Rizal tergesa gesa menuju ruangan Jati setelah menyelesaikan urusannya. Dia tidak melihat keberadaan Jati di kursi kebesarannya. Tak berselang lama pintu kamar mandi yang terletak di sudut ruangan terbuka. Benar saja Jati keluar dari kamar mandi menatap Rizal yang sudah menunggunya.
"Keluar, aku sedang tidak ingin membahas pekerjaan." Jati masih kesal karena rapat tadi.
"Ini bukan soal pekerjaan. Tapi soal bu Heswa boss!!" Jati melototkan matanya ke orang di depannya serius.
"Ada apa dengan istriku? Apa sesuatu terjadi padanya?" Jati mendekat ke arah Rizal dengan wajah khawatir.
"Tidak apa apa. Hanya saja sekarang dia sedang menjalani interview" Rizal yakin sekarang Heswa sedang menjalani interview.
"Ikut aku ke ruang oprasional." Jati kesal kali ini dengan istrinya.
Jati dan Rizal segera menuju ke ruang oprasional di lantai dua. Semua mata karyawan tertuju pada mereka. Tampak jelas sekali wajah Jati yang begitu meradang menahan amarah. Mereka menganggap semua karena kejadian rapat pagi tadi.
Jati dan Rizal masuk ke ruang oprasional membuat karyawan yang disana tersentak kaget.
"Pak Jati, pak Rizal. Ada yang bisa saya bantu?" Kedua karyawan yang bertugas memantau cctv terlihat begitu gugup.
"Tampilkan gambar yang ada di lantai tiga." Perintah Rizal tegas. Salah satu dari mereka segeramenampilkan ke layar yang besar.
Jati duduk kursi dan memandang Heswa yang sedang menjelaskan design-nya. Design Heswa ternyata bisa dipertimbangkan.
***
Heswa keluar dari ruangan interview dengan wajah lega. Heswa dan Tia tinggal menunggu pengumuman saja. Saat Heswa keluar ternyata sudah memasuki jam makan siang pekerja. Lift pun juga penuh. Mereka menunggu dengan sabar. Setelah samapi di lantai dasar Heswa yang hendak keluar tiba tiba tertahan dengan suara panggilan di ponselnya.
"Wa, sekalian cari makan yuk!!" Tia berkata pada Heswa.
"Tunggu sebentar, aku angkat telp dulu." Tia menunggu di depan gedung.
Tak berselang lama Heswa sudah kembali dengan wajah lesu.
"Sudah? Ayo kita cari makan!" Tia segera menarik tangan Heswa.
"Maaf Ya, sepertinya aku gak bisa. Mas Jati tahu aku di sini. Dia memintaku menunggu di depan sana!" Menunjuk kearah pintu keluar.
"Baiklah, aku temani kau menunggunya." Tia tahu kalau mungkin Heswa akan mendapat masalah besar kali ini.
Tia menyalakan motornya dan menuju pintu keluar. Mereka menunggu di bawah pohon yang rindang.
"Tia, maaf kalau hari ini Heswa merepotkanmu." Jati tiba tiba muncul dan keluar dari mobilnya. Jati memang sepertinya tersenyum kearah Heswa tetapi Tia menyadari bahwa Jati sedang menahan amarahnya.
"Iya kak gak pa pa. Aku duluan" Tia segera berpamitan dan tidak ingin ikut campur masalah rumah tangga orang.
Heswa segera masuk kedalam mobil Jati. Dia terus menundukkan kepalanya.
"Maaf mas!!" Cicit Heswa yang begitu takut melihat kearah Jati.
"Kalau mau bicara padaku, tatap wajahku, Heswa." Jati menaikan sedikit nada bicaranya.
Heswa terus saja masih menunduk ke bawah. Mungkin pemandangan di sepatunya lebih indah dari pada sekitarnya.
Suasana di dalam mobil begitu menegangkan. Jati masih dengan wajah marahnya melajukan mobilnya dengan tatapan tajam. Heswa yang sedang duduk di sebelahnya tak berani menatap wajah Jati.
"Apa kau tidak menganngapku sebagai suamimu?" Jati menaikkan nada bicaranya dari sebelumnya. Terlihat sekali kalau Jati tidak terima dengan sikap Heswa. "Kenapa tidak mau menjawab?" Jati sedikit membentak Heswa. Kali ini Jati berhasil membuat serangan panik Heswa kembali.
Jati sedikit menoleh kearah Heswa karena dari tadi Heswa hanya terdiam saja. Saat ini yang dilihat Jati adalah air mata Heswa yang bercucuran begitu deras. Kali ini Jati tidak sanggup memandangnya. Jati merasa bersalah dengan tindakannya. Dia segera meminggirkan mobilnya dan berhenti.
"Maaf Heswa, aku tidak bermaksud seperti itu!" Jati kembali melembutkan suaranya seperti yang Heswa kenal selama ini. Jati mencoba meraih tangan Heswa. Dengan cepat Heswa menepis tangan Jati.
"Jangan sentuh aku" Tangis Heswa semakin menjadi. Kali ini Heswa benar benar takut dengan seseorang di sebelahnya.
"Maaf, Maafkan aku." Jati ikut panik melihat Heswa yang terus menangis.
Jati mencoba menetralkan pikiran dan napasnya yang terus memburu. Dia mencoba meraih lagi tangan Heswa dengan lembut. Lagi lagi Heswa menepisnya dengan wajah mulai memucat. Bayangan masa lalu Heswa menguasai pikirannya.
"Tenang Heswa, ini aku suamimu. Aku tidak akan menyakitimu. Maafkan aku yang telah membentakmu tadi" Jati terus berusaha menenangkan Heswa.
"Jangan, Jangan mendekat" Heswa terus meronta panik. Jati merasa hasil kerja kerasnya sia sia selama ini. Jati menyesal dengan apa yang dia lakukan tadi.
"Tarik napas Heswa, tarik napas yang panjang dan hembuskan perlahan. Kamu bisa melawannya." Jati terus meredakan kepanikian Heswa.
"Hiks..hiks.. hiks.." Tangis Heswa mulai mereda.
"Apa kamu sudah tenang?" Jati terus menatap ke mata Heswa yang merah.
"Aku mau pulang saja!!" Heswa menetralkan napasnya yang tadi sempat memburu.
"Ya baiklah kita pulang sekarang. Kamu tenang ya. Jangan nangis lagi, jangan panik. Maafkan aku." Jati segera melajukan mobilnya pulang.
Sesampainya Dirumah. Heswa bergegas masuk kerumah dan menuju kamar. Jati mengikuti Heswa dari belakang. Mbak Lastri dan pak Lukman yang melihat kejadian itu bingung.
Heswa segera meletakkan tasnya dan berbaring di tempat tidur. Dia meringkuk di bawah selimutnya. Jati duduk di sebelah Heswa. Jati tahu sekarang Heswa sedang tidak ingin melihatnya.
"Maafkan aku mas. Tapi aku ingin sendiri." Jati mengerti maksud Heswa tapi Jati tidak ingin meninggalkan Heswa dengan kondisi yang seperti itu.
Jati mendial nomor Rizal di ponselnya.
"Halo, Zal batalkan semua meeting hari ini. Aku ada urusan penting sekarang." Jati kembali meletakkan ponselnya di atas nakas. Heswa yang mendengar Jati semakin merasa bersalah.
"Maafkan aku mas, aku sudah tidak apa apa. Kembalilah bekerja." Heswa masih dalam posisinya.
"Istirahatlah, aku akan menemanimu di sini." Jati duduk dengan memegangi kepalanya.
Tak berapa lama Heswa sudah terlelap. Heswa merasa lelah karena terlalu lama menangis. Jati yang menyadari Heswa sudah terlelap segera mengusap wajah istrinya dengan lembut. Dia begitu menyesal melampiaskan amarahnya pada Heswa. Dia mengecup puncak kepala istrinya.
Jati keluar dari kamar setelah berganti pakaian. Dia segera menuju ruang TV untuk menenangkan pikirannya.
"Mbak tolong buatkan saya kopi." Jati memerintah mbak Lastri yang berada di dapur. Mbak Lastri segera membuatkan secangkir kopi dan membawakannya ke ruang TV.
"Maaf pak, Pak Jati dan mbak Heswa tidak makan dulu?" tanya Lastri sedikit ragu.
"Tidak, nanti saja. Heswa masih tidur." Mbak Lastri kembali melanjutkan bersih bersih rumah karena hari sudah mulai sore.
Sudah dua Jam Jati berada di rung TV. Dia memutuskan kembali ke kamar untuk mandi. Dia membuka pintu perlahan agar tidak membangunkan Heswa. Melihat situasi aman ia segera bergegas masuk kekamar mandi untuk menyegarkan badan dan pikirannya.
Selesai mandi Jati mendapati Heswa sudah bangun dan asik dengan ponselnya.
"Kamu sudah bangun. Mau makan sekarng?" Jati mendekat ke arah Heswa.
"Maaf mas, aku tahu aku sudah mengecewakanmu" Heswa memang bukan seperti permpuan lain yang selalu ingin menang sendiri. Dia menyadari kesalahannya.
"Iya, aku tidak akan marah lagi denganmu." Jati mengusap halus puncak kepala Heswa.
"Mas, boleh peluk?" Entah kekuatan dari mana Heswa bisa memulai permintaan itu."Boleh" Jati segera merentangkan tangannya. Tak dapat dipunkiri kini ia berteriak gembira di dalam hatinya. Hal yang selama ini dia tunggu dan dia inginkan bisa dia dapat tanpa dia minta.
"Kamu mandi dulu ya. Setelah ini kita makan bersama." Heswa mengangguk. Dia segera beranjak setelah mendapat kecupan manja dari Jati di puncak kepalanya.