Chereads / Restraining Heart -Menahan Cinta- / Chapter 4 - Chapter 4: Makan

Chapter 4 - Chapter 4: Makan

Chapter 4: Makan

.

.

"Sunnah dalam makan bersama adalah adanya perbincangan baik antar sesama."

.

.

Ina membuka matanya perlahan. hal yang pertama kali ia lihat adalah lampu yang menyala serta tiang infus.

Ia mengedipkan sejenak lalu menggerakkan jari jemarinya.

Ina pikir ia berada di rumah sakit. ia melihat tangan kirinya terpasang infus. setelah sadar, Ina berusaha bangun dari tidurnya. benar saja, ia berada di ruangan serba putih, AC menyala serta jendela yang terbuka. terdapat makanan yang telah disediakan rumah sakit serta buah di meja sebelah kasur.

tiba-tiba Ina mendengar suara yang memanggil namanya. suara yang Ia rindukan.

"Nak Ina!"

Ina menoleh ke arah pintu dan mendapati kedua orang tuanya berlari mendekap Ina.

Iya, sebuah dekapan yang sudah lama ia rindukan.

Ina memandang dari arah pintu, masuk seorang pemuda yang ia kenal. Ina tersenyum padanya.

...

Di ruang serba putih, Ina berbincang dengan kedua orang tuanya. Sudah lama ia merindukan pulang ke pelukan orang tuanya. Mungkin lebih tepatnya sudah setahun lebih Ina tidak pulang kampung.

Lebaran tahun kemarin Ina masih ada urusan penelitian dan pengabdian. lalu mulai awal tahun sampai bulan puasa, Ina sibuk dengan magangnya di rumah sakit. Sisa waktunya ia gunakan untuk menyelesaikan laporan karena adanya deadline yang terundur.

Ina tersenyum sambil mengusap air matanya, ia menatap lembut kedua orang didepannya

...

Ralat, lebih tepatnya ada lima orang yang duduk di sofa itu, termasuk Ina.

Ia menatap pemuda yang ia kenal telah banyak membantunya serta seorang pemuda berpakaian rapi dan serba hitam. Pemuda ini mengenakan kacamata dan ia tidak duduk melainkan berdiri di samping belakang Kak Kemal.

Merasa ditatap, pemuda berkacamata itu memberi hormat pada Ina berupa menundukan kepalanya secara sederhana

Kemal mengetahui interaksi bisu diantara Ina dan pemuda dibelakangnya. Dengan leluasa ia mengenalkan pemuda di belakangnya

"Maaf apabila terlambat mengenalkan, pemuda disebelah saya," pandangan Ina dan kedua orang tuanya tertuju pada pemuda berkacamata itu. "Adalah seketaris saya,"

Pemuda berkacamata itu maju dan membungkukan badannya 30 derajat, cukup untuk menunjukan rasa hormat. "Saya Mike Michael. Asisten utama Direktur Adolf. Panggil saja Mil, salam kenal." Ucapnya.

Lucu logatnya dalam berbahasa Indonesia, kaku namun dilakukan tanpa terbata-bata.

"Direktur?" Gumam Ina dengan suara kecil.

"Mashaa allah, dari luar negeri lho', saged basa Indonesia yo (bisa bahasa indonesia ya)" sahut ayah Ina.

Kemal memberikan tawa kecil dan membalas, "tidak juga, kami pelan-pelan belajar bahasa Indonesia."

"Apik iku, lama-lama Direktur e yo saged basa jawa (Bagus itu, lama-lama direkturnya bisa bahasa jawa juga) " ucap ayahnya lagi dengan nada gembira.

"Bismillah, nuwun sewu timbali kula mawon Kemal , mugi kula saged celak sami Rama, milo tansah ngaos basa jawi dumateng Rama (Pak panggil saja saya Kemal, biar lebih dekat kan nanti saya belajar bahasa jawanya di bapak)"

"MashaaAllah, Nggih Nak Kemal, ayo mampir nang omah."

Diikuti suasana harmonis dari kedua pihak. Ina sebenarnya sekedar tahu Kak Kemal meneruskan bisnis keluarganya. namun sebagai seorang direktur ia baru tau bagian ini.

Menurut Ina, Kak Kemal menunjukan perilaku yang sopan, dekat namun menghormati kedua orangnya. Ina sendiri merasa ini hal yang baik karena adanya silaturahmi yang terjalin.

Sampailah Ina di rumahnya hari itu. Perjalanan lima jam ditambah 2 jam di rumah sakit, Siang itu Ina memandang kembali kampung halaman yang dirindukan.

Rumah Ina terkesan sederhana, disampingnya ada kebun pepaya dan jeruk lalu di belakang rumah Ina ada sawah yang dimiliki kedua orang tuanya. Jalan di depan rumah saja masih jalan setapak dan bebatuan.

Ina bersama orang tuanya pulang diantar seorang kurir yg dipercayai Kemal.

"Aku pulang," gumam Ina yang berada di depan rumahnya. Terdengar ibu Ina memanggilnya dari dalam rumah. "Nggih Mah," ia segera masuk.

...

Hari mulai gelap, Ina selesai mandi saat itu. Ia selesai membereskan barangnya dan membersihkan kamarnya.

Langit-langit yang ia rindukan, stiker animasi pahlawan dulu yang tertempel di sudut dinding, jendela yang menampilkan suasana diluar rumah. Terlihat gunung nan jauh disana dan sawah yang tidak jauh. Bintang bintang jauh lebih terlihat disini daripada ketika di kota.

Hari itu sangat tenang penuh rindu.

Sampai Ibunya memanggil Ina untuk kedua kalinya.

Makan malam bersama, ini yang ditunggu Ina. Setelah sekian lama akhirnya ia bisa makan bersama orang tuanya lagi. dua kali di bulan suci serta dua kali lebaran, makan sendiri itu rasanya membakar semangat Ina untuk segera makan bersama.

Ina duduk di kursinya, ia masih memasang senyumnya.

Benar ia tidak sabar untuk makan bersama orang tuanya.

Di sudut matanya, lebih tepatnya dua pemuda duduk di seberang kursinya. Mereka saling berhadapan.

kenapa mereka ada disini? batin Ina penuh pertanyaan.

Bakul nasi menunjukan kepul kepul asap yang berarti nasi baru diangkat dari migac com, ikan gurame di bumbu tepung dan digoreng berjejer di sebuah taplak, sambal goreng sudah tergerus berada di cobek batu.

"Alhamdulillah, kita makan seadanya ya. Sebelum makan, mari kita berdoa. atas karunia-Nya lah kita bisa makan bersama malam ini. Berdoa dimulai,"

Doa dimulai, namun Ina masih menatapi kedua pemuda itu.

"Berdoa selesai. Ayo ayo makan, ini ikan gurame ala ala Bu Raina."

Ibu Ina tersenyum, "Ayo nak Kemal, Nak Mil. Seadanya yo, iki mantep lek ibu sing masak. Di warek i, (seadanya saja ya, ini enak kalau ibu yang masak. di kenyangin makannya) "

Sweatdrop dah Ina disini. Sedang apa kak kemal dan asistennya?

Tapi Ina tidak ingin merusak makan bersamanya setelah sekian lama sehingga ia dalam mode iya-iya saja lah.

Sunnah dalam makan bersama adalah adanya perbincangan baik antar sesama.

Maka dimulailah sebuah perbincangan yang mungkin hanya orang tua Ina dan kedua pemuda itu yang paham.

"Oo, iya iku tanah iku wes ga kerawat sama pemiliknya (oh, iya, tanah itu sudah tidak dirawat oleh pemiliknya)."

"Tanah sing endi to pah? (tanah yang mana, pah?)"

"Iku lho, cidhek kebun e pak Ridho (itu, yang dekat sama kebun milik Pak Ridho)."

"Ooo sing dhuwur-dhuwur suket e iku a (yang sudah tinggi-tinggi rumputnya itu ya)"

"Berarti tanah itu dijual ya Pak?" Tanya Kak Mil.

"Nah soal itu, ngene yo. Pemiliknya itu gaeruh nang endi, jadi ditinggal tanahnya. Surat-suratnya kayak e yo digawa. Nah, lek berdasarkan aturan e pemkap yo, tanah iku wes jadi tanggungan warga kene. Dan rapat kampung kemarin akhirnya... piye ma? (begini ya. pemiliknya itu tidak tahu sedang ada dimana, jadi tanahnya ditinggal begitu saja. surat-suratnya juga sepertinya dibawa. kalau berdasarkan aturan pemerintah kampung, tanah itu jadi tanggungan warga sini. rapat kampung kemarin akhirnya... gimana ma jadinya?)"

".. ee pak Yahya, pak Yahya.."

"Aa iyo, tanah iku dadi tanggung jawab e Pak Yahya. Ora ono woro2 mau dijual atau gimana, tapi coba nanti tanya ke Pak Yahya yo mau diapain tanahnya (ah iya, tanah itu jadi tanggung jawabnya Pak Yahya. belum ada pemberitahuan mau dijual atau bagaimana, tapi coba ditanyakan ke Pak Yahya mau diapakan tanahnya.)"

"Kira-kira apabila kami mau mengurus surat2 tanahnya, kami perlu menghubungi Pak Yahya dulu Nggih?" Tanya Kak Mil lagi. Kak Kemal nampak melanjutkan makannya sesekali memperhatikan suasana.

Iya, suasana.

Kedua pandangan mereka bertemu. Ina memberi senyum kecil sambil menundukkan kepala. Begitu juga kak Kemal.

Makan malam selesai, berdasarkan pendengaran Ina. Besok mereka kesini lagi karena ayah Ina ingin mengantar mereka ke rumah Pak Yahya dan Pak RT.

Selesai mengantar kedua pemuda itu pulang, Ina membantu ibunya membereskan meja makan.

"Nak, kok kamu ga ngomong kalau lagi deket sama seseorang." Sahut ibunya.

Ina baru saja menaruh piring selesai dibilas dengan air. Untung setelah piring itu terletak aman, coba kalau masih dibilas. Mungkin mendengar hal ini Ina melepas piringnya karena kaget.

"Engga mah, baru saja kenal. Orangnya sering mampir ke toko dikosan Ina. Kebetulan saja."

Ibu Ina memberi jawaban Oh sambil tersenyum. "Alim orangnya. Islam juga ternyata."

Ina tidak menyahut. Kehidupannya sangat sederhana hingga ia rasa Ina berada di dunia sinetron kali ya.

"Sering kontakan Nak?"

"Engga." Setelah itu Ina segera mengeringkan tangannya dengan kain lalu beralih ke kamarnya. Ia bisa mendengar ibunya meringis menggoda Ina dari dapur.

Di kamar, Ina duduk di meja belajarnya. Lebih tepatnya lesehan. Diatas tikar kain itu, Ina mulai menghitung sakunya lagi. Memastikan jumlah uang yang ia miliki. Ia berencana mengikuti sertifikasi Tuffèl agar bisa mendaftar perguruan tinggi selanjutnya.

"350.000..." Ina menuliskan angka di sebuah buku catatan. Buku itu ia gunakan untuk mengukur pemasukan dan pengeluaran Ina. "Hmm, aku belum ambil beasiswa bulan depan... jadi dapat 750.000... 1 juta..." gumamnya.

Handphone Ina berdering.

Ia mengeluarkan handphone yang berada di ransel sebelah mejanya. Sebuah notifikasi dari grup Nine. Aneh, bukankah data nya sudah dimatikan sehingga seharusnya tidak terhubung dengan internet?

Sebelum membuka media sosial, Ina memeriksa sisa penggunaan datanya. Apa jangan-jangan selama perjalanan tombol penggunaan datanya tersentuh?

Ina menekan info mobile data,

Warkomsel 100 GB paket Bonjour unlimited.

???

Ina memeriksa setiap huruf yang ia baca. Selanjutnya ia memeriksa keadaan fisik handphonenya, memeriksa aplikasi yang ada dan isi file-file atau folder yang ada.

Benar kok, ini handphonenya. Ina kira tertukar atau bagaimana. Ia tidak ingat membeli paket data sebesar itu serta berlangganan sebuah server unlimited.

Tidak, tidak, yang paling penting adalah, warkomsel??? Bukannya itu penyedia jasa pulsa dan internet yang harganya mahal daripada penyedia lainnya? Namun jaringan yang disediakan memang bagus dan lebih cepat.

Selama ini Ina memakai Sharpfrend dan paket yang ia beli pun hanya 2 GB sebulan tanpa berlangganan.

Terakhir Ina memeriksa nomor handphonenya, kalau ia ganti server seharusnya nomornya berubah juga.

08.....7...1...

Ina membacanya dalam hati dan mengulang dari awal.

Kok sama?? Kok bisa?

Malam itu, Ina tidak bisa tidur kedua kalinya. Apa memang tertukar? Atau jangan jangan ada seseorang yang mengganti dan mengisikan? Tapi bagaimana bisa, handphonenya terpasang lockscreen berupa pin yang hanya ia ketahui kuncinya.