Melihat orang-orang berlalu-lalang saat sore di depan pagar panti ini, sudah menjadi hobiku yang kedua. Dari kebun di atas atap, terlihat pemandangan gedung utama pasar di depan mata, serta gedung lainnya di seberang sana yang terpisah oleh jurang berlantaikan air teluk. Sudah lama Jakarta tidak banjir lagi, karena sudah tidak ada tanah lagi.
Sebuah kota di atas air itulah julukannya. Beberapa tahun yang lalu permukaan air laut naik sampai 10 meter. Karena prediksi dan persiapan yang sangat baik dari pemerintah DKI saat itu, semua bangunan disini telah memiliki pondasi yang kuat menancap hingga 100 mdpl. Semua jalur transportasi telah digantikan oleh hologram raksasa yang sangat kuat. Jadilah seperti ini, terlihat seperti kumpulan bangunan tinggi yang hanya terpisah dengan air dan terhubung memakai hologram. Mungkin kalau dibutuhkan, ketinggian bisa ditingkatkan lagi. Keadaan Jakarta sebaik apapun tak akan berpengaruh terhadap kehidupan kami di panti Jigoku ini.
Manusia mengejar impian mereka dengan mempertaruhkan barang dagangan tiap harinya, harap-harap laris terjual, namun tak sedikit pula pedagang baru yang pulang dengan kegagalan karena belum berhasil. Terlihat umpatan kekecewaan saat mereka pulang lewat gang di samping panti untuk menuju halte terdekat.
Aku ingin sekali terbebas dari kurungan bangunan ini, namun belum cukup waktunya. Aku membayangkan apa yang kakak-kakakku (satu panti) lakukan ketika keluar dari panti saat berumur 17 tahun. Yah walaupun para pengasuh di panti ini hanya berbilang "mereka pergi mencari pekerjaan dan mencari penghidupan yang lebih layak". Hanya bersabar untuk menunggu, sambil mempertahankan diri yang penasaran ini itulah solusi sementaranya.
Adzan Maghrib telah berkumandang, seperti biasa anak-anak disuruh masuk ke dalam "rumah" begitu pun aku, harus meninggalkan spot kesayanganku di kebun itu. Kami terisolasi disini, para anak yatim. Dalam umurku yang beranjak dewasa, pikiran semakin terbuka. Keputusan Pasutri Korosu untuk menutup akses kehidupan bobrok pasar Tanah Abang dan memfasilitasi hidup para anak yatim itu dirasa benar sekali. Tak salah jika Panti Asuhan Jigoku yang didirikan oleh pasangan indo-japan itu mendapat rekor MURI sebagai panti asuhan terbaik sepanjang masa.
Kalau kubilang letak panti ini sedikit terpencil, dibelakang Pasar Blok G tanah Abang. Untuk mencapai disini perlu berjalan kaki sekitar 5 menit dari Jalur layang Kebon Jati. Seperti yang kubilang tadi, panti ini memiliki fasilitas. Fasilitasnya banyak sekali, mulai dari pendidikan ditiap tingkatannya, klinik tersendiri, minimarket sendiri, kolam renang sendiri, full akses internet 24 jam, dan banyak lagi yang tidak bisa kusebut satu persatu saking banyaknya. Area yang besar dengan fasilitas lengkap dapat membuat anak-anak betah dan tidak perlu ke dunia luar yang pergaulannya tak terkendali.
Tapi pernahkah anak-anak sepantaranku itu sepemikiran denganku?, apakah dibalik semua ini?, bukankah aneh hanya panti ini saja yang anak-anaknya tidak diperbolehkan keluar?, apa murni kebaikan pasutri sukses dengan riwayat yang tak jelas, atau mungkin sebab lain yang membuat tempat besar itu terpencil di tengah kebesaran Jakarta. Dari sistem pemasukan anak baru juga cukup aneh, hanya anak jalanan saja yang diperbolehkan. Sangat jarang anak baru masuk ke sini, di zaman yang makmur ini sudah mustahil menemukan anak jalanan seperti dulu.
Aku berkeinginan untuk menjadi seorang detektif kepolisian terkemuka bila besar nanti. Tentu saja dimulai dari hal kecil seperti menyelidiki kejanggalan panti ini.
Awalnya cuma penasaran karena tiba-tiba saat terbangun di kamar, ada buku yang tergeletak di atas meja. Seingatku tak ada apa-apa disana sebelum aku tidur. Buku tentang detektif itu kubaca juga dan membangkitkan minatku hingga saat ini. Aku tak peduli siapa yang memberikannya, yang pasti dia orang baik yang ingin membebaskan anak-anak dari sini juga. Sudah kucari tahu pun tetap tak ada yang mengaku. Sudahlah...
******
Sekarang sudah waktunya untuk Shalat Maghrib. Melepas nostalgia hal yang lalu dan bersiap merencanakan hari esok. Layaknya pesantren, kegiatan kami anak "panti" setiap habis berjamaah Maghrib yaitu tadarus Alquran. Ustadz disini juga memang dikhususkan untuk mengabdi pada panti. Disini juga terjadwal majlis-majlis kajian setelah isya. Sistem kajian disini sedikit unik, yang mana di satu saat dapat terjadi 5 kajian secara bersamaan dengan ruangan yang bersebelahan. Kajian disesuaikan dengan minat dan umur anak-anak. Setiap selesai kajian juga terdapat polling atau vote melalui link untuk tema kajian berikutnya di esok hari.
Hanya ada satu teman yang dapat kupercaya sepenuhnya disini, Rika namanya. Ya, tidak biasanya anak laki-laki punya teman perempuan yang cukup dekat. Cuma karena kita dipertemukan pada waktu dan nasib yang sama. Kami dibawa masuk oleh seorang pengurus panti ini. Kami ditemukan di dalam Pasaraya Tanah Abang, mungkin karena desas-desus itu benar ada yang melaporkan. Kehidupan kami sebagai gelandangan dan pencuri makanan terhenti saat itu.
Setelah masuk panti ini, kami masih berhubungan seperti dulu. Tiap malam sebelum tidur kami bertemu, entah dikamarnya ataupun kamarku. Aku atau dia suka curhat tentang masalah sehari-hari. Terkadang kudapati dia menangis mencurahkan isi hatinya. Hubungan kami sudah seperti adik kakak yang hanya dipisahkan oleh perbedaan umur 2 tahun.
Kini sudah malam, semua aktivitas terhenti. Seperti biasa, saat jam tidur tiba aku pergi ke toilet dulu. Aku juga selalu bersama Rika menuju toilet. Bukan berarti aku memiliki otak mesum, tapi memang dia takut gelap karena lampu dimatikan saat jam tidur. Dia juga tak masalah dengan itu, yang penting kan toiletnya terpisah.
Aku selalu menunggu Rika di depan kedua toilet itu. Secara kebetulan terdengar sebuah percakapan yang terdengar dari arah lounge tamu. Dari suara dan bayangan cahaya yang terlihat dari sebelah kiri, tampak jelas itu adalah Bu Korosu. Sambil bersandar ke dinding, aku menarik tangan Rika untuk bersandar juga. Dengan mengisyaratkan untuk diam dengan tanganku, dia ikut mendengarkan suara Bu Korosu sang pemilik panti dalam pembicaraan dengan seorang pria yang tak pernah ku dengar suaranya. Posisi toilet itu memang dekat dengan lounge, sehingga suara apapun disana dapat terdengar. Kupikir hanya pria biasa dengan paras yang tinggi dan ceking, tak kusangka, diakhir pembicaraan mereka, pria itu seperti mengeluarkan cakar dari punggungnya dan menusuk Bu Korosu. Walaupun cuma terlihat dari bayangannya saja, tetap terlihat menyeramkan.
usai percakapan itu terhenti, aku menarik tangan Rika dan berlari menuju asrama yang ada di ujung lorong itu. Kami sempat syok saat melihat peristiwa tadi. Tak ada sepatah kata lagi yang keluar hingga esok hari. Andai saja telepon pintar kubawa, pasti bayangan pria itu dapat dijadikan bukti gelapnya panti ini. Sudah kupastikan hipotesisku bahwa panti ini berhubungan dengan yang bukan manusia...
Kami berpisah di ujung lorong, aku ke kiri menuju kamar laki-laki dan Rika ke kanan menuju kamar perempuan. Aku akan mendiskusikan hal ini dengan Rika besok, untuk sekarang kita istirahatkan sejenak pikiran kita.