Chereads / Bosan? Isekai Aja! / Chapter 5 - #5 Quest Pertama

Chapter 5 - #5 Quest Pertama

"Memburu marmut. Marmut. Berburu marmut lagi. Astaga, kenapa semua quest-nya tentang memburu marmut?" Veo mengomel saat membaca daftar quest di dinding.

"Maaf. Berhubung kota ini masih berpotensi terserang wabah marmut, jadi hanya itu yang bisa kami tawarkan," ujar Wina.

"Lihat! Ada satu yang bukan marmut." Aku menarik selembar kertas quest. "Mencuri peti harta Raja jerangkong. Kira-kira akan sesulit apa?" Aku menatap Wina dan Veo.

"Sini aku lihat!" Wina merebut kertas quest itu dariku. "Astaga! Kenapa quest ini masih tersedia? Waktu tenggatnya sudah lama sekali."

"Siapa yang mau mencuri harta Raja jerangkong. Itu sama saja bunuh diri," komentar Veo. "Kita berburu marmut saja, Lazu."

"Tunggu! Memangnya ada apa?" tandasku.

"Raja jerangkong itu memimpin kerajaan dunia bawah. Ia punya senjata, pasukan, dan kekuasaan. Kita takkan bisa mencuri hartanya." Veo menerangkan.

"Kalau begitu kenapa quest ini ada?" Aku tak mau kalah.

"Beberapa tahun yang lalu, seorang petualang datang ke kota ini dan menempel kertas quest tersebut. Banyak petualang lain yang tertarik melakukannya karena hadiah yang besar. Akan tetapi, mereka terlalu takut untuk pergi ke dunia bawah. Pada akhirnya kertas quest itu membusuk di sini," beritahu Wina.

"Percuma saja, Bro. Quest itu sudah kadaluwarsa."

"TIDAK! QUEST ITU MASIH BISA DILAKUKAN!" celetuk Petit yang sedari tadi menguping pembicaraan kami. "AKU AKAN MEMPERPANJANG MASA TENGGATNYA. TAPI KAU HARUS BAWA MARMUTMU IKUT." Manusia jerami itu tersenyum seperti orang gila.

"Hey, Bro! Jangan mempengaruhi temanku," tegur Veo.

"Ini quest yang berbahaya. Mereka belum siap," tambah Wina.

"Aku siap!" kataku yakin. "Untuk inilah aku datang. Aku ingin mencuri harta Raja jerangkong itu."

"BAGUS! KEMARIKAN KERTASNYA."

Aku pun menyerahkan kertas quest tersebut kepada Petit. Mulutnya komat-kamit membaca mantra. Sebelumnya Wina bilang kalau setiap serikat memiliki penyihir yang akan menghimpun quest harian dari kondisi kota atau desa mereka. Quest tersebut akan diperbarui setiap hari. Selain itu, penyihir juga mampu memperpanjang masa tenggat quest dengan syarat quest tersebut belum pernah dilakukan sebelumnya.

Di kota ini, Petit adalah satu-satunya penyihir yang tersisa. Karena pengalaman traumatiknya, manusia jerami itu mengganti semua quest di dinding menjadi misi berburu marmut. Untungnya aku berhasil menemukan satu quest usang yang benar-benar berharga. Berapa hadiahnya tadi? Kurasa gunungan koin emas.

"PORTAL TERBUKA!"

Secepat kilat, di depan kami sudah terbuka lubang besar yang sangat gelap. Mungkin itulah jalan menuju kerajaan dunia bawah. Aku sudah siap melangkah. Namun, Veo tiba-tiba menarik tanganku.

"Jangan, Bro! Kau tidak tahu siapa yang kau hadapi. Dia Raja jerangkong! Raja jerangkong!" katanya cemas.

"Apa yang perlu ditakutkan? Kita tidak perlu mengalahkannya, 'kan? Kita hanya perlu mencuri peti hartanya."

"Kau tidak mengerti, Bro!" Veo bersikeras.

"Veo! Kau ini temanku atau bukan?" Aku menodongnya dengan pertanyaan kritis.

Roden itu terdiam, lalu mendengus pasrah: "Iya, aku temanmu."

"Kalau begitu cepat ikut aku. Percayalah, kita pasti bisa!"

"Ya Tuhan. Ini akan jadi hari terakhirku."

"HARTA KARUN RAJA JERANGKONG ADA DI RUANG BAWAH TANAH ISTANANYA. CARILAH JALAN MENUJU KE TEMPAT ITU." Petit mengintruksi. "AMBIL INI. SAAT KALIAN SUDAH MENDAPATKAN HARTA ITU, SEGERA HUBUNGI AKU. AKU AKAN MEMBUKAKAN PORTAL UNTUK KALIAN." Ia memberikanku sebuah alat komunikasi dari tanah liat.

"Baiklah, aku mengerti."

"Lazu! Kau tidak harus melakukan ini," tahan Wina.

"Tenang saja. Aku pasti berhasil. Siapkan saja hadiahnya."

Negosiasi yang melalahkan akhirnya usai juga. Aku melangkah dengan pasti memasuki portal tersebut, bersama Veo yang mengekor di belakang. Rasanya seperti terjun ke dalam pusaran angin. Bedanya, pusaran ini tidak menarikku ke dalam.

"SEMOGA BERHASIL!" pesan Petit, sebelum akhirnya portal itu lesap dan membawa kami ke suatu tempat.

~~o0o~~

Aku dan Veo tengah bersembunyi di balik batu besar. Kamu sudah sampai di kerajaan bawah tanah sejak beberapa menit yang lalu. Tempat ini cukup gelap dan lembap. Langitnya hitam tak berawan dan sampai detik ini aku belum menemui sepucuk pun tumbuhan. Yang ada hanyalah tanah dari abu vulkanik dan bebatuan raksasa.

"Kau lihat, 'kan, Bro! Tempat ini menyeramkan," komentar Veo.

"Aku tahu. Tapi kita sudah telanjur datang," timpalku seraya mengintip dari balik batu, mengawasi istana suram yang menjulang tak jah dari kami. "Bagaimana caranya masuk ke sana, ya?"

"Bro!" tegur Veo. "Kau masih mau lanjut?!"

"Kita tidak bisa berhenti di sini. Aku harus mendapatkan peti harta karun itu," kataku.

"Cukup sudah! Aku menyerah." Roden itu duduk dengan jengkel. "Kau ingin mendapatkan peti harta karun itu? Kalau begitu ambillah sendiri! Aku takkan meminta sepeser pun."

"Kau yakin?" tanyaku, berbalas anggukan datar Veo. "Baiklah. Aku akan pergi sendirian."

"Eits! Kemarikan alat yang diberikan manusia jerami itu, Bro. Kalau kau tidak kembali, aku akan langsung pergi dari tempat ini."

"Terserahlah." Aku pun menyerahkan alat komunikasi yang sebelumnya diberikan Petit.

Kelihatannya ini akan jadi semakin menegangkan. Aku masih belum kepikiran cara untuk masuk ke dalam istana tersebut, dan Veo ujug-ujug malah mengangkat bendera putih. Dasar marmut merepotkan.

Sekali lagi, aku mengedarkan visual ke wilayah musuh. Ada gerbang besar di sana yang kuyakin dijaga oleh pengawal. Mendekati areal istana dengan penampilan seperti ini juga percuma. Aku pasti akan langsung ketahuan dan ditangkap. Mungkin satu-satunya cara adalah menyamar.

Berselang beberapa menit, aku tiba-tiba menderak bunyi derap kaki dari kejauhan. Suaranya semakin mendekat, hingga dapat kusaksikan satu legiun manusia tengkorak sedang berjalan beriringan menuju istana.

Tidak salah lagi! Ini adalah kesempatan emas. Aku segera mencari sesuatu untuk bisa masuk ke dalam kerumunan itu. Tidak banyak yang bisa kudapat. Hanya seonggok tengkorak banteng yang bisa kupasang di kepala. Sepertinya ini sudah cukup untuk menyamarkan identitas.

"Bro, apa yang ingin kau lakukan?" Veo menarik tanganku saat hendak masuk ke barisan itu.

"Aku mau masuk ke istana," bisikku kesal.

"Jangan, Bro!"

"Lepaskan! Jangan halangi aku."

Tatkala legiun yang lewat sudah mencapai barisan paling belakang, aku pun dengan sigap bergabung di urutan terakhir. Untungnya tak ada satu pun jerangkong yang menyadari kehadiranku.

"Amigos! Luiz, kaukah itu?"

"Eh!" Aku tercekat saat salah satu jerangkong menengok ke belakang. "I-iya."

"Dari mana saja kau, Amigos? Aku tidak melihatmu di medan perang."

"K-ketiduran, mungkin?" Aku mengangkat bahu pasrah.

"Ketiduran?" Jerangkong itu menyipitkan rongga matanya. "...Oh, sudah kuduga. Dasar tukang ngorok gada otak. Kami hampir saja kalah melawan para slime, sementara kau malah enak-enakan tidur."

"Umm ... m-maaf."

"Ya, tak perlu dipikirkan. Lagi pula aku senang kau masih hidup, Amigos," katanya lalu kembali menghadap depan.

Sungguh beruntung jerangkong itu tidak menaruh sedikitpun kecurigaan padaku. Kami terus bergerak mendekati istana. Seperti dugaanku, gerbangnya dijaga oleh dua orang prajurit tengkorak berbadan besar. Keduanya juga membawa anjing jerangkong yang tak kalah menyeramkan.

"Kami ingin masuk," ujar pimpinan legiun.

"Silakan." Gerbang pun dibuka dengan mudahnya.

Seluruh pasukan jerangkong masuk ke istana secara berganting. Hingga akhirnya tibalah giliranku. Sesaat hendak melewati gerbang, dua anjing penjaga yang semula tidur tiba-tiba menggonggong nyaring. Kedua penjaga itu sontak menghalangiku.

"Tahan dulu," katanya.

"K-kenapa?"

"Kau mencurigakan." Salah satu penjaga mendekatiku dengan tatapan menusuk. "Kenapa badanmu ditutupi jubah?"

"A-aku ... k-kedinginan," jawabku gugup.

"Kedinginan?! Mana ada jerangkong yang kedinginan! Kita tidak punya kulit!" Penjaga gerbang itu marah. "Cruz! Ayo kita amankan orang ini!"

"Siap!" Penjaga yang satunya hendak meringkusku. Sekarang aku dikepung oleh dua jerangkong yang tingginya nyaris tiga meter.

"H-hey! T-teman-teman? K-kita sesama jerangkong, 'kan?" kataku gemetaran.

Kedua penjaga gerbang semakin dekat. Aku tidak punya banyak pilihan. Jika lari, maka mereka akan semakin yakin kalau aku adalah penyusup. Jika diam, pada akhirnya aku juga akan ketahuan. Ini tidak boleh dibiarkan. Seseorang harus menolongku sekarang. Siapa saja!

(Bersambung)