Demi semua dewa di altar sembahyang mendiang akongnya! Bhiru berdoa semoga bosnya itu terpeleset!
GEDEBUG!
Tapi apesnya malah Bhiru yang tiba-tiba terpeleset dan bokongnya mendarat cukup keras di lantai pabrik yang licin karena ceceran oli. Membuat pak Ranu sontak berhenti dan menoleh ke belakang untuk melihat posisi Bhiru yang tampak kurang pantas untuk dilihat dengan rok tersibak hingga memperlihatkan sebagian besar kedua pahanya yang mulus.
Dengan sigap bosnya itu langsung melepas jasnya dan langsung menjatuhkannya di atas rok Bhiru yang tersingkap.
"Aduuuh…" Bhiru meringis sambil mengusap-usap bokongnya yang nyeri tapi matanya memindai ke seluruh area, bersyukur karena tidak ada yang melihat kesialannya selain pak Ranu.
Membantu Bhiru bangun, bosnya itu mengulurkan tangan kokohnya.
"Makasih pak," ucap Bhiru dengan bibir meringis kesakitan saat pak Ranu menariknya bangun.
"Ini jasnya, pak." Bhiru hendak mengembalikan jas pak Ranu namun bosnya itu malah menolak.
"Pakai saja dulu untuk menutupi rok kamu." Pak Ranu kembali melangkah setelah mengatakannya.
Bhiru menunduk memeriksa rok warna cream-nya yang kini kotor dengan noda oli.
"Ya Tuhan! Sial sekali aku hari ini. Bakalan susah nyucinya ini mah." Bhiru akhirnya mengikatkan jas pak Ranu di pinggangnya untuk menutupi roknya yang kotor dan lagi-lagi Bhiru harus berhutang budi pada pak Ranu. Tapi Bhiru juga merasa tidak enak hati karena ini adalah kedua kalinya pak Ranu berkali-kali meminjamkan jasnya.
Terseok-seok karena salah satu pergelangan kakinya mulai terasa nyeri, Bhiru menyusul pak Ranu. Tapi kesialannya kembali berlanjut ketika ia melewati area mesin-mesin pabrik yang berukuran sangat besar seperti robot gundam, ia malah mendapat siulan-siulan jahil dari beberapa pekerja pabrik yang sedang mengoperasikan mesin.
"Suit...suiiiiiit!"
"Tumben ada bidadari turun ke pabrik nih!"
"Kakinya kenapa, Neng Bhiru?! Kok jalannya pincang? Sini Aa gendong!"
"Jangan mau, Mbak Bhiru! Sama mas aja! Punggung mas lebih lebar dan nyaman lhooo..."
Bukannya senang mendengar rayuan demi rayuan yang menimpanya, Bhiru semakin ingin cepat-cepat pergi saja dari pabrik. Tapi tugasnya belum selesai dan ia harus bertahan menghadapi rayuan-rayuan gombal mereka dengan wajah terpaksa tersenyum meski masam.
Tapi di antara para pekerja ganjen yang hanya berani menggoda dari kejauhan, seorang pekerja tiba-tiba menghampirinya dan meletakan sepasang sandal jepit berukuran besar di dekat kaki Bhiru.
"Makasih, mas. Nggak usah." Bhiru mundur selangkah.
"Pak Ranu yang suruh, mbak," ujar pekerja yang wajahnya tampak berminyak dengan campuran oli dan keringat itu menunjuk ke arah pak Ranu yang sedang bertemu dengan kepala pabrik dan pak Sabda direktur produksi yang baru.
Tampak pak Ranu yang balas melihat ke arah Bhiru dengan sorot matanya seolah sedang menunggunya mengganti sepatunya dengan sandal jepit.
"Ukuran sandalnya nggak ada yang lebih kecil?" Bhiru menatap sandal jepit dekil seukuran telapak kaki kingkong itu dengan cemas.
"Nggak ada, mbak."
Bhiru mengusap wajahnya dengan frustasi. Kalau tidak memakai sandalnya, ia bakal dipelototi pak Ranu. Tapi kalau dipakai malah bikin malu.
Bhiru kembali melihat ke arah pak Ranu yang tatapannya masih saja menunggunya mengenakan sandal jepit!
"Baiklah." Tak tahan ditatap seperti itu, Bhiru akhirnya mencopot sepatunya dan menggantinya dengan mengenakan sandal jepit yang ukurannya kebesaran.
Menenteng sepasang sepatunya dengan wajah merana, Bhiru menghampiri pak Ranu yang masih serius berdiskusi dengan kepala pabrik dan pak Sabda. Dan Bhiru melangkah bagai anak kecil pincang yang sedang mengenakan sandal jepit seukuran kaki pak Ranu. Bhiru yakin penampilannya sekarang tampak menggelikan hingga para pekerja yang awalnya merayunya bertubi-tubi sekarang berganti menertawakannya.
Tanpa terkecuali pak Ranu. Demi Tuhan, Bhiru bahkan bisa melihat lelaki itu tampak geli melihatnya meski pun bibirnya sibuk berbicara dengan pak Sabda, direktur produksi yang baru dan ternyata jauh lebih tampan dari rumor yang pernah Bhiru dengar belakangan ini.
"Mbak Bhiru nggak apa-apa?" Pak Ujang, nama kepala pabrik itu tampak menatap prihatin pergelangan kaki Bhiru yang mulai memerah.
"Nggak apa-apa kok, Pak Ujang." Bhiru menyahut.
"Masa nggak apa-apa? Habis ini jangan lupa diurut ya? Sakit banget itu pastinya."
"Iya, pak Ujang." Bhiru melirik pak Ranu yang tampak berkacak pinggang dan masih berdiskusi serius dengan pak Sabda.
Menunggu pak Ranu dan pak Sabda berdiskusi di tengah-tengah deru mesin pabrik yang terdengar bising, Bhiru merasa pak Ranu sia-sia saja telah mengajaknya kemari. Sebenarnya maksud dan tujuan bosnya ngotot mengajaknya ke pabrik untuk apa? Jadi CCTV yang cuma bisa menonton saja? Seharusnya pak Ranu tidak perlu mengajaknya ke pabrik. Lain kali jika pak Ranu hendak mengajaknya lagi, ia akan menyodorkan sejuta alasan untuk menolak.
Bhiru kini merasa lelah dan memilih duduk di bangku yang diberikan pak Ujang padanya. Tak lupa menyalakan kipas angin imut berbentuk doraemon untuk mengipasi wajah dan lehernya yang keringatan. Udara di dalam pabrik benar-benar panas dan membuatnya ingin meleleh saja saking panasnya.
"Siapa yang suruh kamu duduk berleha-leha sambil kipasan?" suara pak Ranu membuat Bhiru yang sedang menikmati segarnya angin sontak menoleh.
"Siapa pak? Saya?" Bhiru pura-pura tidak mengerti.
"Siapa lagi kalau bukan kamu?" ucapan pak Ranu membuat Bhiru tersadar bahwa pak Ujang dan pak Sabda telah meninggalkan mereka berdua.
"Lalu bapak maunya saya harus bagaimana selain duduk berleha-leha begini? Pindahin mesin pabrik? Mengoperasikan forklift? Atau mau suruh saya gali sumur juga?" Bhiru dengan kesal menyahut. "Kaki saya lagi terkilir, pak." Bhiru mengangkat kaki kirinya yang tentu saja sedang mengenakan sandal jepit kingkong. Niatnya hanya ingin menunjukan saja agar pak Ranu mengerti kesulitannya. Tapi ulahnya itu malah membuat pak Ranu tiba-tiba jongkok, meraih pergelangan kakinya dan memeriksanya. Membuat Bhiru kaget setengah mati dan sontak salah tingkah.
"Sekarang sudah tahu kan? Bahayanya pakai high heels di area pabrik." Pak Ranu berkata sambil menatap Bhiru dengan matanya yang tajam dan membuat tenggorokan Bhiru seolah tersekat.
"Sepertinya cuma terkilir biasa. Kamu tahan sakitnya sebentar ya." Pak Ranu tiba-tiba melepaskan sandal jepit di kaki Bhiru dan mengurut pelan pergelangan kakinya hingga Bhiru sontak mengaduh kesakitan dan hampir tidak kuat menahan rasa nyerinya. Andai yang sedang mengurut kakinya saat ini bukan bosnya, mungkin Bhiru akan melayangkan keplakan keras di kepalanya.
Pak Ranu berhenti mengurut dan menatap Bhiru yang tampak meringis kesakitan dengan bola mata yang telah basah.
Malu karena ketahuan menangis, Bhiru cepat-cepat mengusap air matanya dan kembali berusaha menahan nyeri ketika pak Ranu kembali mengurutnya dengan lebih lembut dari pada sebelumnya. Bhiru tidak menyangka pak Ranu ternyata mempunyai kemampuan mengurut dan Bhiru akhirnya mulai terbiasa dengan sentuhan jemari tangannya. Meski ia masih meringis-ringis nyeri karenanya.
"Sudah enakan?" pak Ranu bertanya lagi padanya dan menatap Bhiru yang sedang terpaku kagum menatapnya.
Salah tingkah dengan tatapan pak Ranu, Bhiru hanya mengangguk cepat karena merasakan pipinya mendadak menjadi hangat.
"Sampai di kantor nanti kamu bisa kompres pakai es dan minum obat pereda nyeri." Pak Ranu meletakan kaki Bhiru dengan perlahan dan memakaikan kembali sandal jepit dekil yang kebesaran yang tampak aneh dan menggelikan di kaki Bhiru.
"Makasih, pak." Bhiru menunduk menatap ke pergelangan kakinya yang tampak bengkak.
"O iya. Mulai seterusnya kamu jangan pakai rok seperti itu lagi." Perintah pak Ranu membuat Bhiru bengong menatap pak Ranu yang telah berdiri dan memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Kenapa jangan, pak?" Bhiru memandang bingung roknya yang sebagian terbalut jas pak Ranu. Apa yang salah dengan roknya? Toh ukurannya tidak pendek dan tidak menerawang juga jenis kainnya.
"Saya nggak suka," jawabnya singkat membuat Bhiru seketika serba salah. Sebelumnya sepatu sekarang roknya. Besok-besok apa lagi yang tidak disuka dari dirinya?
"Tapi saya suka pakai rok begini, gimana?" Bhiru berkata dengan terdengar menantang. Baru beberapa hari menjadi sekretarisnya, pak Ranu sudah mulai mengatur caranya berpakaian.
"Boleh saja terus pakai. Tapi saya akan potong bonus bulanan kamu." Pak Ranu mengancam tanpa memandang Bhiru.
"Serius, Pak?!" Bhiru berharap pak Ranu bercanda. Tapi mana pernah pak Ranu bercanda?
"Oke...oke!" Bhiru akhirnya setuju demi amannya bonus bulanannya.
Beberapa menit kemudian, Pak Ujang datang dengan mengendarai mobil golf yang biasa digunakan CEO perusahaan jika sedang meninjau pabrik.
"Ayo naik, mbak," pinta pak Ujang sambil turun dari mobil golf yang hanya bisa menampung dua orang saja dan mempersilahkan pak Ranu mengambil alih.
"Naik ini, pak?" Bhiru bertanya heran pada pak Ranu yang telah duluan naik dan memegang kemudinya. Padahal sebelum mobil golf datang, sempat terlintas dalam pikiran Bhiru, pak Ranu akan menggendongnya keluar dari pabrik. Imajinasi liar yang untungnya tidak akan pernah terwujud. Bhiru mensyukurinya.
"Iya. Memangnya kamu mau jalan sampai ke parkiran dengan kaki pincang?"
"Enggak dong pak!" Bhiru bergegas naik dengan susah payah. "Ayo pak, jalan." Bhiru nyengir lebar menatap pak Ranu yang seperti biasa wajahnya datar-datar saja.
"Makasih ya pak Ujang!" Bhiru melambaikan tangannya dengan ceria ketika mobil golf mulai meninggalkan area pabrik.
Sampai di kantor, Bhiru menghubungi Kumala agar segera datang untuk memapahnya masuk ruangan, karena tidak mungkin ia meminta pak Ranu memapahnya dan membuat seisi kantor menjadi gempar.
"Kenapa kaki kamu sampai keseleo begini, Bhi?" Kumala bertanya sambil memapah Bhiru dari sisi kanan menuju ke kubikelnya.
"Apes banget pokoknya. Aku terpeleset di pabrik. Sakit iya malu juga iya." Bhiru kembali mengingat insiden ketika ia terpeleset jatuh di belakang pak Ranu dan bosnya itu sempat melihat roknya yang tersingkap. Semoga saja pak Ranu tidak melihat terlalu banyak selain kedua pahanya.
"Aku panggilkan tukang urut ke kantor ya?" usul Kumala meraih gawainya hendak menghubungi tukang urut langganannya.
"Makasih ya Kum. Sudah diurut kok tadi." Bhiru menjelaskan tanpa mengungkapkan bahwa pak Ranu lah tukang urutnya. Tukang urut paling ganteng sejagad raya. "Nanti tinggal dikompres pakai es saja," sambung Bhiru sambil memandang ke arah Kania yang siang itu kembali datang menemui pak Ranu.
"Yakin nggak apa-apa?" suara Kumala mengalihkan perhatiannya.
"Iya, yakin. Nanti aku telepon Langit supaya jemput pulang kantor nanti."
"Ya udah. Aku ambilkan es sekarang." Kumala meninggalkan Bhiru menuju pantry.
Sepeninggal Kumala, Bhiru menghubungi Langit.