Sepeninggal Zen, Maria berada di balkon sendirian seraya menatap langit. Untuk sesaat pandangannya kosong sampai sebuah panggilan dia dapatkan.
Maria melirik sebentar pada layar ponselnya dan ketika matanya melihat nama "suami pengkhianat" senyuman smirk muncul begitu saja. Entah kenapa rasa marah menyelimuti dirinya lagi.
Wanita itu berdeham sebentar lalu menerima telepon itu. "Halo,"
"Halo Lizzy, ini aku Taffy."
"Oh Taffy, kenapa kau meneleponku?"
"Tidak hanya saja perasaanku tak enak."
"Perasaan tak enak? Bukankah kalau kau harusnya menelepon istrimu bukan aku,"
"Yah aku juga tidak tahu tiba-tiba saja aku memikirkanmu. Aku jadi gelisah. Kau tak apa-apa, kan?"
"Jangan khawatir, aku baik-baik saja."
"Kalau begitu maaf mengganggu. Aku tutup teleponnya."
"Baik." Tanpa menunggu putusnya sambungan, Maria memilih untuk memutuskan teleponnya.
"Cih, sok peduli. Dasar pria buaya darat!"
"Apa maksudmu pria buaya darat?" Maria berjengkit kaget. Pundaknya tiba-tiba saja disentuh oleh Zen yang baru saja tiba.
"Ini aneh sekali. Dari tadi kau menangis sekarang tampak kesal. Moodmu cepat berubah." Maria tersenyum getir.
"Bagaimana aku tak kesal, Taffy meneleponku dan mengatakan kalau dia mengkhawatirkanku. Aku merasa kesal sekaligus lucu saja."
"Lucu? Jangan bilang kalau kau suka padanya?"
"Hah? suka padanya? Jangan harap! Aku pun mendekatinya bukan karena punya perasaan padanya melainkan kebencianku saja untuk membalas dendam. Tak lebih! ngomong-ngomong kamu juga aneh."
"Tidak mungkin,"
"Kau tak menyadarinya? Zen, kau selalu terlihat kesal kalau aku berada di dekat Taffy tapi ketika aku bertanya kau malah mengabaikanku. Ada apa sih?"
"Aku cuma membantumu saja."
"Tapi aku merasa tak perlu dibantu,"
"Sudah aku tak mau kita adu mulut hanya karena permasalahan yang sepele." Maria hendak membuka mulutnya, membalas ucapan Zen namun dia tak bisa sebab ponselnya berdering.
Ketika Maria menatap layar ponselnya, dia melihat namanya "suami pengkhianat." bibir Maria mengerut.
Sebenarnya dia tak mau menerima panggilan akan tetapi nantinya dicurigai oleh Taffy. "Halo Taffy, kenapa kau meneleponku lagi?" tanya Maria pura-pura ramah.
"Maaf mengganggumu lagi tapi bisakah kita bertemu?"
"Bertemu?" dengan mata ekornya, Maria menatap Zen dan pria itu tampak tak baik.
"Iya jujur saya masih cemas dengan anda,"
"Tuan Taffy anda baik sekali mau mengkhawatirkan saya tapi saya sudah punya Zen yang begitu memperhatikan saya dan juga apakah sopan seorang istri bertemu dengan suami perempuan lain?" Secara mendadak Zen menarik ponsel milik Maria dan dia pun mengobrol dengan Taffy.
"Halo Taffy, ini suami Lizzy. Aku sudah mendengar obrolan kalian dan aku cukup agak kesal karena kau mau bertemu dengan Lizzy tanpa seizinku."
"Zen, aku hanya ingin bertemu saja tidak lama,"
"Oh ya, baru kemarin kita berpisah kau sudah mau menemui istriku lagi? katakan padaku apa kau memiliki perasaan pada istriku?"
"Zen!?" Maria sengaja meninggikan suara seakan berteriak penuh kekesalan pada Zen sementara wanita itu tersenyum.
"Diam Lizzy aku sedang berbicara sekarang!" balas Zen dengan nada membentak. Namun semua itu hanyalah akting belaka.
"Zen tolong jangan marah pada istrimu, aku tak bermaksud untuk membuat kalian bertengkar." dari balik telepon, mereka bisa mendengar kalau Taffy panik sedang Taffy sendiri tak mengetahui bahwa Zen dan Maria kini setengah mati menahan tawa.
Maria mengambil ponselnya lagi. "Tidak apa-apa Tuan Taffy, aku akan menemui anda. Besok, apa anda punya waktu?"
"Lizzy, aku jadi tak enak dengan suamimu. Aku takut dia akan salah paham karena kita akan bertemu tanpa seizinnya."
"Kalau itu biar aku yang atur, bagaimana besok jam makan siang?"
"Ba-baiklah kalau begitu kita bertemu ya, besok."
"Iya." telepon ditutup, baik Zen dan Maria sama-sama menatap lalu tertawa terbahak-bahak.
"Ah aku tak bisa membayangkan bagaimana wajahnya yang panik,"
"Aku juga. Ayo kita buat drama yang lebih menarik ketika dia telepon lagi tapi aku mau bertanya padamu,"
"Tentu."
"Kenapa kau mau menuruti permintaannya? Kau bukannya benci pada Taffy?"
"Iya itu benar tapi aku ingin memanas-manasi istrinya yang sombong itu. Saat aku menjadi istrinya, Indri selalu mencoba menggodaku dengan memperlihatkan kemesraan di media sosial dan aku ingin membalasnya. Kita lihat reaksinya bagaimana?"
"Oh jadi kau mau foto mesra dengan dia?" ada nada tak suka dari ucapan Zen tapi mungkin karena senang Maria tak memperhatikan sama sekali.
"Kau pikir aku ini bodoh, aku malah memiliki ide yang jauh lebih baik dari itu. Aku tak sabar untuk bertemu dengannya besok." jawab Maria.
"Kalau begitu aku akan memantaumu dari jauh siapa tahu ada sesuatu yang tak terduga."
"Ok, aku tak keberatan."
"Oh ya satu hal lagi, aku lupa mengatakan sesuatu padamu."
"Apa?"
"Aku tak mau kau melakukan kontak fisik dengannya," sekarang barulah Maria merasakan suatu kejanggalan. Dia menatap Zen yang memandangnya lekat.
"Itu, kan mulai lagi. Kau bertingkah aneh, memangnya aku dan kau memiliki hubungan apa?"
"Suami istri." tandas Zen cepat.
"Yang Taffy tahu kita adalah sepasang suami istri, sebagai suami aku tak mau kau mendekatinya, mengerti? Kalau kau tak mengerti juga anggap saja apa yang aku katakan dari tadi perintah." Maria membuang napas pendek.
"Siap bos, aku akan menuruti permintaanmu."
"Nah gitu dong."
"Om! Maria!" keduanya menoleh ke asal suara di mana kedua keponakan Zen melambai ke arah mereka. Tak lama ponsel Zen berdering, rupanya sebuah chat dikirim oleh si kembar.
"Ayo turun kita masak daging panggang." Zen tersenyum lalu membalas setuju.
"Maria, ayo kita turun, mereka mau kita temani mereka piknik."
"Wah itu ide yang bagus, sudah lama kita tak piknik seperti ini." Zen menyusul ketika Maria telah melangkah pergi meninggalkannya. Mereka berdua sudah berada di bawah dekat kolam renang.
"Maria, Maria dan Zen bakar dagingnya ya kami mau bikin sambalnya." Spontan Maria memberikan anggukan pelan sambil tersenyum tipis.
"Baunya enak Zen, tak sabar aku mau makan." ungkap Maria.
"Iya aku tahu, hapus dulu air liurmu." Maria kaget. Dia buru-buru mengelap kemudian mendecak kesal sebab dikelabui oleh Zen yang sekarang cengengesan.
"Dasar bodoh begitu saja sudah tertipu." Tentu saja sebagai wanita Maria agak kesal jadi dia langsung memukul bahu Zen.
Bukannya marah Zen malah tersenyum sedang si kembar menatap mereka dengan semringah. "Sudah kukatakan kita perlu lebih membuat mereka dekat supaya mereka tahu akan perasaan satu sama lain." salah seorang mereka mengangguk setuju.
Di kantor Taffy, pria itu terlihat menggaris sebuah senyuman. Dia tak sabar untuk bertemu, tapi kenapa ya Taffy bersemangat seperti ini?
Kenapa sekarang dia bisa merasakan semangat yang beberapa bulan ini menghilang semacam waktu Maria masih hidup?