"Wah orang-orang mulai banyak berdatangan." ujar Maria melihat dari lantai dua di mana semua para tamu undangan. Memakai baju yang rapi, tampak juga mereka mengenakkan topeng sesuai dengan peraturan.
Zen dan Maria lantas mengenakkan topeng mereka lalu ikut membaur mereka semua. Dari banyaknya tamu undangan, perhatian mereka terpusat pada keluarga Paulo.
"Selamat datang semuanya di pesta keluarga Pranaja! Pesta kali ini tentu saja merayakan ulang tahun pernikahan Ayah dan Ibu angkat saya dan sudah menjadi tradisi bagi keluarga Pranaja untuk merayakan ulang tahun pernikahan mereka. Saya sebagai pihak keluarga Pranaja berterima kasih atas kedatangan kalian karena sudi datang di acara kami."
"Selain menyambut ulang tahun pernikahan ada juga kabar baik di mana saya akan memperkenalkan istri saya pada semua orang. Tapi sebelum itu ayo kita buka hadiah untuk ulang tahun pernikahan Ayah dan Ibu yang disiapkan oleh semua anggota keluarga."
Dua pelayan membawa sebuah figura foto yang besar ke depan dan Zen langsung melepaskan kain putih yang menutupi figura tersebut. Tampaklah lukisan Saga dan Lizzy yang dibuat sangat cantik.
Lukisan tersebut sebenarnya sebuah foto lama saat Lizzy dan Saga masih muda. Foto tersebut agak usang jadi Zen membuat ide untuk membuat ulang namun dengan skala besar. Dari kejauhan Vendri, Vella dan Erik tersenyum.
"Indah sekali ... Zen tahu bagaimana caranya membuat Ayah dan Ibu senang."
"Yah seperti itulah. Semenjak kita bertiga menikah, Ayah dan Ibu hidup berdua saja dan setelah Ayah meninggal Zen selalu berada di samping Ibu."
"Dia itu adalah adik kita juga. Aku jadi semakin yakin kalau dia akan menjadi pemimpin yang baik untuk perusahaan kita."
Vendri dan Vella hanya mengangguk sebagai tanda setuju akan persetujuan perkataan Erik.
"Tinggal beberapa hari lagi." gumam Vendri tersenyum. Tinggal beberapa hari lagi jabatan Presdir akan di duduki oleh Zen. Setelah pidato selesai, Zen menghampiri Maria yang tersenyum.
"Kau hebat sekali."
"Itu biasa aku memang selalu seperti itu." ucap Zen memuji diri dengan senyuman angkuh.
"Ck, dasar baru segitu sudah sombong."
"Zen!" Keduanya menoleh pada tiga pasangan yang mendekat. Maria hanya diam saja kala Zen berbicara dengan mereka. Dari percakapan itu Maria mengetahui bahwa mereka adalah anak dari keluarga Pranaja.
"Lizzy, perkenalkan mereka keluarga besar Pranaja. Ini Vendri dan istrinya Ivana." ucap Zen seraya menunjuk salah satu pasangan.
"Ini Vella saudara kembar Vendri dan juga ada Edward suaminya. Ini Erick dan istrinya Sarah."
"Semuanya ini istriku namanya Lizzy."
"Lizzy? Namamu seperti ibu kami. Jangan-jangan kau mirip lagi dengan beliau." Erick kemudian tertawa namun tidak dengan Maria dan Zen. Mereka malah saling memandang.
Tatapan Maria menangkap sosok Taffy yang membuatnya langsung mengundurkan diri. "Senang bisa bertemu dengan kalian maaf aku harus pergi senang bisa bertemu dengan kalian."
Maria berlalu pergi begitu saja meninggalkan Zen beserta ketiga saudara angkatnya. "Silakan nikmati pestanya, aku akan keliling dulu untuk menyambut beberapa tamu penting."
Zen bergerak mendekat pada pasangan Paulo. Orang yang paling dia benci dan menyakiti Ibunya. Siapa lagi kalau bukan Ayahnya sendiri. "Selamat datang Tuan dan Nyonya Paulo, terima kasih atas kedatangannya."
"Tentu kami datang. Ini adalah pesta resmi." Hera menampakkan ketidaksukaan melihat Zen dan suaminya itu berbicara secara akrab. Jadi dia pun mengucapakan sesuatu yang tak sopan.
"Zen kau beruntung sekali. Kau tinggal di rumah keluarga Pranaja padahal kau bukanlah bagian dari keluarga ini, begitu juga mendapat hartanya padahal kau itu hanya anak angkat oh tidak ... tidak kau ini anak dari hasil hubungan gelap." Akhir dari kalimat itu sengaja dia besarkan agar semua orang bisa mendengar.
Beberapa dari orang mulai berbisik-bisik sementara Zen menampakkan wajah tenang. Hera melakukan hal ini lagi. Peristiwa yang sama terjadi saat Lizzy masih ada dan wanita itu membelanya. 'Hehehe kau tak punya lagi seseorang yang akan membantumu. Ibumu yang sombong itu sudah tak ada lagi.'
Zen tertawa. Pikirannya teringat akan nasihat yang diberikan oleh Ibu angkatnya. "Zen, kenapa kau diam saja saat harga dirimu diinjak-injak seperti itu?"
"Ibu, yang dia katakan itu benar. Aku anak haram."
"Kalau ya memangnya kenapa? Zen, meski kau melakukan apa pun tapi itulah faktanya tapi kau juga punya harga diri. Buktikan pada mereka bahwa kendati kau anak haram, kau harus menjadi lebih kuat dari mereka. Jangan biarkan mereka menginjak-nginjak harga dirimu hanya karena hal itu! Apa kau mengerti?"
"Ya aku memang anak haram tapi setidaknya aku punya etika. Apa kau sadar aku adalah pemilik dari pesta ini?" Sontak Hera dipandang kesal oleh beberapa orang terutama suaminya.
Sifat Taffy yang keras adalah turunan dari sifat dari Beck(Ayah Taffy dan Zen). "Kalau aku mau, aku bisa saja mengusirmu dari tempat ini karena tak berlaku tak sopan terhadapku." Zen kemudian mendekat satu langkah.
"Tuan Beck Paulo sebaiknya ajarkan istrimu untuk berlaku tak sopan jika tidak aku juga tak akan sungkan mengungkapkan hubungan di antara kita. Ingatlah jika semua orang yang ada di sini juga di antaranya terdapat beberapa orang yang menjadi rekan bisnismu. Bagaimana jika mereka tahu kalau kau pernah menelantarkan seorang wanita yang mengandung anakmu sendiri karena malu dan memperlakukan secara tak pantas pastinya perusahaanmu akan merugi besar bukan?"
Tubuh Beck bergetar menahan geram dan hanya bisa diam. Matanya memandang kesal pada Hera lalu menarik sekencang mungkin istrinya untuk berbicara empat mata. Sedang itu Maria berdiri tak jauh dari Taffy.
Menatapnya diam-diam dengan sorot mata tajam. Maria menerima pemikiran Zen yang meminta agar dia mendekati Taffy kalau bisa rebut hatinya dan ketika Taffy sangat percaya padanya barulah dia menjatuhkan kepercayaan pria dingin tersebut.
"Kepercayaan lebih besar dari perasaan cinta. Jika kau mematahkan kepercayaan itu maka imbasnya akan jauh lebih besar ketimbang patah hati jadi rebut kepercayaannya. Kau mengerti?"
"Nona Lizzy," Maria menoleh pada Taffy dan memberikan senyuman manis yang palsu untuk pria itu.
"Kenapa kau memandangku secara diam-diam."
"Maksud anda? Aku tak mengerti?" tanya Maria menunjukkan tampang sok polos.
"Jangan pura-pura bodoh aku tahu kau mencuri pandang dari sini." Maria tertawa anggun.
"Wah Tuan Taffy kau jeli juga ya, apa tak boleh aku memandangmu? Kau adalah anggota keluarga juga. Bagaimana? Apa kau suka dengan pestanya?"
"Bagus. Berkelas sekali. Tak kusangka anak seperti Zen bisa merayakan pesta seperti ini. Ada bagusnya dia diangkat oleh keluarga ini." Sudah jelas makna dalam kalimat Taffy. Dia ingin mengatakan bahwa Zen adalah anak haram dan sebab itu Maria menahan kemarahannya dalam hati.