Sorenya Langit datang ke kantor untuk menjemput Bhiru pulang kantor.
Langsung jongkok di dekat Bhiru duduk, Langit memeriksa kaki Bhiru yang kini tampak semakin bengkak dan memar dari sebelumnya.
"Kenapa bisa sampai keseleo?" tanyanya dengan nada cemas. Lelaki itu tampak lelah karena baru saja kembali dari Surabaya.
"Terpeleset di pabrik gara-gara injak tumpahan oli." Bhiru bercerita dengan nada merana.
"Tumben banget kamu ke pabrik? Ngapain?" Langit menatap Bhiru dengan heran. Meninjau ke pabrik bukanlah keharusan dari pekerjaan Bhiru, meski salah satu jobdesc-nya adalah mengurus segala hal tentang eksport import di perusahaan.
Bhiru tidak langsung menjawab pertanyaan itu. Jujur saja ia benci berbohong apalagi pada Langit. Tapi Bhiru belum pernah menceritakan perihal ia telah menggantikan posisi Jenar sebagai sekretaris pak Ranu.
Tapi di kala ia sedang memikirkan alasan yang tepat, malah Kumala yang tiba-tiba buka suara dan Bhiru tak sanggup mencegahnya.
"Ya iyalah lah, Lang. Pekerjaan Bhiru sekarang sudah merangkap jadi sekretaris pak Ranu makanya kemana pun pak Ranu pergi, Bhiru harus ikut. Meski pun pergi meninjau ke pabrik." Kumala menjelaskan sambil menyentuh bahu Bhiru yang mendadak tegang.
"Sekretaris pak Ranu?" Kening Langit langsung berkerut lalu menatap Bhiru dengan tatapan tak mengerti. "Sejak kapan?"
Bhiru nyengir dengan wajah kaku.
"Kenapa kamu nggak pernah cerita?"
"Aku bisa jelaskan." Bhiru balas menatap Langit dengan tatapan bersalah.
"Lho? Kamu belum kasih tahu Langit, Bhi?" Kumala juga mendadak merasa bersalah. Kumala tidak tahu kalau Bhiru belum memberi tahu Langit soal posisi barunya di kantor. "Sorry, aku kira kamu sudah kasih tahu Langit." Kumala berganti menatap Langit yang mood-nya mulai memburuk. "Sorry ya Bhi..." Kumala benar-benar menyesal dan memilih meninggalkan keduanya.
Alih-alih meluapkan kekesalannya karena Bhiru menutupi hal itu darinya, Langit malah menghela nafas samar menahan untuk tidak kesal meski sebenarnya telah terpancar rasa kecewa dari sorot matanya.
"Ayo pulang, kita bicara di mobil saja." Langit membantu Bhiru berdiri dari tempat duduknya lalu merangkul bahunya, memapahnya berjalan.
Ketika berpapasan dengan pak Ranu menuju tempat parkir, Langit melihat atasan Bhiru itu tampak melihat ke arah mereka dengan acuh tak acuh. Namun tetap saja Langit tidak suka dan tiba-tiba saja langsung membopong Bhiru. Hanya untuk menunjukan pada lelaki itu bahwa Bhiru miliknya.
"Aku kan bisa jalan, Lang." Bhiru protes karena malu dilihat oleh orang-orang kantor dan juga pak Ranu.
"Kelamaan kalau nunggu kamu jalan sampai mobil." Langit beralasan sambil terus melangkah, tidak memperdulikan tatapan heran dari orang-orang di kantor Bhiru.
"Ya udah kalau sampai sakit pinggang jangan salahkan aku." Bhiru mengalungkan lengannya di leher Langit.
"Kaki kamu sudah diurut?" Langit bertanya ketika mereka berdua telah masuk ke dalam mobil.
"Sudah." Bhiru menjawab singkat sambil mengenakan sabuk pengaman. Andai Langit tahu siapa yang sudah mengurut engkel kaki tunangannya, lelaki itu pasti akan semakin mencemburui bosnya. Oleh karena itu Bhiru tidak berani menceritakan lebih detail apalagi Langit tidak bertanya siapa yang telah mengurut kakinya.
"Lalu jas siapa yang kamu ikat di pinggang?" tanya Langit lagi sambil menjalankan mobil. Pertanyaan yang langsung membuat Bhiru nyaris kehabisan alasan.
"Oh ini dipinjamin sama Jono buat nutupin rok aku yang kotor." Bhiru membawa nama Jono untuk berbohong karena Langit sudah mengenal baik Jono sebelumnya. Kalau dia terlalu jujur siapa sebenarnya pemilik jas, Langit akan semakin kesal.
Lalu keadaan menjadi hening. Langit yang biasanya bawel memilih diam sambil menatap lurus ke depan jalanan. Bhiru paling benci situasi yang seperti ini. Bhiru tahu lelaki itu sedang kesal padanya.
"Laaang..." Bhiru membuka obrolan untuk mengenyahkan keheningan.
"Ya," sahut Langit acuh tak acuh.
"Jangan marah gitu dong." Bhiru menggamit manja lengan kiri Langit yang sedang memegang tuas kopling.
"Tapi sebelumnya tolong jelaskan dulu kenapa kamu merahasiakannya dari aku soal posisi kamu di kantor sekarang?" tambahnya menagih jawaban Bhiru tanpa melirik sedikit pun.
Bhiru melepaskan tangannya, kembali duduk dengan tegak dan mulai mengatur nafasnya untuk bercerita.
"Aku takut kamu marah, makanya aku sengaja nggak cerita," ungkap Bhiru sambil menunduk menatap jemari tangannya sendiri..
Langit menghela nafas samar, mendengar alasan yang sebenarnya telah ia terka sebelumnya.
"Aku tahu kamu nggak pernah suka dengan pak Ranu."
"Lantas kenapa kamu tetap terima posisi itu?"
"Andai saja aku bisa menolaknya, Lang. Aku nggak ada pilihan lain. Pihak HRD yang sudah menetapkan aku menggantikan posisi Jenar." Tetapi Bhiru menutupi fakta bahwa pak Ranu lah yang sebenarnya telah memilihnya di antara dua kandidat yang diusulkan oleh HRD.
Langit tidak berkomentar dengan penjelasan Bhiru, tetap saja diam.
"Ditambah lagi bonus yang akan aku terima setiap bulannya jadi double. Lumayan kan buat menambah tabungan pernikahan kita?" Bhiru terus menatap Langit. Berharap kemarahan Langit menguap setelah mendengar alasannya barusan..
"Dasar mata duitan." Langit akhirnya bersuara dan membuat Bhiru tertawa karenanya.
"Lagian di dunia ini siapa yang tidak butuh uang?" tangkis Bhiru sengit.
"Bhiru sayang, aku tahu kita butuh uang banyak untuk mewujudkan rencana kita. Tapi tolong jangan terlalu keras pada dirimu. Aku sudah pernah bilang sebelumnya, bukan? Biar aku saja yang banting tulang lebih keras. Jangan kamu," ucap Langit membuat Bhiru sembari mengusap puncak kepala Bhiru dengan lembut. Membuat Bhiru seketika lega, kalau Langit sudah mulai mengusap kepalanya, itu artinya dia sudah tidak marah lagi padanya.
"Jadi sekarang sudah nggak marah lagi nih?"
"Enak saja. Masih lah. Makanya sekarang kamu harus traktir aku makan bakso!"
"Iya...iya...aku yang traktir." Bhiru menyandarkan kepalanya di bahu Langit dan lelaki itu mengecup puncak kepalanya sekilas.
Setelah makan bakso di warung langganan mereka berdua, Langit menerima panggilan telepon sebelum masuk ke dalam mobil. Sementara Bhiru sudah berada di dalam mobil lebih dahulu. Menunggu Langit yang sedang menerima panggilan di luar mobil, Bhiru memainkan game di gawainya.
Beberapa menit kemudian, Bhiru kembali menatap punggung Langit yang belum juga selesai berbicara dengan gawainya.
"Ditelepon siapa sih? Lama bener." Bhiru menutup gawainya dan meletakannya di pangkuan.
Sambil menunggu Langit selesai menjawab telepon, tangan menyalakan tape mobil untuk memutar lagu kesukaannya yang terhubung dengan aplikasi pemutar musik di gawainya. Tapi tiba-tiba matanya menangkap sesuatu yang berkilau di bawah kakinya. Tangannya lalu turun untuk merabanya dan meraih benda berkilau yang ternyata sebuah anting emas dengan model panjang menjuntai dengan batu permata berwarna putih yang berkilau.
Menemukan benda seperti itu di bawah jok, jantung Bhiru mendadak berdebar keras.
"Anting siapa ini?" Bhiru mengamati anting temuannya di atas telapak tangannya. Sudah jelas itu bukan anting miliknya.
Melihat Langit telah menutup pembicaraan, Bhiru menggenggam anting itu dengan erat. Intuisinya berbicara. Ia layak curiga dengan keberadaan anting itu di dalam mobil tunangannya.
"Sayang, ini anting siapa?" Bhiru tanpa basa-basi menunjukannya langsung di depan wajah Langit yang seketika itu sempat terdiam lalu tertawa melihat ekspresi curiga Bhiru.
"Itu pasti anting mbak Mega yang jatuh minggu lalu pas aku antar pergi kondangan." Langit beralasan dengan menyebut nama kakak perempuannya yang tinggal di Bogor.
"Oh ya?"
"Iya. Kamu jangan curiga dong. Sini..." Langit tersenyum sambil mengulurkan telapak tangannya. "Aku akan kembalikan ke mbak Mega. Kasihan dia, sudah mencarinya dari kemarin." Dan langsung mengantongi antingnya di saku kemeja begitu mendapatkannya.
Namun entah kenapa perasaan Bhiru tak kunjung membaik meski Langit telah menjelaskan alasannya dan tampak begitu natural. Bukan seperti sedang berbohong padanya.
Semoga saja anting itu benar-benar milik mbak Mega. Bhiru mencoba untuk berpikiran positif, mengingat mbak Mega yang kelak akan menjadi kakak iparnya memang suka mengenakan dan mengoleksi anting model seperti itu.
Keesokan paginya, gawai Bhiru berdenting. Mengira dari Langit, mata Bhiru yang tadinya masih terpejam mendadak terbuka.
Tetapi setelah membukanya, ternyata pesan itu dari pak Ranu dan membuat Bhiru bagaikan mendapat kejutan saat membacanya.
Pak Bos: Hari ini dan besok kamu nggak perlu masuk kantor dulu.
Hah? Bhiru terperangah tak percaya membacanya. Ini pertama kalinya pak Ranu mengirim pesan secara pribadi ke kontak Whatsapp-nya. Padahal baru beberapa detik yang lalu, Bhiru berpikir hendak meneleponnya untuk memohon ijin tidak masuk kantor karena pergelangan kakinya masih nyeri dan masih sulit digunakan untuk melangkah karena bengkak.
Terkekeh geli, Bhiru bangun dari rebahan lalu duduk untuk mengetik pesan balasan.
Bhiru: Terima kasih pak, atas perhatiannya.
Lalu Bhiru meletakan gawainya. Tidak perlu menunggu pak Ranu memberinya balasan. Sudah pasti, tidak akan!
Setelah meletakan gawainya di atas kasur, Bhiru berjalan tertatih-tatih menuju ke kamar mandi. Namun dalam usahanya mencapai kamar mandi, Bhiru mendengar gawainya berdenting lagi.
Pak Ranu membalas pesannya lagi? Bhiru kembali menuju ke kasurnya untuk membuka gawainya.
Dan benar saja. Pak Ranu membalas pesannya.
Pak Bos: Tapi tolong tetap aktifkan gawai. Kamu saya beri kamu ijin tidak masuk bukan berarti cuma berleha-leha di rumah.
Heh? Bhiru jadi menyesal telah membacanya.
Pak Bos: Tetap pantengin surel terutama surel dari Bangkok.
Duh! Ini orang nggak percayaan banget ya! Yang kayak gini nggak perlu diingatkan. Aku juga tahu!
Bhiru: Baik, Bapaaaaak. Ada lagi Pak?
Pak Bos: Sudah.
Bhiru melempar gawainya ke kasur dengan kesal.
'
'
'
18/09/2021