Chereads / Pasangan Balas Dendam / Chapter 6 - Satu-satunya Wanita

Chapter 6 - Satu-satunya Wanita

Nicholas kembali mendengar suara pecahan kaca dan karena hal itu dia berusaha berjalan cepat meski di usianya yang sudah tak muda lagi. Asal suara membawa langkah Nicholas ke kamar sang cucu.

Pintunya terbuka sehingga jelas menampakkan apa yang berada di dalam. Ruangan tampak semrawut dengan barang-barang yang berserakan di lantai. Taffy memandang penuh amarah pada Indri yang menangis sementara menantunya berusaha melerai pertengkaran mereka.

"Sudah Taffy, ingatlah Indri sedang hamil! Jangan marah seperti itu!?" Nicholas diam melihat apa yang sebenarnya terjadi. Tak mau ikut campur dengan rumah tangga sang cucu.

Taffy masih tetap menampakkan wajah marah saat dirinya mencengkeram wajah istrinya dengan salah satu tangannya. Dia membuat agar Indri menatapnya dan tampaklah kedua pipi Indri kemerahan. Sepertinya dari tadi Taffy menampar Indri beberapa kali.

"Awas saja kalau kau membuatku malu lagi! Hanya wanita itu saja yang menyadarinya tapi jangan semua orang, mulai sekarang kau tak boleh pergi ke mana pun sampai anakmu lahir mengerti?!" Pria itu lalu melepaskan wajah Indri secara kasar dan pergi dari tempat itu.

Hera pun mendekati lalu memeluk sang menantu kesayangan yang sekarang terisak. Sementara Nicholas membuang napas. "Inilah yang aku takutkan, sekarang terjadi. Hera, ingat kata-kataku baik. Aku bisa menahan kelakuan Indri tapi tidak dengan suaminya." Setelah Nicholas berjalan menjauh dari kamar tersebut.

Indri mengepalkan tangannya erat sedang wajahnya penuh kemarahan meski air mata menguncur deras. Dalam hati dia mengumpat sejadi-jadinya karena tingkah Taffy dan Nicholas. Indri pikir setelah menyingkirkan Maria dari keluarga lalu menikahi pacarnya, hidupnya akan bahagia tapi dia sekarang terpuruk akan sikap dari keluarga ini.

Hanya Hera Ibu mertuanya yang memberikan perhatian dan selain itu tak ada. Susah payah Indri membuat Taffy membenci Maria, merebutnya bahkan memaksa menikah dengan cara hamil. Perlakuan yang dia terima tidak setara dengan apa yang dia lakukan. Indri harus diberikan apa yang seharusnya dia dapatkan!

💟💟💟💟

Sepanjang perjalanan tak ada satu pun kata yang terucap di bibir Zen dan Maria. Pada awalnya Zen memandang jendela mobil. Sesekali dia melirik pada Maria yang juga menatap keluar dari jendela mobil namun saat diperhatikan Zen menyadari sepasang mata Maria menerawang kosong.

"Pak berhenti dulu di restoran, kami ingin makan siang sebentar." Sopir mengangguk lalu menghentikan mobil di sebuah restoran pasta.

"Mungkin agak lama kami ada di sini jadi kau boleh beristirahat."

"Terima kasih Tuan." Zen selanjutnya menyentuh pundak Maria dan wanita itu menoleh ke arahnya.

"Ayo turun kita makan siang." Maria mengikuti saja perintah Zen meski tampangnya menunjukkan kalau dia melongo. Mereka berdua masuk lalu mengambil tempat untuk makan.

"Kenapa kau melamun dari tadi?" tanya Zen setelah memesan menu makanan.

Maria memberikan senyum hambar. "Apa itu penting untukmu?"

"Kau ini, kan patnerku. Apa aku tak bisa bertanya tentang suasana hatimu?" Masih dengan senyuman hambar, Maria mulai berbicara tentang apa yang dia rasakan.

Sakit hati saat melihat Indri hamil anak Taffy dan bayangan senyuman wajah dari mantan suaminya. Bayangan masa lalu juga makin membuat dadanya sesak setengah mati.

"Setelah mereka melakukannya semuanya padaku mereka tak pantas bahagia terutama Indri ... dia benar-benar menjengkelkan."

"Apa yang dia lakukan padamu?" tanya Zen penasaran.

"Dia membuatku keguguran." Sepasang mata Zen membulat.

"Aku mengatakan bahwa itu bukan kecelakaan tapi mereka tak percaya dan malah menyalahkanku karena tak bisa menjaga diri. Bukankah itu ironis Zen?" Sepasang tangan Maria menahan amarah sedang senyuman hambar berganti menjadi senyuman picik.

"Itu sebabnya kau boleh memusatkan perhatian pada mereka untuk membalas dendam tapi Taffy dan Indri adalah bagianku. Kau tak boleh ikut campur urusanku dengan mereka, apa kau mengerti?" Sama seperti Maria, Zen membuat senyuman sinis.

"Baiklah aku tak akan mencampuri urusanmu asal kita bekerja sama. Ayo kita ubah topik membosankan ini, kau mau bertanya apa padaku?" Maria memicingkan kedua matanya.

"Buat apa aku bertanya padamu? Kau itu tak penting dan jangan katakan alasannya bahwa kita patner." jawab Maria berusaha membuat Zen membungkam mulut.

Tak terlihat Zen marah malah dia tertawa kecil. "Kalau begitu alasannya adalah kita sepasang suami istri. Sebagai seorang istri kau boleh bertanya padaku,"

"Eh, kenapa mendadak berubah jadi pasangan suami istri? Kita, ini kan hanya menikah palsu,"

"Bertanya saja jangan banyak omong." Maria mendengus lalu berpikir sembari menatap Zen. Wajah yang tampan, tubuh proposional, semuanya tak luput dari perhatian. Terpikir tiba-tiba, dengan kesempurnaan yang dimiliki oleh Zen, apa dia tak punya seorang wanita?

"Zen, apa kau punya pacar?" Pria itu langsung menggeleng.

"Apa kau yakin? Kau itu terlihat tampan, masa tak punya pacar?"

"Iya aku serius. Sebenarnya banyak sih wanita yang mau bersamaku tapi aku tak tertarik. Semuanya memiliki sifat yang sama. Sombong tapi bodoh jadi menurutku mereka tak memenuhi kriteriaku tapi jika dipikir sampai sekarang ada satu wanita yang menarik perhatianku." tutur Zen seraya tersenyum simpul.

"Oh ya, siapa?"

"Kau." jawabnya lugas. Maria terpaku beberapa saat kemudian menunjuk dirinya sendiri.

"Ak-aku?" beo Maria seperti orang bodoh. Wajahnya pun sekarang merona dan makin merah saja saat Zen mengangguk membenarkan..

"Ka-kau bercanda bukan?"

"Tidak aku serius." Mendadak suasana yang dirasakan begitu canggung. Maria kesulitan menanggapi apa sementara Zen tertawa pelan melihat betapa salah tingkahnya wanita itu di depan dirinya.

"Ke-kenapa?"

"Yah karena kau beda. Ingat saat pertama kali bertemu, aku sangat suka dengan tatapan dinginmu dan mengatakan ingin balas dendam ... auramu kentara sekali." Maria tak mendengar malah dia sibuk menenangkan hati yang berdegup kencang.

"Ak-aku pikir kau mempunyai pacar atau lebih mungkin?" Mendadak wajah Zen berubah muram.

"Itu tak akan pernah terjadi. Aku tak akan menyakiti hati seorang wanita karena aku tahu bagaimana rasanya ... Ibuku korbannya dan aku tidak ingin terjadi pada wanita mana pun. Cukup Ibuku saja yang mengalaminya."

Zen tertekan ketika memikirkan penderitaan sang Ibu. Ingatannya masih segar saat melihat Ibunya menangis setiap malam sebab ulah dari pria berengsek yang adalah Ayahnya sendiri. Maria menyadari hal tersebut dan ya perasaannya jadi bersalah.

"Maaf, aku menyesal seharusnya aku tak mengatakan hal itu ...."

"Tidak kau tak salah kok, aku saja yang terlalu terbawa perasaan." Pelayan akhirnya datang dengan membawa makanan yang pesan. Zen dan Maria pun menyantap tanpa berbincang hingga makanan itu habis.

Setelah membayar, keduanya kembali masuk ke dalam mobil untuk pulang. "Pak antar saya ke perusahaan,"

"Baik Tuan."

"Ada pekerjaan ya?"

"Iya kau saja yang pulang duluan." Zen langsung turun dari mobil begitu sampai meninggalkan Maria yang berada di dalam mobil. Menatap punggung Zen yang semakin lama menjauh.