Chereads / LOVE WITH [ OUT ] LOGIC / Chapter 28 - Pesan Aneh Dan Pertemuan Tak Terduga

Chapter 28 - Pesan Aneh Dan Pertemuan Tak Terduga

Memasuki salah satu kedai seafood yang terletak di salah satu titik pasar dan cukup ramai pembeli, mereka bertiga memesan makanan. Satu porsi besar semangkuk Tom Yum yang bisa dimakan satu RT, tiga porsi omelet kepiting, satu porsi nasi goreng khas Thailand dan tiga jus mangga yang segar dan enak.

Diam-diam Bhiru kagum dengan pak Ranu. Ternyata bosnya pintar juga memilih tempat makan yang enak. Bahkan Jono yang sempat meragukan makanan Thailand sampai tidak tahu malu menambah pesanan meski telah melahap sepiring nasi goreng Thailand dan semangkuk Tom Yum.

"Bapak sebelumnya sudah pernah ke tempat ini?" Bhiru memastikan kecurigaannya sambil menyeruput jus mangganya.

"Ini pertama kalinya." Pak Ranu menjawab sambil menyeka sudut bibirnya dengan tissue. Cara pak Ranu menyeka bibirnya begitu anggun, mengingatkan Bhiru akan sosok pangeran tanpa cela yang pernah ia tonton dalam film barat bertema klasik. Diam-diam Bhiru jadi penasaran seperti apa wajah pak Ranu jika tanpa kumis dan berewok? Sejak awal ia mengenal bosnya hingga detik ini, seperti inilah wajah bosnya. Terlihat sangar dan dingin dengan kumis plus brewok tebalnya.

"Kok bapak bisa tahu tempat ini?" cecar Bhiru sambil keplak punggung tangan Jono yang hendak mengambil sisa omeletnya.

"Kania yang kasih tahu," jawabnya lagi sambil memandang ngeri pada Jono yang kini tengah melahap makanan keduanya, satu porsi mie bebek.

Kepala Bhiru manggut-manggut, seharusnya ia sudah menduganya dari awal.

"Besok pagi kita akan bertemu langsung dengan perwakilan dari Jepang. Kamu harus persiapkan diri dengan baik." Pak Ranu beralih mengingatkan Bhiru perihal meeting besok pagi. Untung saja bosnya itu mengingatkannya, karena yang selalu Bhiru ingat sebelum mereka berangkat ke Bangkok justru pakaian apa yang harus ia kenakan saat meeting dengan orang-orang asing nan penting di perusahaan.

"Sebenarnya besok itu saya mau disuruh ikutan tanding bulutangkis atau meeting sih pak?" Bhiru bermaksud membuat jokes. Lama-lama Bhiru semakin songong saja setelah mulai terbiasa menjadi sekretaris bosnya itu.

"Anggap saja sedang bertanding dan buktikan kalau cabang Jakarta nggak bisa mereka remehkan seperti yang mereka lakukan selama ini," balas pak Ranu menatap Bhiru dengan serius membuat kedua mata monolid Bhiru terbelalak.

"Siap, Pak!" Bhiru menjawab penuh semangat meski ia merasa berdebar-debar karenanya. Pak Ranu benar-benar telah menempatkannya pada situasi genting. Gara-gara Bhiru lumayan fasih berbahasa Jepang, pak Ranu malah meminta Bhiru mendampinginya menjadi presentator sekaligus interpreter.

Lalu peran Jono ikut serta ke Thailand apa? Selain hanya untuk pindah tempat makan, tempat tidur hingga tempat berak?

Bhiru melirik Jono yang telah mengosongkan mangkuk mienya dengan rakus hingga tak tersisa.

"Mungkinkah biar aku nggak pergi berdua saja dengan pak Ranu?" pikir Bhiru kali ini sambil melirik pak Ranu yang tengah membayar makanan mereka.

Setelah selesai makan malam, ketiganya sepakat langsung kembali ke hotel karena mereka harus beristirahat lebih cepat. Terutama Bhiru yang mulutnya berkali-kali menguap lebar setelah makan malam tadi.

Saat berjalan pulang di tengah keramaian orang-orang di pasar, seorang wanita Thailand setengah baya tiba-tiba menabrak bahunya dan memekik, "Oiiiiiii!" dengan nada terdengar manja bagi telinga orang Indonesia.

"Sorry," ucap Bhiru spontan, padahal ia tidak perlu melakukannya karena wanita itulah yang telah menabraknya.

Namun masalahnya ternyata tidak selesai begitu saja setelah Bhiru mengucapkan kata maaf. Wanita itu tiba-tiba memegang tangan Bhiru dengan erat sambil mengatakan sesuatu dalam bahasa Thailand yang tentu saja tidak bisa Bhiru mengerti.

"Sorry, I don't understand." Bhiru berusaha melepaskan tangan wanita itu darinya.

Mengetahui Bhiru ternyata bukan orang Thailand seperti yang wanita itu sangka sebelumnya, wanita itu dengan mimik wajah serius kembali mengulang kata-katanya dengan bahasa Inggris berdialek Thailand yang hampir saja tidak bisa Bhiru pahami.

"Aku melihat nona pernah mengalami kemalangan besar di masa lalu dan sayangnya nona masih akan mengalami satu kemalangan besar lagi dalam waktu dekat." Itu adalah sepenggal kalimat yang berhasil Bhiru tangkap sebelum akhirnya pak Ranu menarik tangannya agar menjauhi wanita aneh itu.

"Sepertinya perempuan tadi nggak waras deh." Jono menyamai langkah Bhiru yang tampak melamun sambil berjalan. Bhiru masih memikirkan kata-kata aneh wanita tadi.

"Sepertinya." Bhiru menjawab lesu sambil melirik Jono yang mulutnya masih saja mengunyah.

"Dasar perut karet. Apa itu?" Bhiru penasaran dengan apa yang sedang dipegang dan dimakan Jono sambil jalan. Bentuknya seperti ikan-ikan kecil yang digoreng dengan semacam bumbu dan dikemas dalam wadah dari daun pisang. Bhiru heran di mana dan kapan Jono membelinya.

"Cobain deh. Enak lho." Jono menyodorkan makanannya yang dikemas wadah plastik pada Bhiru yang tanpa pikir panjang mencomotnya dengan kedua jarinya dan tanpa curiga sedikit pun melahapnya dengan senang hati.

"Enak, Jon!" komentar Bhiru antusias sambil kedua jari tangannya kembali mencomot kudapan Jono. "Makanan apaan nih?"

"Mok Huak," jawab Jono polos

"Apaan tuh?"

"Kecebong goreng," cetus pak Ranu tiba-tiba yang langsung membuat Bhiru dan Jono sontak memuntahkan sisa kecebong goreng ( Mok huak ) yang tadi masih dikunyahnya.

"Astaga! Kenapa bapak nggak bilang dari awal sih?!" Saking jijiknya Bhiru sampai menggunakan kuku jari tangannya untuk mengorek sisa-sisa kecebong goreng di sela-sela giginya. Begitu pula dengan Jono yang langsung berkumur dengan air mineral.

"Makanya jangan sembarangan dibeli kalau nggak tahu terbuat dari apa," tangkis pak Ranu tenang.

"Habis saya kira ikan goreng, pak. Bentuknya mirip sama ikan teri sih." Jono membela diri namun dalam hatinya, ia merasa kapok dan tidak akan lagi sembarangan membeli makanan yang belum jelas.

Keesokan harinya, pukul sembilan pagi waktu Bangkok, Bhiru, Pak Ranu dan Jono meluncur menuju pabrik cabang Bangkok yang selama ini selalu terhubung dengan pabrik mereka di Jakarta.

Setelah tiga jam meeting dengan pihak Bangkok dan Jepang yang berjalan dengan lancar, ketiganya kembali ke hotel dan berpapasan dengan seorang pria di lobi hotel yang membuat Bhiru terperangah kaget. Lelaki itu adalah Ramon Tanubrata, pengusaha muda dan sukses yang tampangnya kerap wara-wiri masuk ke dalam berita selebritis karena pernah memacari sejumlah artis terkenal.

Tapi Bhiru lebih terkejut lagi saat lelaki bernama Ramon itu tiba-tiba menyapa Pak Ranu dan membuat bosnya itu terkejut bertemu dengannya.

"Dunia sungguh begitu sempit ya? Aku sungguh nggak menyangka kalau kita akan bertemu di Bangkok, Ranu. Apa kabarmu selama ini?" sapa Ramon tanpa mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Lelaki dengan setelan Givency abu-abu yang tampak seangkuh pak Ranu itu ditemani oleh seorang perempuan yang sepertinya sekretarisnya.

"Sangat baik dan aku yakin kau pasti kurang senang mendengarnya." Pak Ranu tampak sedang berusaha mengontrol dirinya. Tapi Bhiru menangkap ada yang aneh dengan sikap pak Ranu. Selain memperlihatkan sikap tidak nyaman dan waspada, pak Ranu juga pasang badan seolah menghalangi Ramon berhadapan langsung dengan Bhiru.

Dan suasana semakin tegang saat lelaki itu tiba-tiba memegang bahu pak Ranu sambil berkata, "wow…aku justru ikut senang mendengarnya."

"Tidak perlu merasa senang, aku tahu kau hanya sedang berpura-pura." Pak Ranu menepis tangan Ramon.

"Benarkah aku tampak seperti itu?" Bola mata Ramon lalu beralih menatap separuh wajah Bhiru yang masih berdiri di belakang pak Ranu. "Sepertinya nona yang berdiri di belakangmu lebih bisa menilai ketulusanku."

"Jangan ganggu sekretarisku." Suara Pak Ranu memang terdengar lirih saat mengatakannya untuk memperingatkan Ramon. Namun nada suaranya terdengar tajam.

"Hmm…aku jadi semakin penasaran, mengapa kau begitu cemas aku akan mengganggu sekretarismu?" Ramon melirik wajah Bhiru yang separuh tertutup oleh badan pak Ranu. "Jangan khawatir, Nu. Aku tidak seperti dirimu dan semua orang pun tahu, aku ini jelas pria terhormat dan lebih baik darimu," tambahnya sambil menyeringai licik dan ketegangan pun semakin tercipta. Membuat Bhiru dan Jono seolah sedang melihat dua kekuatan besar yang siap akan bertarung. Bahkan Bhiru melihat rahang pak Ranu yang mengeras disertai kepalan tangan yang mengeras, seolah-olah sedang bersiap-siap untuk melayangkan tinju ke arah wajah lelaki menyebalkan itu.

Tak ingin pak Ranu bertindak gegabah, Bhiru menahan tangan pak Ranu dan lelaki itu pelan-pelan mengendurkan ototnya.

"Tunggu sampai Papa mendengar kabarmu sekarang, beliau pasti akan ikut senang mendengar kau sepertinya mulai sukses," ucapnya sinis sambil berbisik di telinga pak Ranu yang sontak kembali memperlihatkan rahangnya yang mengeras.

"Ngomong-omong, aku nggak punya waktu berbasa-basi denganmu, Ramon. Kau tidak keberatan bukan?" Pak Ranu membalas dengan tenang meski Bhiru yakin bosnya itu seperti ingin mencabik-cabik wajah lelaki di depannya dengan cakarnya.

"Tentu saja. Aku memahamimu, silahkan lanjutkan kegiatanmu. Buatlah Papa bangga, Nu. Siapa tahu beliau akan memaafkanmu dan mengembalikan namamu dalam daftar ahli warisnya," ucap Ramon yang terakhir sebelum pergi sambil sambil tertawa mengejek pak Ranu.

"Ayo kita pergi." Tak ingin meladeni Ramon lebih lama, Pak Ranu menarik pergelangan tangan Bhiru agar mengikutinya pergi.

Dari pembicaraan pak Ranu dan lelaki bernama Ramon itu, Bhiru mulai bisa menebak bahwa Ramon memiliki hubungan keluarga dengan pak Ranu meski pun di mata Bhiru, kedua lelaki itu sama sekali tidak memiliki kemiripan sedikit pun.