. Tetapi masih saja ia bersikap dingin.
***
Adit kembali masuk kedalam gedung, semangatnya bekerja sudah pulih. Mungkin efek mengatai Revan tukang marah tadi.
Seketika netranya menangkap seorang tak asing menunggu lift. Adit yang akan menuju ruangan Revan diatas, juga berjalan untuk menggunakan lift yang sama.
Mereka berdiri berdampingan, dan perempuan berlum menyadari siapa disampingnya ini. Adit berdehem, sontak perempuan itu menoleh.
"Eh, dik. Bukannya kamu masih kuliah? Kenapa berkeliaran disini?" polos perempuan itu bertanya. Ia memang benar-benar menganggap Adit lebih muda darinya, dan ia tidak tahu sebutan apa yang cocok dan pantas.
Wajah Adit merah padam menahan kekesalan. Tidak Revan tidak perempuan ini tetap saja membuatnya ingin meluap-luapkan kemarahan.