Meeting kali ini berlangsung cukup alot. Kenan dan Dikta berusaha keras untuk bernegoisasi dengan supplier baru mereka. Penawaran demi penawaran dilakukan hingga akhirnya ada kesepakatan yang terjadi. Ya…mereka memang ahli dalam bernegoisasi. Kini mereka mulai menyantap makannanya sambil mengobrol santai.
"Jadi…Ara ini anaknya bapak?" Tanya Pak Daniel. Sejak pertemuan mereka tadi Pak Daniel ini belum menyadari jika Ara adalah anak dari Kenan.
"Iya pak, ini anak sulung saya. Baru gabung beberapa bulan ini."
"Oh..sama dong kaya anak saya. Miki." Pak Daniel menatap anaknya yang ada disamping. Ara sebenarnya dari awal ingin tertawa mendengar nama Miki. Baginya seperti tokoh kartun dan lucu.
"Wah…sama-sama penerus nih." Dikta ikut dalam percakapan.
"Ara keliatannya masih muda, berapa tahun?"
"21 Tahun pak."
"Cuman beda 3 tahun sama Miki." Pak Daniel lagi-lagi terus menatap anaknya.
"Mudah-mudahan bisa jadi temen."
"Harus dong kita sekarang kan rekan bisnis, ga ada yang tahu kedepannya jadi rekan apa kan?" Goda Pak Daniel. Kenan dan Dikta tahu apa artinya begitu Dariel yang hanya fokus makan saja sambil mendengar ocehan para atasannya itu.
"Bisa jadi pak.." Kenan merespon dengan senang. Ara melihat kearahnya. Dia tak suka ayahnya berbicara seperti itu. Miki menatap kearahnya. Sepertinya dia memiliki ketertarikan pada Ara.
"Kapan-kapan saya sama Miki main kerumahnya pak Kenan."
"Oh..dengan senang hati pak. Saya tunggu." Kenan menyahut lagi. Wah…ini sudah terlalu jauh. Ara melirik Dariel tapi sepertinya pria itu tak terusik sedikit pun.
"Miki masih single kok…" Pak Daniel terus menerus mempromosikan anaknya dan kali ini denga frontal menunjukkan maksudnya.
"Wah makin cocok pak. Ara juga ya?"
"Ih daddy…" Protes Ara. Kali ini suara itu akhirnya muncul. Kenapa dari bisnis harus jadi ke urusan seperti ini sih?bisa gawat kalau terus dilanjut.
"Kalo Pak Dikta anaknya gimana?"
"Saya punya anak 3 pak, Laki-Laki 2 seumuran MiKi, satu lagi beda 2 tahun, nah yang perempuan masih SMP."
"Kalo Pak kenan anaknya berapa?."
"Saya punya anak 3 menjelang 4."
"Empat?"
"'Istri saya lagi hamil."
"Wah….selamat pak."
"Makasih. Kalo Miki berapa bersaudara?"
"Dua bersaudara yang satu lagi masih kuliah di Inggris." Pak Daniel memamerkan. Ara mendengus. Dia tak suka dengan cara bicara Pak Daniel. Kenapa sih ayahnya ingin orang ini jadi suppliernya?.
"Keluarga Seazon generasinya banyak ya pak." Miki mulai bersuara.
"Iya, siapa tahu kamu jadi generasi selanjutnya." Ucapan Kenan membuat Pak Daniel tertawa. Dia mengharapkan itu. Mereka pun terus membahas angan-angan mengenai masa depan hubungan pekerjaan dan pribadi antara Ara dan Miki. Chandra yang tahu bagaimana perasaan Dariel dulu pada Ara mulai melihat ke arahnya tapi…ekspresinya tak bisa di tebak. Chandra jadi bernafas lega karena telah menyarankan Dariel untuk tak mendekati Ara. Dia yakin Dariel bisa melewati ini.
****
Dariel POV
Aku sebenarnya kurang suka dengan meeting kali ini. Tak biasanya aku jadi terpaku membisu akibat pembicaraan yang dilakukan pak Dikta yang lainnya. Biasanya aku dengan mudah akan masuk kedalam topik pembicaraan yang dilakukan tapi…tadi aku benar-benar tak mengerti harus berkomentar apa. Semua tentang Ara dan Miki. Dua anak dari orang kaya itu sedang coba dijodohkan. Sejujurnya makanan dalam mulutku tadi berasa jadi tak enak. Telingaku justru terus menerus mendengarkan dengan baik percakapan mereka. Apalagi ketika Miki sudah mulai berbicara. Dia sudah tak segan lagi memuji Ara. Belum lagi pak Kenan juga seakan mendukung ucapan Miki membuat aku lama kelamaan jadi tak nyaman. Hal itu pun berlangsung sampai kami akan kembali lagi ke kantor. Miki datang menghampiri Ara dan meminta nomornya. Aku kira hanya berakhir disana tapi nyatanya Pak Daniel menyuruh sang anak agar mengantar Ara. Aku melihat Ara sempat menolak tapi sepertinya dia tak bisa karena Pak Kenan dan Pak Dikta mendukung itu. Mereka pun akhirnya pergi bersama sementara aku berada dalam mobilku dalam kesendirian. Nasib, nasib. Kini aku merasakan apa yang selalu dikeluhkan Ara. Berpacaran diam-diam itu memang tak mengenakan tapi bagaimana lagi, aku tak mau mengambil resiko. Hubunganku dengan Ara pasti akan sangat berpengaruh pada pandangan orang tentang Ara atau aku. Aku tak bisa membiarkannya. Bagaimana pun Ara baru masuk belum lagi di awal kepemimpinannya, Banyak orang yang sudah mencap Ara tak bisa dan dikenal sebagai anak manja, padahal setelah aku mengenalnya Ara sangat pintar. Dia punya perencanaan yang matang tentang masa depan perusahaan. Keputusannya pun dipikirkan matang-matang bagaimana dampaknya. Ah…aku harus melindunginya. Selain itu aku juga masih ragu pada diriku. Apa iya orang sepertiku pantas untung Ara?. Jika dibanding Miki aku bukanlah apa-apa. Aku hanya anak angkat dari Pak Stefan dan Ibu Vani. Orang tuaku yang tak jelas bisa jadi penghalang juga bagi hubungan kami. Aku benar-benar galau sekarang. Rasanya…kalau harus patah hati lagi aku belum siap. Perasaanku pada Ara sedang begitu merekah. Rasanya setiap hari kasih sayangku pada Ara naik ke tingkatan level yang berbeda. Darinya aku merasakan bagaimana rasanya pacaran, rasanya diberikan perhatian dan rasanya berciuman. Kalau bukan karena kedatangannya mungkin aku akan terus mengingat Farah dan yang paling parah aku sempat terpikir untuk menghubungi Nino. Ara datang disaat yang tepat. Kini dengan segera aku berjalan menuju lift. Aku harus segera membuka laptopku, pasti sudah banyak email yang masuk. Belum lagi ini akhir bulan, artinya periode penggajian. Aku harus menghitungnya. Setelah sampai diruanganku, aku menyalakan komputerku dan mengecek handphoneku sebentar. Ternyata sudah banyak pesan disana dan yang paling banyak dari Ara.
# Kamu ke kantorkan?.
# Kamu dimana?.
# Kamu marah?.
# Kita ketemu dulu yuk.
# Riel..bales dong.
Aku membaca semua pesan singkat Ara bahkan beberapa kali Ara menelponku dan tak aku jawab. Aku tak sengaja, aku tak menyadariku karena ternyata handphoneku di silent. Aku segera menelponnya. Bisa-bisa dia mengomel kalo aku mengacuhkannya.
- Halo, kamu dimana?.
- Ini aku baru sampe, maaf tadi hp aku disilent dan aku juga lagi nyetir jadi ga fokus liatin handphone.
- Kebiasaan deh.
- Kenapa?.
- Kamu marah?.
- Kenapa mesti marah?.
- Soal..soal tadi.
- Tadikan lagi kerja.
- Ya tapikan..
- Aku udah kebal yang kaya gitu jadi…ya udah mau gimana lagi.
- Aku ga suka kok sama Miki apalagi sama Pak Daniel.
- Iya aku tahu.
- Pulang kerja ketemu dulu.
- Aku ga janji ya, aku lagi ngitung gaji soalnya. Ini aja udah kepake setengah hari nih. Waktu aku makin dikit.
- Ya udah aku tungguin.
- Ini kamu dimana?.
- Lagi diruangan aku.
- Oh..ya udah deh nanti aku sempetin sore kesana.
- Bener ya?.
- Iya, udah dulu ya. Jam Kerjanya nih.
- Iya-iya pak Dariel.
Ara langsung menutup teleponnya. Aku hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum.
***To be continue