Chapter 2: Balas budi itu..
".. Jangan dikembalikan.."
.
.
Ina duduk di depan toko. Hari ini toko tutup karena ibu kosnya mendadak dipanggil lagi ke rumah sakit. Ina kurang tahu ada urusan apa yang membuat tiap tiga hari sekali ibu kos harus ke rumah sakit.
Bingkisan berwarna hitam itu tertulis merk barang yang tertera dengan tinta emas.
"… ini, Tunicca… bukannya ini merk mahal yah…" gumamnya.
Sebesar apapun keinginan Ina untuk memiliki sesuatu, bingkisan mahal ini terlalu berlebihan untuk satu malam saat itu.
…
Kenapa jadi ambigu kata-kata satu malam itu.
…
Di sudut pandangannya, Ina melihat sebuah mobil hitam berhenti tepat di depan toko. Ia mengenali seseorang yang keluar dari mobil tersebut. menurut Ina, Kemal cenderung memiliki pakaian serba hitam dan abu-abu kehitaman. kedua kalinya bertemu, ia juga memakai setelan gelap dengan syal dibagian kerah berwarna hijau. pria bernama Kemal itu juga berumur lima tahun lebih tua daripada Ina, sampai sini Ina belum tahu lebih dalam lagi selain sifatnya yang murah senyum dan baik.
hari ini ia memakai setelan jas dan kemeja yang dipakai berwarna hitam. Terdapat corak di kedua kerah lengan, corak itu memiliki warna yang sedikit berbeda dari hitam.
"Maaf, sepertinya tokonya tutup ya hari ini." Sapanya.
Ina membalasnya dengan senyuman kecil saja.
"Assalamua'laikum kak Kemal,"
Pemuda bernama Kemal itu membalas, "Wa'alaikumsalam, Ina." dan duduk di samping Ina.
Ina mengetahui Kemal sudah menatap bingkisan yang ia pegang dari tadi sebelum bertanya, "sedang menunggu seseorang?" tanya Kemal.
Ina mengangguk, "Iya, maaf sepertinya saya ada sesuatu yang ingin saya bicarakan dengan kak Kemal."
"boleh, ada apa?"
sebelum Ina menyodorkan bingkisan itu, setidaknya Ina ingin mengetahui kenapa pria ini terus memberikan bingkisan padanya. "Soal bingkisan, benar ini bingkisan dari kak Kemal?"
jalan saat itu sangat sepi. hanya suara angin melaju lambat di kompleks.
Ina tidak memberanikan dirinya menatap langsung pemuda yang ia kenal. ia menatap kearah bingkisan, mengamati bagian sepatu lalu kembali menatap bingkisannya.
Gugup.
Ina bimbang keputusannya untuk mengembalikan bingkisan apakah benar atau tidak, sopan atau justru sebaliknya.
"…Apa kamu tidak menyukainya?"
Sontak Ina mengangkat kepalanya yang tertunduk dan menatap pria berambut hitam itu.
"Tidak, tidak, bukan begitu. hadiahnya bagus, saya suka. Tapi, yang saya maksud, sudah tujuh bingkisan yang kak Kemal kirim. sebagai balas budi, bukankah ini terlalu berlebihan?"
"Syukurlah, aku memilih dengan menyesuaikan warna baju yang kamu kenakan saat kali pertama kita bertemu," sahutnya dengan nada gembira, tidak mengindahkan pertanyaan Ina.
Ina memberi senyum garing, pria ini masih ingat warna baju yang ia kenakan saat itu, Ina saja sudah tidak ingat saat itu memakai baju apa, apalagi sudah seminggu yang lalu.
"Jadi… soal hadiah, bingkisan ini. Saya bermaksud ingin mengembalikannya. saya senang ketika mendapat semua bingkisan yang kak Kemal kirim, tapi semakin lama saya rasa bingkisannya mulai terasa berlebihan dari sebelumnya." Ina memperhatikan bingkisan yang ia bawa. ragu-ragu apakah tidak apa Ina mengatakannya langsung. Ia mengangkat kepalanya lagi dan mendapati raut yang kali pertamanya ia lihat dari seorang Kemal.
"Ah…"
merasa bersalah sekaligus sedikit diluar dugaan, Kemal bisa berwajah melas asih rupanya. setahu Ina, dia memang pendiam, berhati-hati, murah senyum dan baik. tidak mungkin juga Ina menarik kata-katanya lagi. jika keadaan menjadi seperti ini, setidaknya Ina membawakan cemilan agar suasana tidak—
"Kalau begitu, apa baik-baik saja jika aku mengirimkan bingkisan seminggu atau tiga hari sekali?"
…
Ina menatap kosong ke depan. mencoba mencerna satu kalimat yang baru Kema lontarkan. bicara soal frekuensi kah,
Kemal tersenyum dan melanjutkan, "Maaf, seharusnya aku juga mempertimbangkan kapasitas kamar kos mu, pasti cukup menganggu ketika melihat kotak-kotak sebesar keramik lantai." tambahnya, "aku baca-baca di majalah, saat ini harga masker naik lagi. kalau mau—"
Ina segera menarik kain dari jas Kemal di bagian pergelangan tangan, agar tidak secara langsung memegang tangannya. ia menarik kain tersebut agar perhatian Kemal beralih padanya.
"Tidak. tidak, terimakasih. sungguh, saya ingin—" sebelum Ina menyodorkan bingkisan yang sedari tadi di pangkuannya, Ina segera menarik tangannya. tangan yang barusan ia pakai untuk memegang kain jas Kemal tiba-tiba disentuh oleh pemuda di depannya. walaupun Ina memakai baju dengan lengan panjang, tetap saja kontak antara lawan jenis yang bukan sedarah atau karena ikatan tidak boleh.
Menyadari Ina menarik tangan darinya, Kemal mengatakan, "Maaf…"
Mereka saling bertatapan sampai Kemal memberikan mimik wajah sayu namun tetap tersenyum pada Ina.
"…Jangan dikembalikan…" Kata Kemal.
nada yang digunakan seperti meminta tolong namun tanpa kata tolong yang terucap. Ina berhati berat untuk mengembalikan bingkisannya.
"Kalau begitu… jangan mengirim bingkisan… lagi? kita kan teman, balas budi cukup sekali, bukan?" sahut Ina, mencoba memperingan suasana berat diantara mereka berdua.
"Itu juga, maaf. bingkisan yang kuberikan tidak lebih dari keegoisanku.."
Kenapa jadi rumit sekali, pikir Ina. bukankah tinggal mengiyakan sudah cukup.
Merasa tidak bisa memproses lebih lanjut lagi pembicaraan ini, Ina akan mengakhirinya dengan ucapan maaf sudah mengganggu waktunya, terimakasih atas selama ini, berdiri lalu bawa bingkisan itu kembali ke kamar.
"kalau begitu, ini bukan balas budi namanya…"
"Eh? ya? gimana?" Ina merasa missed bagian kalimat itu.
Kemal tersenyum pada Ina, "sebut saja apa permintaanmu, selama dalam kemampuanku, akan kuberikan padamu."
…
Pagi itu dimulai dengan cuaca berawan sehingga ketika matahari mulai menampakan diri, sinarnya begitu silau dan suhu dingin yang sejak pagi dirasakan mulai hangat kembali.
Syukurlah, sepertinya hari ini tidak jadi hujan, pikir Ina.
Situasi yang tengah dialami Ina cukup unik, ia kesulitan menentukan apa yang harus dilakukannya, apakah Ina salah bicara pada Kemal sehingga ia mendapati dirinya kesulitan? inikah yang dimaksud teman-teman Ina, akibat berinteraksi terlalu sering dengan lawan jenis yang bukan sedarah daging Ina atau terikat ikatan resmi? Apalagi Ina tidak begitu mengenal dengan baik Kemal, Ina harusnya waspada ketika berada di sekitar orang asing.
Ina mengambil napas sebelum ditahan sebentar lalu dikeluarkan.
Baiklah, Ina ingin menyelesaikan dengan memakai cara tegas.
"Kak Kemal, saya yakin kita baru bertemu tiga kali termasuk hari ini. Bukankah normal jika saya merasa pertanyaan itu kurang sopan? Saya menerima bingkisan-bingkisan dari kak Kemal sebagai bentuk balas budi, bukankah itu sudah cukup. Maaf apabila saya lancang, tapi saya merasa tidak nyaman."
Ina segera berdiri, memberi terimakasihnya pada pemuda yang baru ia kenal lalu segera pamit kembali ke kamar karena ada urusan.
…
Ina berpikir saat itu, masalah selesai dan kedepannya tidak perlu berinteraksi dengan pemuda itu. merasa bebas namun ada sedikit perasaan tidak lega, seperti perasaan buruk yang belum terjadi. Seharian Ina berusaha menenangkan dirinya dengan menyibukan diri membersihkan kamar.
Benar saja perasaan Ina, ketika hari mulai menjelang sore. Ibu kosan, yang baru kembali dari rumah sakit, menghampiri kamar Ina dan membawa sebuah kabar yang cukup membuat pundung Ina.
Ibu kosan mengatakan bahwa ia akan menaikkan biaya kosannya. Ina harus membayar sejuta lebih untuk membayar sewa kamar mulai lusa alias bulan depan. Ibu kosan sebelumnya meminta maaf namun tidak bisa mengambil risiko ketika salah satu putranya masuk rumah sakit dan ditengah pandemi ini perlu adanya biaya kesehatan yang tidak bisa dikatakan murah.
Ina tidak bisa mengeluh lebih lanjut pada ibu kosannya karena Ina yakin ibu kosan tahu bahwa Ina tidak bisa pulang kampung. Peraturan pemerintah tentang larangan mudik pun belum diangkat dan tidak tahu sampai kapan. Sadar dengan kesulitan bersama, Ibu kosan menawari Ina untuk mengambil jalur belakang.
Sebuah solusi yang membuat Ina tidak bisa tidur semalaman.
…
To be continued…