Malam semakin larut namun wanita itu tetap berlari meski keadaannya cukup memprihatikan. Darah terus merembes keluar dari luka yang diderita sedang wajahnya melepuh entah karena apa. Kedua kaki yang tanpa mengenakan alas kaki pun terluka sehingga jalannya tertatih-tatih. Satu dalam pikirannya yang selalu terngiang dalam ingatan yaitu harus hidup.
Saat ini penangkapnya belum tahu jika dia telah melarikan diri dari rumah siksaan yang bagaikan neraka dan kini dia harus berlari sejauh mungkin sebelum orang-orang itu sadar. Kejadian ini bermula kala mobil yang dia tumpangi kecelakaan dan bukannya di bawa ke rumah sakit, wanita itu malah disekap di sebuah gudang yang sangat jauh dari keramaian kota.
Dirinya diperlakukan layaknya mainan oleh para penyekap. Hal yang paling membuat dia sakit hati adalah dalang di balik semua ini ternyata suaminya sendiri. Wanita rasanya tahu apa penyebab yang membuat semua hal ini terjadi. Pertama si wanita mengetahui bahwa suaminya selingkuh dan yang kedua dia ingin menyingkirkan wanita itu supaya mendapat harta warisan.
Selalu saja uang menjadi alasan untuk bertindak kejahatan padahal belum tentu uang bisa membeli segalanya. Wanita itu menepis semua pikiran dan terus berlari meski harus tertatih. Dalam kesunyian hutan wanita itu terus menyusuri jalan raya yang gelap gulita berharap ada seseorang yang membantunya.
Suara deru mobil mendekat mengejutkan si wanita dan ketika melihat lampu dari mobil. Sontak si wanita melambaikan tangan tetapi mobil malah melewati dia. Si wanita yang tak ingin diabaikan oleh si pengendara berlari mengejar mobil yang terlalu cepat melaju.
Naasnya dia tak memiliki tenaga sehingga jatuh ke tanah. Mendadak mobil itu berhenti dan turunlah sesosok pria dengan setelan jas rapi menghampiri si wanita. Dia langsung merendahkan tubuh dan mencengkeram dagu si wanita untuk menatap ke arahnya.
Tatapan tajam sang lelaki tak serta merta dihiraukan oleh si wanita. Dia dengan berani bersuara meski gemetaran, tak sanggup bertahan lagi. "To-tolong aku ... ada orang-orang yang ingin menghabisiku ... aku tak mau mati," ucapnya kaku.
"Kenapa aku harus menolongmu? Tak ada sesuatu yang terjadi di antara kita atau pun hubungan." balas si pria dengan nada dingin. Tak berperasaan.
"Ba-balas dendam! Ak-aku ingin balas dendam ... mereka yang menyakitiku, akan mendapatkan hukuman!" Si pria agak terkejut melihat perubahan si wanita yang cukup signifikan. Mulanya si wanita itu terlihat lemah tapi begitu mengucapkan kalimat tersebut, mata si wanita berubah dingin dan tak memiliki ekspresi. Ada kedengkian yang luar biasa dalam diri. Pria itu mendadak menorehkan senyum smirk dan si wanita akhirnya pingsan.
"Menarik sekali." Sopir yang selaku sekretaris dari pria itu menghampiri bosnya kala dia melihat si bos menggendong wanita tersebut.
"Tuan Zen."
"Suruh Miranda datang ke rumah katakan ada pasien dengan luka parah dan kita membutuhkan dokter operasi plastik." ujar si pria bernama Zen dan lalu memasukkannya ke dalam mobil.
Sampailah mereka di kediaman Pranaja yang mana Zen menggendong sekali lagi si wanita asing ke kamar tamu. Tak butuh waktu lama datanglah dua dokter tergopoh-gopoh. "Zen, di mana pasien yang kau maksud?"
Zen lantas melirik pada sosok wanita yang terbaring lemah. Miranda dan salah temannya yang spesialis operasi plastik terkejut melihat penampilan si wanita. "Astaga, dia benar-benar berantakan sekali. Ada luka di mana-mana dan kemungkinan besar ini dia dapatkan karena perlakukan tak pantas."
Zen diam lalu bersuara saat di tanya. "Oh ya Zen, kenapa kau memanggilku beserta dokter bedah plastik?"
"Tidakkah kau melihat wajahnya yang rusak? Aku ingin temanmu mengoperasinya. Operasi dia sesuai dengan foto ini." jawabnya seraya memberikan sebuah foto di mana terdapat wanita muda yang tersenyum ke arah kamera.
"Tapi--"
"Aku akan memberikan banyak uang asal kalian berdua rawat dia dan jangan lupa operasinya harus berjalan sukses." Miranda dan temannya itu saling berpandangan. Mereka menyelesaikan semua itu dengan mengangguk.
"Baiklah kami akan berusaha semaksimal mungkin." Miranda dan temannya itu pertama merawat luka-luka yang dialami oleh si wanita sampai luka yang diderita sembuh mereka memulai prosedur untuk operasi bedah plastik. Selama itu pula si wanita tak pernah sadarkan diri.
Beberapa hari setelah operasi plastik yang berjalan sukses. Sepasang mata hazel milik si wanita terbuka. Dia melirik ke sana ke mari tapi hanya dirinya seorang yang berada di tempat itu. Gorden yang bertiup karena angin melalui jendela dan cahaya matahari yang lewat membuat wanita itu merasa damai.
Dihirupnya udara dalam-dalam dan setelah sekian lama akhirnya dia merasa bebas, tenang, juga nyaman. Tangan si wanita lalu meraba kepalanya yang ditutup oleh perban lalu memandang pada luka di area lengan yang lukanya mengering. Si pria bermata tajam itu merawatnya. Dalam hati dia sangat berterima kasih karena dia memiliki kesempatan untuk hidup kembali.
"Kau akhirnya bangun juga." Si wanita menoleh pada Zen yang berjalan masuk ke dalam kamar. Dia hendak bangun namun pria itu menahan agar dia duduk saja di ranjang.
"Terima kasih Tuan, saya berterima kasih karena sudah mau menyelamatkan saya." Dia memandang pada Zen dan tak seperti malam saat mereka pertama kali bertemu, Zen terlihat sama sekali tak menakutkan malah tampan.
"Sama-sama. Siapa namamu dan ceritakan detail kenapa kau bisa ke jalan raya dengan penampilan yang buruk sekali." Mata si wanita berubah menjadi sendu.
"Perkenalkan Tuan namaku Maria Claudia dan orang yang melakukan ini adalah suamiku sendiri. Dia begitu kejam padaku karena aku mengetahui bahwa dia berselingkuh. Dia membuatku kecelakaan dan menyuruh anak buahnya mengurung aku yang terluka parah di sebuah gudang yang jauh dari pusat kota. Mereka memperlakukanku secara semena-mena namun aku berhasil kabur saat mereka lengah." tutur si wanita bernama Maria disertai uraian air mata.
"Aku ... tak akan mengampuninya. Dia harus mendapat hukuman dariku!" Zen tersenyum kala melihat ekspresi yang sama ketika pertama kali bertemu dengan Maria. Dia suka sekali!
"Ngomong-ngomong siapa nama pria yang tega melakukan itu padamu?" Maria mencengkeram seprai yang dia duduki dengan sangat erat. Napasnya terasa sesak mengucapkan nama itu.
"Taffy. Taffy Paulo." Untuk sesaat Zen memasang wajah datar lalu tersenyum dengan ekspresi yang menakutkan.
"Benarkah? Wah ini tak terduga sama sekali. Aku juga memiliki dendam pada keluarga itu, aku rasa takdir membawa kita bertemu untuk satu hal menghancurkan keluarga Paulo. Apa kau mau bekerja sama denganku untuk menghancurkan mereka?" Maria terdiam seraya memandang tangan Zen yang terulur.
Sekilas pikirannya teringat akan hal-hal buruk yang dilakukan oleh satu keluarga terhadapnya. Mereka telah mengubah Maria yang lemah lembut menjadi sosok yang penuh kedengkian. Tak ayal dia berjabat tangan dengan Zen. "Senang bekerja sama denganmu Tuan Zen."