Chereads / LOVE WITH [ OUT ] LOGIC / Chapter 23 - Mengunjungi Pabrik

Chapter 23 - Mengunjungi Pabrik

Keesokan paginya, setelah menaruh tumbler kopi pak Ranu di ruangannya, Bhiru mencari Kumala yang tampak tidak terlihat di kubikelnya.

"Kumala kemana?" Bhiru bertanya pada Jono yang kebetulan melintas di depannya, kedua tangannya sibuk memegang cangkir berisi kopi panas.

"Aku barusan ketemu Kumala di pantry," jawab Jono sambil berlalu dengan cepat menuju ke kubikel miliknya.

Melihat pak Ranu belum datang, Bhiru mengambil kesempatan itu untuk bergegas menemui Kumala di pantry dan ia menemukan sahabatnya itu sedang duduk sambil mengaduk teh di cangkirnya sambil melamun.

Teringat akan pertemuannya dengan Bian semalam, Bhiru tidak bisa menahan diri untuk bertanya pada Kumala soal Bian.

"Kum." Suara manis Bhiru membuat perempuan berwajah melankolis itu langsung mengangkat wajahnya sejenak dan masih mengaduk teh di cangkirnya.

"Serius amat ngaduknya?" Bhiru kembali menegur sambil meletakan satu cup kopi yang ia beli di kafe Mia yang sebenarnya untuk Kumala.

"Aku lagi berpikir, Bhi." Kumala menjawab dengan nada yang terdengar gelisah.

"Aku belikan kamu kopi istimewa nih." Bhiru mendorong pelan cup kopi berisi Cafe de Olla. Bhiru sengaja membelikannya karena menurutnya rasa dan aroma kopi itu istimewa dan ingin Kumala mencicipinya juga.

Kumala berhenti mengaduk dan menatap cup kopi berwarna merah jambu dengan logo kafe Mia yang disorongkan Bhiru ke dekat cangkir tehnya.

"Makasih, Bhi. Tapi aku lagi nggak minum kopi."

"Kenapa? Ini enak lho meski awalnya terasa aneh." Bhiru menyesap sedikit kopi miliknya yang sama seperti ia berikan pada Kumala.

"Lambungku sedang kurang sehat."

"Ooh…" Bhiru sebenarnya kecewa Kumala menolak pemberiannya. "Ngomong-omong...Aku ketemu Bian semalam." Bhiru nyeplos begitu saja tanpa filter seperti kebiasaannya.

Seketika Kumala menatap Bhiru dengan tatapan kaget.

"Katanya kalian sudah..."

"Kami sudah putus, Bhi." Kumala melanjutkan apa yang hendak dikatakan Bhiru dan tampak begitu tenang.

"Ooh…"

"Sudah lama," tambahnya sambil terus mengaduk tehnya.

"Kenapa nggak pernah cerita ke aku kalau kalian putus? Pasti kamu pernah mengalami masa-masa yang berat banget ya, Kum?" Bhiru menopang dagunya sambil menatap Kumala lekat-lekat. Wajah Kumala selalu terlihat melankolis, baik sedang senang mau pun sedih. Jadi Bhiru yang sudah mengenalnya lama pun masih kesulitan menebak isi hati Kumala.

"Berat apanya, Bhi? Aku malah senang putus darinya." Kumala tersenyum lebih lebar dan benar-benar tampak bahagia.

"Lantas yang tempo hari kamu telepon dengan mesra itu pacar baru kamu ya Kum?" tanya Bhiru penasaran.

Kumala mengangguk singkat sambil meminum tehnya dengan anggun.

"Baguslah. Ngomong-omong, kamu nggak ada niat mengenalkan pacar baru kamu ke aku dan Jenar nih?" Bhiru benar-benar penasaran seperti apa dan bagaimana pacar baru Kumala.

Kumala meletakan cangkirnya perlahan.

"Tentu akan aku kenalkan."

"Kapan?"

"Menunggu waktu yang tepat dong. Doi orangnya sibuk banget Bhi. Jadi kalau waktunya sudah pas, aku bakalan kenalin ke kamu deh."

"Asyik. Ngomong-omong doi seperti apa? Apa aku dan Jenar kenal? Aku ikut senang lihat kamu bahagia."

"Dia…" Kumala menatap Bhiru lekat-lekat. "Dia punya pekerjaan yang bagus, baik, perhatian dan juga…"

"Juga apa?"

"Tampan." Kumala kembali tersenyum sambil membayangkan paras kekasih barunya.

"Wow! Aku jadi tambah penasaran. Bagaimana kalau kita bikin double date? Kamu sama dia dan aku sama Langit." Bhiru dengan tidak sabar mengguncang-guncang punggung tangan Kumala.

"Kapan-kapan ya. Kalau doi ada waktu."

"Iya, kamu atur aja kapan bisanya. Kalau aku sama Langit mah punya banyak waktu bebas."

"Jenar diajak juga ya." Kumala memasukan Jenar ke dalam rencana mereka pula.

"Jenar? Memang dia bakal mau? Mau jadi laler di antara kita berempat?"

"Bisa aja kamu, Bhi. Jenar bukan laler. Malah bagus kalau ajak dia. Biar Jenar punya motivasi buat cari pasangan."

"Benar juga. Itu cewek mentang-mentang cantik suka banget pilah-pilih cowok."

"Jenar nggak salah, Bhi." Kumala membela Jenar. "Ibarat pilih skincare untuk tubuh kita sendiri, kita pasti juga suka pilah-pilih, bukan? Mana yang cocok di kulit? Mana yang nggak bakalan bikin breakout apalagi sampai bikin kulit kita jadi nggak karuan?"

"Iya juga sih."

"Makanya tetap harus pintar-pintar memilih."

"Kayak aku kan pintar memilih." Bhiru membanggakan dirinya. Langit adalah yang terbaik di antara banyak pria yang pernah ia kenal selain Ayahnya.

"Dasar." Kumala bergumam terdengar kesal dengan Bhiru yang kelewat membanggakan dirinya sendiri.

"Aku doain Jenar bakal dapat jodoh yang dia inginkan," ucap Bhiru sambil meneguk kopinya kembali.

"Aku nggak didoakan juga?" Kumala menagih dengan serius.

"Iya, kamu juga aku doakan. Semoga langgeng sampai pelaminan. Jangan gonta-ganti mulu," sahut Bhiru sambil tertawa di akhir kalimat.

"Makasih doanya, Bhi." Kumala menyentuh lembut punggung tangan Bhiru.

"Aku balik duluan ke ruangan ya." Bhiru harus bergegas kembali ke ruangan takut pak Ranu sudah datang dan mencarinya.

"Iya. Sana buruan. Aku masih ingin di sini sedikit lebih lama." Kumala kembali mengangkat cangkir tehnya dan menyesapnya perlahan.

Benar saja perkiraan Bhiru. Bosnya itu sedang berkacak pinggang di depan kubikelnya. Menunggui sang pemilik kubikel alias Bhiru yang kosong ditinggal penghuninya ke pantry buat bergosip.

"Bapak cari saya?" Bhiru menegur dengan suara terengah karena tadi ia langsung berlari menghampiri pak Ranu. Lumayan takut jika pak Ranu marah padanya.

Tapi nyatanya pak Ranu hanya berkata, "ikut saya ke pabrik."

"Sekarang, pak?"

"Iya." Pak Ranu seperti biasa mendahului pergi.

"Haduh ngapain juga ke pabrik…" Bhiru agak malas sebenarnya jika harus ke pabrik yang selalu panas bikin gerah dan kehadirannya di sana akan selalu menuai siulan usil dari para pekerja pabrik yang notabene 90 persen adalah pria. Bhiru pernah mengalaminya beberapa bulan yang lalu ketika ia harus mengecek ke pabrik yang letaknya sekitar satu kilometer dari kantor. Saat itu Bhiru datang bersama Jono hendak mengecek barang yang akan siap ekspor ke Jepang dan langsung menuai siulan dan rayuan nakal dari para pekerja.

Bhiru yakin kali ini ia juga akan mengalami hal yang sama. Apalagi hari ini ia dandan terlalu feminim dengan rok A-line selutut yang dengan jenis kain yang ringan dan gampang tertiup angin.

Kalau sudah begini, apa boleh buat. Bhiru berharap mulut para pekerja itu tidak akan ada yang berani mengganggunya jika ia bersama pak Ranu yang cukup ditakuti di perusahaan.

"Kamu nggak punya sepatu yang lain?" Pak Ranu bertanya setelah Bhiru naik ke atas mobil dan duduk manis di sampingnya. Sorot mata tajamnya langsung tertuju ke high heels hitam cantik tujuh koma lima senti milik Bhiru.

"Ada pak, di kolong meja saya," jawab Bhiru tenang tapi heran kenapa pak Ranu mempermasalahkan sepatunya.

"Sepatu yang seperti itu juga?"

"Iya. Cuma beda warna." Bhiru belum mengerti mengapa pak Ranu menanyakannya. Memangnya ada yang salah dengan sepatunya?

Pak Ranu menghela nafas seolah kesal.

"Mulai besok kamu harus simpan sepatu khusus lapangan seperti yang saya pakai di kolong meja kamu," katanya sambil mulai menjalankan mobilnya.

Mata Bhiru melihat ke arah sepatu kulit bertali yang dikenakan pak Ranu. Itu adalah jenis sepatu yang sering dikenakan para pekerja di pabrik. Cuma bedanya punya pak Ranu adalah sepatu berkualitas paling bagus tidak seperti sepatu di pabrik mereka yang berkualitas biasa saja.

Setelah berkendara sekitar lima belas menit, mobil yang ditumpangi mereka memasuki area pabrik. Bhiru menghela nafas panjang sambil membayangkan situasi di dalam. Panas, kotor penuh oli, suara berisik mesin-mesin pabrik yang sedang beroperasi dan siulan-siulan dari para pekerja bermulut usil.

Bhiru kembali menghela nafas panjang sambil mengikuti kemana pak Ranu melangkah dan membuatnya kuwalahan mengikuti langkahnya yang panjang.

Sebenarnya kali ini bukan pertama kalinya Bhiru ke pabrik, dan tidak pernah ada masalah dengan sepatu yang selalu dipakainya dan itu karena sebelumnya ia datang bersama Jono yang melangkah dengan santai seolah-olah mereka sedang berjalan di pantai.

Tetapi kali ini sepatunya itu terasa begitu menyusahkan karena ia datang bersama pak Ranu yang punya tinggi 189 sentimeter dan punya langkah panjang yang tentu saja menyusahkan bagi liliput seperti Bhiru untuk menyamai langkahnya.

Damn! Jadi ini maksud pak Ranu memintanya mengenakan sepatu khusus lapangan? Agar ia bisa mengejar langkah panjang pak Ranu! Bhiru akhirnya mengerti juga.