Chereads / Bosan? Isekai Aja! / Chapter 9 - #9 Hadiah

Chapter 9 - #9 Hadiah

"Apa ini?" Aku mengambil sesuatu dari dalam peti tersebut. "Tulang ayam?" Benda yang pertama kali kuambil adalah tulang paha atas.

"Hebat, Bro. Aku sampai tak bisa berkata-kata. Sekarang semuanya terasa sia-sia!"

"AKU BENCI MENGATAKAN INI. TAPI MARMUT ITU ADA BENARNYA. SEPERTINYA KITA KENA PRANK."

"T-tenang. Setidaknya hadiah quest kalian masih ada. J-jangan kecewa dulu." Wina mencoba menenangkan hati kami yang porak-poranda.

"T-tidak mungkin!" Sena melongo. "Kemarikan!" Ia merebut tulang ayam itu dari tanganku.

"Tidak ada benda berharga lain. Peti ini berisi penuh koin lama dan tulang ayam itu," kataku selepas mengobrak-abrik isinya. "Mungkin peti yang satunya adalah yang asli."

"Tidak! Kamu salah, Lazu. Tulang inilah hadiah yang sebenarnya. Aku tak menyangka selama ini ayahku menyembunyikannya di sana." Sena mengembalikan tulang ayam tersebut kepadaku.

"Lalu apa yang harus kulakukan dengan benda ini?"

"Katakan bergabung," ujar Sena.

"Bergabung?" Aku mengulangi.

Tiba-tiba saja tulang yang kupegang mengeluarkan sinar hitam yang memenuhi seisi ruangan. Kami semua tertunduk ketakutan. Tanganku serasa disedot paksa masuk ke dalam lubang yang dingin dan hampa.

"A-apa ini?! T-tolong aku!" Aku berusaha melepas tulang itu, tetapi tidak bisa. Rasanya seperti ada lem yang merekatkan kami.

Sesaat sinar hitam tersebut sirna, akhirnya kami semua bisa melihat apa yang terjadi. Aku tak sanggup berkata-kata. Awalnya hanya sepotong tulang, tetapi sekarang bentuknya sangat berbeda.

Tanganku menjadi satu dengan pedang yang terbuat dari tulang putih susu. Bentuknya mirip pedang anggar dengan diameter yang lebih besar, dan gagang pedang tersebut adalah pergelangan tanganku sendiri. Mengerikan!

"Sudah kuduga." Sena memeriksa pedang tersebut. "Pedang jerangkong. Salah satu senjata dari tiga senjata tekutuk sejagad raya. Kita berhasil mencurinya."

"Pedang jerangkong?" Aku menatap sengit sekaligus bingung.

"R-rumor itu nyata?!" Carlos tampak memegangi kepalanya yang hendak jatuh.

"Rumor apa?" Sekali lagi aku bertanya.

"Dahulu kala, ada tiga ksatria yang nggak pernah kalah di medan perang. Mereka selalu memenangkan pertempuran tanpa terluka sedikit pun, sehingga ketiganya diberi gelar 'Yang menaklukkan kematian'. Pada suatu hari, dewa kematian datang untuk mencabut nyawa mereka. Ketiga ksatria itu nggak siap, jadi mereka menyusun rencana untuk membunuh dewa kematian itu."

"T-tunggu, tunggu dulu, Bro! Cerita macam apa itu? Memangnya dewa kematian benar-benar bisa dibunuh?" protes Veo.

"Nggak bisa. Tapi mereka hampir berhasil. Dewa kematian murka dan mengutuk mereka nggak akan pernah bisa merasakan kematian sejati. Sejak saat itu, ruh mereka menyatu dengan senjata yang mereka gunakan untuk membunuh dewa kematian sampai sekarang," tambah Sena. "Pedang jerangkong, buku sihir sampul cokelat, bola kristal biru bercahaya. Itulah tiga senjata paling terkutuk sejagad raya."

"Wow!" Aku termangu.

"Aku nggak tahu mengapa ayahku bisa memiliki salah satu dari senjata tersebut. Tapi yang jelas, pedang jerangkong ini ada di tangan kita sekarang."

"Well, kurasa itu kabar bagus," komentar Veo.

"Itu tergantung dari sisi mana kamu memandang. Senjata terkutuk memiliki kekuatan yang nggak terbatas. Ayahku nggak akan membiarkannya hilang dari istana. Dia pasti akan memburu kita."

"Aku tarik omonganku. Itu kabar buruk, Bro!"

"KEMBALIKAN PEDANG ITU! KEMBALIKAN! CEPAT! AKU TAK MAU BERURUSAN DENGAN RAJA JERANGKONG!"

"Jangan!" cegat Sena. "Justru inilah kesempatan kita. Satu-satunya cara kita mengalahkan Raja jerangkong adalah menggunakan pedang ini."

"Kekuatan yang tidak terbatas. I-itu terlalu kuat," ujar Wina. "Apakah kita bisa mengendalikannya?" Ia cemas.

"Aku nggak pernah menggunakan pedang jerangkong, jadi aku nggak tahu sekuat apa pedang itu. Tapi Lazu sudah telanjur bersatu dengannya. Dialah satu-satunya harapan kita."

"Aku?"

"Ya." Sena mengangguk. "Bagaimana perasaanmu? Apakah ada sengatan kuat atau semacamnya?"

"Hmm ... kurasa tidak ada. Aku merasa biasa-biasa sa—"

ZBLARR!

"Woah!"

"Damn, Bro!"

"APA-APAAN ITU?!!!"

Padahal aku baru mengayunkan tangan kiriku sekali, tetapi pedang jerangkong itu sudah mampu mengeluarkan petir hitam yang menyambar dinding serikat. Untung saja tempat ini terbuat dari tanah liat yang kokoh, jadi tak ada kerusakan yang perlu diperbaiki.

"Seperti yang kubilang, kekuatannya nggak terbatas. Bahkan satu ayunan kecil saja sudah mampu mengeluarkan petir." Sena menanggapi.

"Itu tadi mengerikan," kataku. "Sepertinya aku harus berlatih mengendalikan pedang ini."

"Untuk latihan, kita butuh target. Jadi, siapa yang bersedia?"

Semua orang di dalam serikat langsung pura-pura sibuk. Veo berlagak sedang menyisir bulu ekornya. Wina dan Petit sibuk berkutat dengan lap meja dan botol-botol berdebu. Bahkan Carlos, dia juga ikut-ikutan menyisir bulu ekor Veo.

"Nggak ada?" Sena mengernyit.

"Kelihatannya aku harus berlatih sendiri. Selain itu, aku juga tidak mau membahayakan nyawa teman-temanku."

"TUNGGU! AKU PUNYA IDE." Petit tiba-tiba berseru. "KAU INGIN MENCARI TARGET, 'KAN? KALAU BEGITU MENGAPA TAK JADIKAN MARMUT-MARMUT INI SEBAGAI TARGET?" Ia mengambil semua kertas quest di dinding dan menumpuknya di atas meja.

Meski aku agak kesal, tapi manusia jerami ini ada benarnya. Jika dihitung-hitung, kertas quest tentang memburu marmut ada sekitar dua puluh lembar. Satu kertas dihargai satu keping emas, artinya aku bisa dapat dua puluh keping emas dari iseng-iseng saja.

"Menarik," ujarku. "Baiklah. Aku ambil semua quest ini."

"SUGOIII! AKU MULAI MENYUKAIMU, NAK. PARA MARMUT ADA DI BUKIT DEKAT KOTA INI. KALIAN BISA MENDATANGINYA SEKARANG. AYO! AYO!"

"Tahan dulu, Bro! Kami baru saja kembali dari dunia bawah, dikejar ribuan jerangkong gila, dan mendapatkan senjata terkutuk. Ehem! BISAKAH KAU MEMBIARKAN KAMI ISTIRAHAT DULU?!!!" Veo meneriaki wajah Petit.

"Veo benar. Aku agak lelah hari ini. Mungkin kita bisa memulai quest-nya besok," tambahku. "Ah, ngomong-ngomong apakah pedang ini tak bisa dilepas?"

"Bisa, kok. Kamu tinggal bilang lepas, maka pedangnya akan kembali jadi tulang," sahut Sina.

"Oke. Lepas!"

Dalam sekejap, pedang yang menyatu dengan tanganku menyusut dan kembali menjadi tulang ayam. Aku segera menyimpan tulang tersebut ke dalam kantung jubah bututku.

"Kalian bisa istirahat di sini. Kami punya beberapa kamar untuk diisi. Tapi maaf, mungkin agak sedikit berdebu," beritahu Wina.

"Tak masalah. Aku sudah pernah tidur di hutan," kataku.

"Dan aku sudah sering tidur di ruangan kosong," sambung Sena.

"Aku cuma jerangkong. Tak masalah tidur di mana pun." Carlos menambahi.

"Hey, hey! Aku tidak suka ruangan berdebu." Veo protes

"Diamlah, Hamster gendut. Hewan nggak diizinkan ngomong."

"EHM! SEBELUM KALIAN TIDUR, AKU INGIN MEMBERIKAN HADIAH DARI QUEST MENCURI PETI HARTA RAJA JERANGKONG." Petit mengambil kertas quest mencuri peti harta Raja jerangkong, lalu merobeknya menjadi dua bagian.

Robekan kertas itu bercahaya dan sedikit demi sedikit menjelma menjadi tumpukan koin emas berkilauan. Mataku langsung terbelalak. Akhirnya! Koin emas nyata, di depan mata kepalaku sendiri.

"SILAKAN AMBIL HADIAH KALIAN."

Tanpa banyak bicara, aku segera meraup koin emas itu hingga badanku bergerincing tiap kali melangkah. Veo yang tak kebagian hanya bisa mendengus pasrah.

"Ini untukmu, Bro." Aku melempar beberapa keping koin kepadanya. "Upah karena sudah menungguku kembali."

"Big thanks, Bro! Kau memang yang terbaik!" Roden itu mencicit kegirangan.

Quest pertamaku telah selesai dengan manis. Aku mendapatkan harta, pusaka, dan yang lebih penting adalah teman baru. Tuan puteri Sena, anak dari Raja jerangkong ada di depan mataku. Siapa sangka akan berakhir seperti ini?

Perjalananku untuk menjadi pahlawan masih panjang dan terjal. Aku perlu berlatih keras untuk mengendalikan pedang jerangkong, lalu mengambil quest sebanyak mungkin. Dengan begitu, mungkin saja kota ini bisa kembali jaya seperti dulu.

(Bersambung)