Hari itu hujan turun dengan derasnya. Sosok anak kecil menangis di depan sebuah batu nisan dan dengan lirih memanggil Ibu. Tak jauh, sebuah mobil berjalan melewati si anak kecil dengan pelan.
Jalan agak sedikit licin jadi harus berhati-hati. Di dalamnya tampak ada seorang wanita tua yang berpakaian hitam. Dia pun baru kehilangan sosok yang amat dicintai.
Suaminya baru saja pergi meninggalkan dia dan yang bisa dilakukan oleh wanita tua itu hanya memandang sosok suaminya di foto.
Wanita itu membuang napas lalu mengedarkan pandangan ke arah jendela mobil. Sepasang matanya yang masih melihat dengan jelas segera terpaku pada sosok anak kecil tersebut. "Berhenti," sopirnya segera melakukan apa yang diminta oleh majikannya.
"Ayo keluar." Si sopir lantas keluar dan membuka payung yang dia bawa. Dibukanya pintu mobil lalu wanita tua itu turun. Dia menghampiri si anak kecil kemudian mengusap rambutnya.
"Nak, kenapa kau berada di sini?" Si anak kecil mendongak dan bertemu pandangan dengan mata hitam wanita tua itu.
"Ibu ... meninggal, Ayah membuangku. Aku tak punya keluarga lagi." Anak kecil itu kembali menangis dan kali ini suaranya lebih keras. Si wanita tua diam sesaat sebelum kemudian menghapus air mata anak kecil itu.
"Jangan menangis, nasibmu benar-benar malang. Sungguh tega pria itu membuangmu terlebih Ibumu sudah pergi tapi dia tak mempedulikanmu. Pulanglah bersamaku, aku akan mengadopsimu sebagai anakku dan temani aku di masa tuaku karena aku juga baru saja kehilangan seseorang yang paling berharga." Raut wajah dari si wanita tua itu membuat si anak kecil terenyak.
Dia bisa melihat air mata turun mengalir ke pipi. Lantas si anak kecil menyuruh si wanita tua itu menunduk dan setelah itu si anak kecil menghapus air mata yang keluar dari wanita tua tersebut. "Jangan sedih, aku mau tinggal sama Nenek." Wanita tua itu tersenyum lalu menggapai tangan si anak kecil.
"Namamu siapa?"
"Zen." jawab anak kecil itu singkat.
"Zen, mulai sekarang kau adalah anakku. Kau bisa memanggilku Ibu Lizzy, mengerti?" Zen mengangguk dan dari situlah Zen diadopsi menjadi anak dari janda tua kaya bernama Lizzy Cetta.
💟💟💟💟
Zen membuka matanya. Dia menoleh ke samping dan menemukan foto di mana dirinya masih kecil bersama Ibu angkatnya.
Pria itu membuang napas lalu bergerak ke gorden dan menyingkap hingga cahaya matahari masuk ke dalam kamar miliknya sendiri.
Begitu mengenakan jas miliknya, Zen keluar dari kamar. Dia turun dari lantai dua dan mendapati Maria sedang sibuk membaca beberapa dokumen yang membuatnya pusing. Zen memandang dengan jeli bahwa wanita yang dibantunya itu tengah kepayahan.
"Apa kau sudah menyelesaikan apa yang aku minta?"
Maria memasang wajah cemberut. "Ini susah sekali. Ibumu itu perfeksionis, aku mana bisa seperti dia."
"Terserah apa katamu tapi kau harus sama seperti dia." ucap Zen tiba-tiba menyahut.
"Kenapa?"
"Karena dengan sifatnya kau bisa melawan mereka. Ibu angkatku itu memiliki sifat yang sangat keras kepala, angkuh dan tak mau dipojokkan. Meski dalam keadaan sulit sekali pun dia masih bisa melawan orang-orang dengan perkataannya."
"Zen, aku tak mungkin berubah menjadi seperti dia dalam sekejap."
"Dan itu yang kulakukan sekarang agar tak membuang-buang waktu. Aku ingin kau menguasai segala tentang Ibuku secepatnya." Maria masih menampakkan wajahnya yang muram.
"Kalau begini, aku juga tak akan bisa melakukannya. Aku ingin belajar dari ahlinya, panggil Ibumu kemari dan aku akan menguasai sifatnya dengan singkat." Zen lantas memandang pada Maria.
"Kau mau bertemu dengan Ibuku? Baik, kita pergi."
"Ke mana?"
"Tentu saja pergi menemui Lizzy. Bersiaplah, aku akan menunggu kau di depan dengan mobil." Maria terkejut dan bergegas secepat mungkin ke kamar untuk mengganti baju.
Zen melirik pada jam tangan yang dipakainya. Dia berdecak sebal sebab terlalu lama menunggu. Tampaklah Maria berlari kecil menghampiri Zen.
"Maaf aku agak lambat ayo." Pria itu kemudian melengos masuk ke dalam mobil bagian pengemudi sedang Maria di sebelahnya. Tak ada percakapan di antara mereka membuat suasana canggung mendadak.
Maria menatap pada Zen sesekali namun kemudian memandang ke jendela kaca mobil dengan pandangan menerawang. Tiba-tiba saja Zen menghentikan laju mobilnya. Dia keluar dan memasuki toko bunga yang letaknya di pinggir jalan.
Agak lama Maria menunggu sampai pria itu datang kembali membawa tiga buket bunga yang indah. "Zen, kau membeli tiga bukankah yang kita kunjungi hanya Ibu angkatmu saja?"
"Sebentar lagi kau juga akan tahu." balas Zen datar. Sekali lagi selama perjalanan mereka berdua diam hingga di tempat tujuan. Tempat pemakaman. Mobil Zen berhenti dan pria itu menyuruh agar Maria mengikuti langkahnya.
Berhentilah langkah Zen di depan tiga batu nisan yang indah. Terukir nama yang jelas terlihat. Lizzy Cetta. Mata Maria membelalak lalu menoleh ke arah Zen. Sorot datar berubah sendu. "Aku datang Ibu Lizzy."
Zen kemudian memberikan buket bunga pada makamnya Lizzy lalu beralih ke samping di batu nisan lainnya dengan nama Saga Pranaja. Satu buket lagi dia berikan pada makam di samping kirinya dengan nama Ira.
"Jadi Ibumu ... sudah meninggal?" Zen mengangguk.
"Aku hanyalah anak adopsi yang dia temukan menangis di depan makam Ibunya. Dia membawaku pulang dan memberikanku kasih sayang seorang Ibu sampai dia meninggal. Mungkin karena kami kehilangan seseorang yang paling disayangi saat itu jadi kami berdua saling mengerti satu sama lain."
"Makam satunya adalah makam suaminya ... Saga Pranaja dan yang satu ini ...." kata Zen seraya menunjuk pada makam di samping makamnya Lizzy.
"Dia Ibuku ... Ibu kandungku. Dia adalah penyebab kenapa aku membalas dendam pada keluarga Paulo." Kening Maria mengerut.
"Apa yang menimpa Ibumu?" Terdengar Zen menarik napas berat kemudian mengeluarkannya secara panjang.
"Ibuku tewas dalam kecelakaan tunggal. Aku percaya keluarga Paulo yang menyebabkan semua ini karena aku ... adalah salah satu dari mereka."
"Mereka?"
"Ya ... aku anak keluarga Paulo tapi dari Ibu yang lain. Ibuku dulunya seorang pelayan dan dengan kejinya pria yang pernah kau sebut Ayah Mertua itu meniduri Ibuku. Bukan cuma sekali tapi berkali-kali hingga dia hamil. Ibu meminta pertanggung jawaban namun keluarga Paulo tak mengizinkan hal itu dan berakhir dengan dipecatnya Ibu. Si pria bajingan malah menikahi wanita lain." Sekujur tubuh Zen bergetar hebat.
Maria yakin Zen sebenarnya tak sanggup menceritakan hal ini pada dirinya dan entah kenapa Zen merasa bersalah . Disentuh pundak pria itu yang membuat Zen otomatis memandang Maria. "Jangan lanjutkan .. jika itu menyakitkan, jangan ceritakan lagi."
Zen tertegun. Ditariknya Maria lalu memeluk tubuh mungil wanita tersebut.