Chereads / Restraining Heart -Menahan Cinta- / Chapter 3 - Chapter 3: Dia yang peka

Chapter 3 - Chapter 3: Dia yang peka

Chapter 3: Dia yang peka

"Ina semakin mantap."

.

.

"… lima ratus… kalau aku puasa mulai hari ini…. Bisa hemat … untuk makan…" tangan Ina memegang pensil dan menuliskan sesuatu diatas kertas putih. Ia menghitung kebutuhan minimalnya agar bisa mendapat uang yang cukup membayar biaya sewanya selama bulan kedepan.

"sepuluh hari… dalam waktu segitu aku bisa menghemat pengeluaran dan membayar biaya sewa… ", gumamnya sambil menatap sisa uang yang dimilikinya apabila sudah membayar biaya sewa. "lalu, dengan uang lima belas ribu… apa bisa bertahan sebulan ya…"

Ina mengambil secarik kertas bekas lagi dan mencoretkan sesuatu dibaliknya, ia menghitung sebuah perhitungan biaya berdasarkan informasi dari ibu kos. Ina tahu ini tidak baik karena menyalahi aturan yang berlaku, namun Ina menganggapnya sebagai pilihan paling terakhir apabila tidak ada pilihan lain.

"ada dua cara untuk pulang; pertama, membayar empat ratus ribu untuk menjadi penumpang gelap di truk-truk pengantar barang. Biaya segitu belum menjamin berhasil atau tidak selama melewati perbatasan… aku harus melewati tiga kota besar… artinya tiga perbatasan… kemungkinan tertangkap 33.3%". gumamnya sambil menuliskan di bagian kiri kertas. "cara kedua, membeli surat tugas palsu… harganya delapan puluh ribu saja untuk format surat tugas yang sudah ada, naik menjadi lima ratus ribu apabila pesan dibuatkan sendiri.."

Kedua cara membuat perasaan Ina semakin tidak nyaman. Tidak halal, begitu bahasa agama Ina. Tidak benar dan tidak baik. Ina memutuskan untuk menghabiskan hari itu dengan ibadah dan mencari lowongan kerja yang bisa ia kerjakan di kamar.

PING.

Jari Ina berhenti di tengah layar handphonenya. Ia menutup aplikasi browser yang dipakai untuk mencari lowongan kerja lalu membuka notifikasi peringatan penggunaan data.

"Wah…" Ina segera menghentikan browsing yang ia lakukan dan mematikan data. Sisa kuota internet yang Ina hanya berkisar 112 mB. Ina memeriksa dompetnya untuk membeli kuota internet.

Mengenakan kemeja hijau, cardigan coklat dan rok panjang. Ina berangkat ke warung terdekat untuk mengisi atau top-up paketannya. Sebenarnya toko di lantai bawah bisa mengisi juga namun hari ini toko tutup karena ibu kos sedang di rumah sakit.

Ina berjalan di sepanjang trotoar, sudah dua toko yang ia tuju, tutup semua. Toko ketiga lumayan jauh dari kompleks kosannya. Belum sampai di depan toko, Ina sudah melihat pintu toko itu tutup.

Menghela napas dan akhirnya Ina memutuskan untuk kembali.

Ina berpikir menghubungi ibu kosnya untuk mengisi paket internetnya, namun dengan keadaan ibu kosnya yang tengah pundung, Ia merasa berat hari untuk meminta sesuatu.

Ia mengeluarkan handphonenya dan mencari kontak teman yang bisa ia hubungi. Ina kesulitan menghubungi kedua orang tuanya karena kedua orang tuanya hanya seorang petani biasa, yang handphone saja pinjam ke paman atau tetangga sebelah yang punya jaringan dirumah. Paman Ina saat ini juga memiliki kondisi yang tidak jauh berbeda dengan Ina, sedang terisolasi di kota yang beda pulau sehingga tidak bisa mengabari keadaan Ina pada orang tua Ina.

Ina sedang duduk di sebuah taman kompleks, seperti biasa suasana sangat sepi sehingga hanya terdengar suara desiran angin pada siang hari itu. Ia melihat riwayat obrolan teman-temannya di grup, seingat Ina ada yang menawari jasa mengisi atau top-up paket internet.

"Assalamu'alaikum,"

Ina segera membalas suara salam yang terdengar berada di sebelahnya. "Wa'alaikumsalam…"

Oh, wajah yang selalu terpasang senyum itu tidak pernah gagal membuat Ina terpesona. Pemuda yang memberi salam lebih dulu itu mengambil tempat di sebelah Ina untuk duduk.

"Kak… Kemal...?"

"Kaget ya? Aku juga kaget, kok bisa kebetulan ketemu disini." Sahutnya.

"Apa kakak tinggal di sekitar sini?"

"Tidak, hanya kebetulan lewat."

Suasana dimulai canggung lagi. Mengingat kemarin, pakai kata sangat, Ina sepertinya terlalu tegas pada pria ini. Dan hari ini bertemu kembali dengannya.

"Ada apa?"

Pertanyaan ini dilontarkan kali pertama oleh Kemal. Awalnya Ina menjawab, "hanya istirahat sebentar, habis jalan jauh."

"kenapa menghela napas tadi?"

Oke, Ina sudah diperhatikan sejak duduk di taman.

"biasa, toko pada tutup jadi mau beli sesuatu sepertinya hari ini tidak bisa."

"Oh, butuh sesuatu?"

Ugh, Ina tidak ingin menjelaskan lebih lanjut dan hanya meringis saja.

"Jujur, hari ini hari terakhir aku di kota ini. Aku akan berangkat ke kota lain untuk sebuah urusan." Lanjutnya lagi, membuat Ina mendengarkan perkataannya baik-baik. Ina pikir Kemal bisa bepergian karena memiliki tugas resmi. "mulai besok aku segera pergi ke kota Eling, benar kamu tidak butuh sesuatu?"

Oh, itu maksudnya, pemuda ini masih merasa belum membalas budi—

Tunggu, kemana?

"ee… kemana?"

"Kota Eling,"

Itu!

Itu kampung halaman Ina. Tidak, rumahnya memang ada di bagian perbatasan tapi tetap termasuk kota tempat kampung halaman Ina. Dalam batin Ina sedang bertarung, apakah Ina cerita atau tidak, apakah Ina memanfaatkan pemuda ini atau tidak. banyak pertimbangan yang mulai muncul dalam pikiran Ina, bepergian berdua lho, tapi besok dia sudah berangkat dan mungkin tidak bertemu dengan Ina lagi, ini kesempatan emas lho, dan seterusnya.

Peka terhadap raut Ina yang tengah menatap serius tanah bebatuan dibawah, Kemal bertanya lagi. "Jadi, ada apa?" seolah menekan pertanyaan pertama saat mereka memulai percakapan, seolah dari awal pemuda ini sudah menebak sesuatu yang terjadi pada Ina. Namun, Ina tidak berprasangka buruk pada pemuda yang baru ia rasa sebagai kenalan saja.

Pilihan ini yang menang, pikir Ina.

"Kak Kemal, sebenarnya…"

Dari situlah Ina menceritakan bahwa dirinya ingin sekali pulang ke kampung halamannya. Awalnya ia terus bertahan disini karena peraturan yang sedang berlaku terkait pandemi ini. Tidak lama kemudian, sebuah berita datang dari ibu kosnya, Ina menekan bahwa semua sama-sama susah sehingga ia tidak menyalahkan ibu kosnya. Soal biaya sewa yang naik dan pilihan Ina untuk pulang lewat jalur belakang. Ina merasa tidak nyaman mengambil jalan yang menyalahi peraturan itu, namun Ia tidak bisa apa-apa lagi.

Selesai menceritakan keadaan umumnya, Ina bertanya pada Kemal. "menurut kakak, saya harus bagaimana?"

Pemuda yang daritadi mendengarkan keluh kesah Ina seolah berpikir keras dan memberikan solusi yang terbaik, "begitu, ya. Susah juga, sebenarnya saya juga tidak setuju jika kamu mengambil jalur belakang itu."

Pernyataan itu cukup membuat Ina merasa, kak Kemal adalah seorang yang baik.

"berbahaya, apalagi kamu perempuan, empat ratus ribu tidak cukup untuk melindungi keamanan selama di perjalanan. Apakah kamu sendirian atau bersama penumpang gelap lainnya? Kendaraan yang ditumpangi juga, apakah benar mengirim barang resmi atau illegal?"

Wah, betul juga. Ina semakin mantap, benar keputusannya untuk cerita pada kak Kemal. Tapi apa Ina cerita soal biaya menjadi penumpang gelap? Hal itu tidak terpikirkan oleh Ina.

"Aku tidak tahu ini bisa membantu atau tidak, tapi aku bisa membantumu pulang kampung halaman."

Sontak Ina memandang pemuda itu. kalimat itu adalah kalimat yang sudah ditunggu-tunggu oleh Ina. Matanya berbinar-binar seolah tidak ada jawaban selain menerima tawaran Kemal.

Besoknya di pagi buta. Ina selesai membawa barang-barangnya ke lantai bawah, tidak begitu banyak. Hanya satu kardus berisi buku-buku dan lembaran kegiatan kuliahnya, satu tas besar berisi pakaian dan alat mandi serta satu ransel berisi sisa barang yang muat di dalamnya.

Kemarin ia menerima tawaran Kak Kemal untuk menumpang ke kota kampung halamannya dan berdiskusi untuk persiapan berangkat karena hari ini kak Kemal akan menjemput sekitar jam setengah enam pagi. Kemarin juga, Kemal mengantar Ina ke kosannya sekaligus mengambil bingkisan-bingkisan yang ukurannya sebesar satu keramik lantai. Alasannya agar besok tidak kerepotan membawa barang banyak sehingga Kak Kemal menyimpan bingkisannya di dalam bagasi mobilnya.

Sebelum keluar dari toko atau area kosannya, Ina pamit dulu ke ibu kos. Ia meminta maaf tidak bisa melanjutkan sewa kamarnya karena masalah finansial sekaligus berterimakasih selama ini sudah membantu dan mengerti kondisi Ina.

Menurut Ina, ibu kosnya sangat baik. Keduanya sama-sama mengerti kesulitan yang sedang dimiliki dan berpisah dengan baik pula.

Begitu Ina selesai membawa barang-barangnya ke depan toko, mobil hitam yang ia tahu itu adalah Ferrari sudah parkir di depan toko dan seorang pemuda nampak bersandar di pintu sebelah sambil menunggu seseorang keluar.

"Maaf, menunggu lama." Kata Ina sembari menutup gerbang pintu menuju tangga lantai dua. Kemal menghampiri Ina dan mengambil tas besar sekaligus kardus dalam sekali rangkulan. Seolah berat kedua barang bukan masalah untuk kedua lengannya. "Oh… terimakasih," Ina mengikutinya.

Kemal mendekat ke belakang mobil alias bagasi dan seolah sudah ada deteksi diri dalam mobil sehingga bagasi terbuka sendiri. Ia memasukkan kedua barang tersebut, disana terdapat bingkisan-bingkisan yang kemarin sore sudah dititipkan.

"Silahkan masuk," pemuda yang pada hari itu pun tetap memakai setelan gelap, namun kali ini temanya biru kehitaman, ia membuka pintu di bagian depan. Ina menundukan kepala dan masuk. Ia mendapati dirinya duduk disebelah kursi penyetir.

Kemal segera masuk juga dan menyalakan mesinnya, pagi itu mereka pun berangkat.

Perjalanan menuju kota Eling membutuhkan waktu lima jam perjalanan termasuk lalu lintas. Menurut Kak Kemal, karena adanya pemeriksaan di tiap perbatasan, bisa jadi lebih dari lima jam. Namun ada kemungkinan juga kurang dari lima jam karena jalanan di pagi hari sangat sepi.

Mereka berbincang soal pandemi dan bertukar pendapat, dari perbincangan yang menurut Ina lebih panjang dari sebelumnya, ia mulai mengenal Kemal lagi. Pertama, Kemal memang bukan dari negaranya, selama ini ia selalu berpindah karena tugasnya. Pekerjaan Kemal berkaitan dengan rumah sakit, tidak jarang Kemal juga mengetahui soal komunitas kesehatan dunia seperti GHO alias Global Health Organization. Kemal lahir dan besar selama lima tahun di Inggris lalu berpindah-pindah negara setelahnya. Sejujurnya nama aslinya bukan Kemal melainkan Ric Adolfo Raeburn. Kemal mempersilahkan jika Ina ingin memanggilnya Rae. Ina dalam batin sudah menduga, mungkin wajahnya yang menawan memang bukan lokal daerah ini.

Perbincangan semakin panjang karena mereka memiliki kesamaan, Ina yang merupakan mahasiswi di bidang kesehatan banyak bertukar pendapat dengan Kemal yang memiliki latar belakang kesehatan pula. Sampai suatu titik Ina menebak bahwa Kemal adalah seorang dokter. Kemal tertawa kecil dan mengatakan sudah lama tidak dipanggil dokter. Sejak selesai pendidikan keduanya, ia fokus menjadi pewaris bisnis keluarganya sehingga sudah lama juga tidak menggantungkan stetoskop di sekitar lehernya. Ina segera memperbaiki cara memanggilnya dengan gelar doktor.

Empat jam kurang perjalanan telah berlalu, sejauh ini sudah dua perbatasan yang dilewati dan keduanya entah kenapa mempersilahkan mobil ini tetap melanjutkan perjalanan sedangkan ada antrian kendaraan lainnya yang sedang diperiksa.

Ina mulai merasa lapar sebenarnya namun ia merasa berat hati meminta pemuda di sebelahnya untuk berhenti sebentar. Apalagi Ina tidak berbekal makanan apapun. Kalau dia merasa lapar, apalagi kak Kemal yang menyetir selama perjalanan. Ina memutuskan untuk istirahat.

Ia menutup matanya dan akhirnya terlelap dalam tidurnya.

Entah sudah berapa lama Ina menutup matanya, ia mendengar sesuatu.

"…Na… Ina…"

Pelan-pelan Ina membuka matanya dan mendapati seorang pemuda yang pesonanya ia kenal sedang berada menatapnya dari atas. Entah kenapa tubuh Ina terasa lemas, rasa lapar memang sudah hilang namun ia merasa ada sesuatu yang mengalir di seluruh tubuh Ina. Ia merasa Kak Kemal terus memanggil namanya seolah membangunkan dirinya namun apa daya, semakin lama semakin lemas dan pandangan Ina menjadi gelap.

To be continued

...