Dariel POV
Aku merapikan dokumen yang baru saja aku print lalu merekatkannya dengan steples yang ada di meja. Akhirnya beres juga. Aku berkali-kali membaca lagi isinya takut-takut masih ada yang salah dan setelah yakin aku pergi menuju ruangan Pak Dikta. Aku sudahh tak terlalu lagi memikirkan Ara meskipun beberapa kali pikiran untuk muncul tapi hanya sekilas saja. Aku pikir aku harus move on. Aku mulai menyibukkan diriku sendiri hari ini dari pagi sampai sore untuk mengerjakan hal-hal yang mungkin bisa aku selesaikan agar kerjaanku tak semakin menumpuk. Gara-gara kegalauanku kemarin semuanya jadi terbengkalai. Tak biasanya aku seperti ini. Cinta memang aneh.
"Oke siap..." Aku membawa hasil print out nya keluar.
"Permisi pak.." Aku membuka pintu setelah dipersilahkan masuk.
"Kenapa Riel?"
"Ini saya ada dokumen yang harus ditanda tangan bapak."
"Dokumen apa?"
"Itu yang laporan Final kemarin saya pak, kata bapak ada yang harus dibenerin dan ini hasil pengolahan baru saya.."
"Oh...mana liat?" Pak Dikta lalu melihat hasil kerjaku. Wajahnya sangat seurius membuka lembar per lembar semua hasil analisaku.
"Ga nyesel saya lulusin kamu, nih..jangan lupa tanda tangan Ara ya terus kamu kasihin ke Chandra." Pak Dikta memberikan dokumen itu lagi. Aku terdiam sejenak namun aku sudah janji akan bersikap profesional. Aku harus menghadapinya. Aku tak boleh menghindar.
"Oke pak.." Aku membawa dokumenya lagi dan kini menuju ruangan Ara. Hatiku berdegup lagi. Ini seperti pertemuan pertamaku dengannya. Kini aku mengetuk pelan sampai suara lembut Ara terdengar. Senang bisa mendengar suaranya lagi.
"Bu ini hasil laporan saya, perlu ibu tanda tangani.." Aku membuka lembaran yang berisikan tanda tangan dari pihak-pihak yang berwenang agar Ara tak repot-repot mencarinya.
"Dimana saya harus tanda tangan?"
"Disini, disini dan disini.." Aku memberi petunjuk dan tanpa menunggu lama Ara menandatangi laporan Dariel.
"Terimakasih Bu.." Aku menerima lagi laporannya dan segera pergi dari ruangan Ara. Ara benar-benar bersikap seperti tak terjadi apapun. Tatapannya begitu dingin, wajahnya tak menampakkan kepedulian seperti yang biasa lakukan dulu. Oke. Dia juga baik-baik saja. Ini hanya salah paham. Dasar. Aku merasa bodoh sekarang.
"Chan nih kata Pak Dikta suruh gw kasihin ke lu.."
"Lu ya gw mau pulang juga ganggu lagi." Chandra yang aku lihat sudah siap untuk pergi. Tasnya bahkan sudah menempel di punggungnya.
"Emang udah jam pulang?"
"Noh liat udah jam 6.." Chandra memegang kepalaku dan membuat aku melihat jam dinding. Aku baru sadar ini sudah jam pulang. Saking terlalu sibuknya aku tak memperhatikan waktu.
"Duh ga enak tadi gw ganggu Pak Dikta sama Bu Ara." Aku melihat lagi ke arah dokumen itu.
"Eh ngomong-ngomong sama Bu Ara lu gimana?"
"Ga ada apa-apa, kan lu yang bilang mending gw deketin staf lain.."
"Syukur deh.."
"Ya udah lu pulang sana.."
"Lu ga mau bareng?"
"Engga, gw masih banyak urusan."
"Gaya bener..." Ledek Chandra padaku padahal bukannya tak mau bareng. Aku pasti diceramahi lagi soal Ara atau Farah. Aku sudah sedikit bosan. Kini aku berjalan menjauhi Chandra. Aku berjalan santai menuju ruanganku lagi. Rasanya sepi sekali. Aku melihat kearah sekitar sambil melonggarkan dasiku namun langkahku aku pelankan sejenak saat melihat hal yang aneh diujung sana. Tanpa pikir lagi aku langsung mempercepat langkah kakiku saat yakin bahwa itu Ara. Ada seseorang membantu Ara berjalan.
"Kenapa pak?" Tanyaku sambil membantu Ara masuk lagi ke dalam ruangannya. Dari penampilannya dia sepertinya sudah siap pulang.
"Maaf Bu saya ga sengaja."
"Iya ga papa.." Ara dengan pelan sementara aku masih bingung ada apa, yang jelas aku melihat Ara memegang kepalanya.
"Kenapa?" Aku bertanya lagi pada lelaki muda yang ada disampingnya. Aku benar-benar butuh jawaban sekarang.
"Saya ga sengaja pak, tadi habis benerin ruang meeting, beres-beres bawa besi panjang ga taunya ada bu Ara dibelakang lagi jalan jadi kena kepalanya."
"Duh hati-hati dong pak." Aku mendadak sedikit kesal dengan tukang itu. Besi?itukan lumayan keras pasti kepala Ara sakit.
"Iya maaf.."
"Ya udah rapihin dulu deh perkakasnya di depan. Awas pak hati-hati takut ada orang lagi." Aku menegurnya. Jangan sampai ada korban lain selain Ara. Bisa gawat kalo Kenan tahu.
"Iya pak.." Pria itu lalu pergi begitu saja.
"Ibu ga papa?" Aku refleks memegang kepala yang juga dipegang Ara mungkin ini bagian yang sakit dan terasa benjolan kecil disana. Ah..kasihan.
"Udah jam 6." Ara protes.
"Apa ini yang sakit?perlu ke dokter?" Aku tak merespon ucapan Ara sebelumnya. Aku lebih mengkhawatirkan keadaanya.
"Katanya kita perlu ngomong tapi kamu ga ngomong-ngomong." Ara membuat aku terdiam. Rupanya dia membaca pesanku.
"Aku cuman mau minta maaf, maaf nyinggung kamu, maaf kalo sikap aku kurang menyenangkan kemarin-kemarin. Aku ga akan kaya gitu lagi." Aku sambil membenarkan posisi berdirinya.
"Iya ga papa."
"Hm...aku anterin kamu ke parkiran."
"Kamu mau ngomong itu aja?" Ara menoleh ke arahku.
"Iya.." Aku teringat lagi pda pria yang menjemput Ara kemarin.
"Sini duduk aku yang mau ngomong sekarang." Ara menarik tanganku membuat aku duduk tepat disampingnya. Wajahnya terlihat seurius sekarang.
"Riel, kenapa sih kamu mikirnya gitu?" Ara mulai menghadapkan badannya kearahku.
"Mikir apa?"
"Lupa udah ngomong apa ke aku kemarin-kemarin?sampe teriak-teriak sebelum aku pulang? untung ya ada orang yang denger." Ara mengingatkan membuat aku sadar lagi tentang kebodohanku.
"Emang aku pernah apa ngerendahin kamu?emang aku pernah bahas-bahas kamu siapa?"
"Kamu tuh punya segalanya Ra sementara aku banyak kurangnya."
"Aku tuh ga pernah nganggep kamu kaya gitu. Bagi aku semuanya sama kok. Aku cuman beruntung aja karena lahir di keluarga ini. Emang aku bisa milih mau lahir dimana, sama siapa?kan engga. Kadang jadi aku tuh ga enak Riel, gara-gara aku punya semuanya orang-orang jadi ga mau deketin aku, manfaatin aku, padahal aku ini ga jahat."
"Aku cuman ga mau kamu susah."
"Waktu aku sama kamu aku ga ngerasa susah, aku seneng." Ara membuat aku bungkam kali ini. Mataku tak berani menatapnya. Aku hanya bisa melihat ke arah ujung sepatuku seperti anak kecil sampai Ara semakin duduk mendekat, tanganku kini ia genggam lalu wajahnya lekat memandangku. Ini pertama kalinya Aku merasakan ada wanita sedekat ini. Kira-kira apa yang akan dikatakan?aku..aku benar-benar beku saat Ara bersikap seperti ini padaku. Dengan jarak sedekat ini dia berhasil membuatku mati kutu. Aku tak berani berkata apapun padahal tadi aku jelas bertekad untuk menjauhinya. Rencanaku semua sirna hanya dengan tatapan dan genggaman Ara.
****To be continue