"AKU SUDAH MENYANDERA KEDUA TEMANMU. NYAWA MEREKA DALAM BAHAYA!"
"Dua teman? Siapa?" Sena bingung.
"Mereka adalah golem pasir berkacamata dan manusia jerami yang suka berteriak. Aku menangkap mereka!"
Detik itu juga aku terlonjak kaget. Golem pasir, manusia jerami. Tidak salah lagi! Mereka adalah Wina dan Petit. Ternyata Raja jerangkong telah mengetahui posisi kami sebelumnya. Sial!
"Jika kalian tidak mengembalikkan pedang jerangkong padaku, kedua orang ini akan mati!" ancam Raja jerangkong.
"E-eh! A-anu ... bagaimana k-kalau kita—"
"Diam kau, Pencuri!" potongnya. "Kembalikan harta dan putri kesayanganku. Jika tidak, aku akan mengerahkan seluruh tentara jerangkong untuk memburumu!"
Aku hanya bisa diam. Kendati bulu kudukku berdiri semua karena mendengar ancaman tersebut, tetap saja tak ada yang bisa dilakukan. Pedang jerangkong sudah tidak ada di tangan kami. Bagaimana cara mengembalikannya sekarang?
"Aku akan menemuimu. Jangan bunuh mereka," celetuk Sena.
"S-Sena!" Aku terbeliak mendengar ucapannya. "K-kau! K-kau bisa dalam bahaya!"
"Kita udah nggak punya pilihan, Lazu," katanya tertunduk lemas
"Cih! Sial! Ini semua gara-gara aku lemah!"
"Jangan menyalahkan dirimu, Bro! Aku juga lemah, tapi aku tetap santai." Veo coba menenangkanku.
"Senang mendengar putri kesayangan Ayah mau pulang ke rumah. Baiklah. Aku sudah mengirim lokasiku ke dalam kepala jerangkong ini. Dia akan masuk ke dalam mode auto-pilot. Semoga kau selamat, Sena. Hahahaha!" Raja jerangkong akhirnya berhenti merasuki Carlos.
"Eh? A-apa aku kerasukan lagi?" Carlos linglung. "Arghh! Mode auto-pilot aktif. Bersiap menuju lokasi Raja jerangkong." Ia bicara seperti robot.
"Kelihatannya ini adalah perpisahan," ujar Sena agak sedih. "Aku senang bertemu orang-orang seperti kalian." Ia menatapku dan Veo.
"S-Sena, t-tapi—"
"Nggak apa-apa, Lazu. Aku akan mencoba untuk menjelaskan soal pedang jerangkong pada Ayahku. Sementara itu, kalian harus menemukan si petapa sakti dan menjadi kuat. Kalian harus ingat itu! Menjadi kuat! Intinya menjadi kuat! Supaya kita bisa bertemu lagi!" Mata Sena berkaca-kaca, tetapi ia berusaha menyembunyikannya. "Aku mohon. Jadilah kuat saat kita bertemu kelak." Gadis itu langsung memelukku dengan erat.
"A-aku ...." Entah mengapa hatiku masih ragu. "A-aku...."
"Lazu, kamu adalah orang yang paling berkesan buatku. Aku senang bisa bertemu denganmu. Sangat senang!" Air matanya mulai merembes. "Maka dari itu, berjanjilah padaku kamu akan menjadi manusia terkuat suatu saat nanti." Ucapan Sena sontak membuat semangatku berapi-api.
"Baik! Aku berjanji! Aku akan menjadi manusia terkuat untukmu, Sena. Itulah janjiku!"
"Terima kasih." Sena tersenyum tipis. "Waktunya sudah tiba. Sampai jumpa lagi, Lazu, Veo. Aku tunggu kalian di masa depan."
"Siap!" Veo memberikan hormat meski wajahnya belingsatan menahan tangis.
"Selamat jalan, Sena. Tolong selamatkan Wina dan Petit untuk kami, ya!"
Tak kusangka pertemuan kami akan sesingkat ini. Sena pergi bersama Carlos yang sudah diatur sebagai petunjuk jalan. Kami melambaikan tangan sekuat tenaga untuk mengiringi langkah pertamanya. Aku terlalu sedih sampai tak bisa mengekspresikan apapun. Satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah berteriak dengan tekad yang bulat.
"KAU ADALAH ALASAN TERBESARKU UNTUK MENJADI KUAT, SENA!"
Sena sontak berbalik ke belakang dan menangis. Ia melambaikan tangan untuk terakhir kalinya, sebelum memasuki hutan dan menghilang dari pandangan kami.
"Dia sudah pergi," ucapku.
"Hanya tersisa kita, Bro. Kau dan aku, seperti awal pertemuan kita," timpal Veo.
"Bagaimana sekarang? Apa kita langsung masuk ke Neko Miaw?"
"Ya, tidak ada gunanya kita berdiri di sini. Ayo!"
"Baiklah."
Kami pun berjalan mendekati tembok tinggi yang mengelilingi kota Neko Miaw. Jalan yang semula tanah kuning keras, sekarang berganti jalur batako bersih nan indah. Sepertinya kota ini punya selera tinggi dalam pembangunannya.
Tak seberapa lama, kami sampai di depan gerbang masuknya. Ada dua pejaga di sana. Seperti yang kuduga, keduanya adalah kucing betina humanoid berbulu hitam. Mereka hanya mengenakan celana ketat dan bra, sementara di perut mereka ada tonjolan six-pack yang membuat perutku cenat-cenut karena minder.
"Selamat datang di Neko Miaw. Ada yang busa kami bantu?" Salah satu penjaga menyambut kami.
"Kami ingin masuk ke dalam kota. Apakah boleh?" tanyaku.
"Tentu saja. Neko Miaw menjunjung tinggi persamaan derajat, termasuk keadilan untuk seluruh ras yang ada di negeri ini. Kami adalah orang-orang berintelektual tinggi dan mengakui hak asasi makhluk hidup."
"Waw, hebat," sanjungku tak percaya.
"Bagus. Ayo kita masuk, Bro." Veo melenggang dengan santainya.
TRINGG!
"Eh!" Roden itu menjerit saat kedua penjaga menyilangkan tombak mereka di depan mukanya.
"Maaf sekali. Tikus tidak diizinkan masuk ke kota ini. Kaisar Neko sendiri yang membuat kebijakan tersebut."
"Tikus? Tidak ada tikus di sini. Kalian ini ada-ada saja." Veo celingak-celinguk.
"Anda adalah tikus, Pak."
"Aku? Tikus? Hehehe..." Veo terkekeh. "DASAR TAK SOPAN! AKU INI RODEN! R-O-D-E-N! MANA ADA MIRIP-MIRIPNYA DENGAN TIKUS! HUAAAA! HUAAAA! HUAAAA! AKU BISA GILA KALAU BEGINI!"
"Veo! Sudah, sudah!" Aku menyeretnya menjahui para penjaga yang mulai kesal.
"Mereka menyebutku tikus, Bro! Itu penghinaan tingkat dewa! Mana bisa dimaafkan!"
"Maaf, apakah ada cara supaya temanku bisa tetap masuk? Dia lahir prematur, jadi tak bisa jika kutinggalkan sendiri di sini," kataku.
"PREMATUR?!" Veo sewot. "Kemarikan wajahmu! Biar kuberi kau tonjokan Roden prematur!"
"Dia masih bisa masuk," jawab salah satu penjaga.
"Benarkah!? B-bagaimana caranya?" Aku penasaran.
"Kalian lihat air mancur itu?" Penjaga itu menunjuk air mancur yang ada di belakang kami. "Tikus itu bisa meminum airnya. Selesai minum, dia akan langsung berubah menjadi kucing selama 24 jam. Bila efeknya habis, dia harus ke sini lagi untuk minum."
"Oh, shit. Kita pergi saja dari sini, Bro." Veo putar arah menjauhiku.
"Tu-tunggu dulu!" Aku spontan memegangi tubuhnya.
"Apa yang kah lakukan, Bro?! Lepaskan aku!"
"Kau harus meminum airnya, Veo. Jika tidak, kita takkan bisa masuk."
"Kau ini gila, ya?! Kalian boleh memanggilku marmut, atau hamster, atau tikus! Tapi, jika dipaksa menjadi kucing, lebih baik aku meringkuk di hutan saja! Aku benci kucing."
"Tapi ini satu-satunya jalan."
"Tidak mau!"
"Veo."
"Tidak!"
"Kumohon."
"Takkan pernah!"
"Sekali saja! Please!"
"Sekali tidak, ya tidak!"
"Aku janji akan membelikanmu pakaian dengan manik-manik, deh."
"Ehem! Di mana air mancurnya tadi?"
"Hah? Serius? K-kau berubah pikiran?" Aku melongo.
"Aku mau baju yang ada kerahnya, ya. Ingat itu!" Veo berjalan mendekati air mancur yang ditunjuk oleh penjaga. "Oh, god. Ini semua demi manik-manik favoritku."
Veo memencet hidung bulat kecilnya saat mendakekatkan mulut ke pancuran air. Sambil memejamkan mata, lidahnya mulai menjulur keluar seperti siput. Entah kenapa dia sangat takut dengan air itu, padahal warnanya bening dan kelihatan segar. Aku saja sampai ngiler karena kehausan.
GLEK! GLEK!
"Ahh, segar juga," komentar Veo. "Brr ... wuenakk~"
Perlahan-lahan, beberapa bagian tubuh Veo mulai mengalami perubahan. Ujung telinga lancipnya ditumbuhi bulu putih, ekornya pun membesar dan kelihatan fluffy. Selain itu, kumisnya juga tambah panjang, tak berbeda jauh dengan gigi taringnya yang menajam. Viola! Sekarang Veo menjadi kucing cebol berperut gembrot. Keren.
"Hmm ... bukan maksud menyinggung, tetapi kenapa rasa airnya ada manis, asam, asin, ya? M-maksudku, rasa asinnya mendominasi. Itu aneh, Bro." Roden itu keheranan sendiri.
"Benarkah?" Aku mengernyit.
"Air mancur itu berasal dari air kencing seluruh penduduk kota yang disaring sampai bening lalu dimantrai," jawab salah satu penjaga.
"Air kencing, ya?" Veo masih sibuk berpikir. "Air kencing? Hmm ... air ken—HAH! AIR KENCING?! JUANCOK! KEMARI KALIAN! BIAR KUKENCINGI SEKALIAN! DASAR KUCING RAJA PRANK!"
"Sudah, sudah! Tenang, Veo. Tenang!" Aku berusaha meredam racauannya, meski harus kena pukul beberapa kali.
"Cuih! Pantas saja airnya bau amis. Ini semua gara-gara kau, Lazu! Aku marah! MARAH BESAR!"
"Maaf, maaf. Aku janji akan mentraktirmu beli makan terenak di kota ini. Percayalah," kataku gugup.
"Ehem! Baik, kau kumaafkan. Sekarang aku sudah jadi kucing. Saatnya kita masuk ke dalam kota menyebalkan ini." Secara drastis Veo melupakan masalah barusan.
Semua syarat yang diberikan sudah kami penuhi. Kini, saatnya mengambil langkah pertama memasuki kota para kucing, Neko Miaw untuk pertama kalinya. Kedua penjaga gerbang pun mempersilakan kami untuk masuk.
Kesan pertama yang kudapat mengenai kota ini adalah ramai dan makmur. Baru saja melewati gerbang, kami sudah disemprot dengan cairan disenfektan untuk menetralisir kemungkinan penyakit. Ya, harus kuakui tempat ini menarik.
Sejauh mata memandang, terdapat begitu banyak perumahan penduduk bergaya Jepang dan lentera-lentera lucu yang tergantung di beranda. Selain itu, di langit juga ada beberapa drone bulat yang mungkin ditugaskan sebagai pengawas kota.
Sepuuluh menit berjalan-jalan, nyaris semua penduduk kota adalah kucing. Namun, beberapa menit yang lalu aku sempat berpapasan dengan elf, kurcaci, bahkan monyet jadi-jadian. Mereka berbaur dengan mudah, larut dalam kerumunan yang tiada habis-habisnya.
Karena sudah telanjur berjanji mentraktir Veo, aku jadi penasaran tentang makanan di kota ini. Apakah ada om-om kumisan penjual nasi goreng? Atau justru tukang nasgornya diganti kucing oren? Entahlah. Yang jelas, kami telah melewati sejumlah pertokoan yang dipenuhi pengunjung dan ada pula bangunan-bangunan yang mengeluarkan asap pekat dari cerobongnya.
"Kota ini keren, Bro," ujar Veo.
"Dan sangat ramai," sambungku. "Kita mungkin bisa mendapatkan informasi penting di sini."
"Lihat! Sepertinya itu warung ramen, Bro!" Veo menunjuk sebuah toko bergambar ramen.
"Kau mau makan ramen?"
"Tentu. Karena kota ini bernuansa Jepang, kesan isekainya jadi lebih terasa. Kalau ditambah ramen pasti makin sedap. Ayo, Bro!" Roden itu langsung tancap gas.
"Hey, tunggu aku!"
Aku masih tidak tahu-menahu soal kota ini. Soal mata uang, kultur, kebudayaan, atau kebiasaan sehari-hari, semuanya masih gelap. Akan tetapi jika dilihat-lihat lagi, mungkin Veo benar. Mereka mengadaptasi kebudayaan Jepang, jadi mungkin saja ada beberapa kebiasaan yang sama dengan Jepang.
Aku cukup sering nonton anime di duniaku sebelumnya. Sedikit-banyaknya aku juga paham beberapa kosa kata Jepang. Karena ini sudah siang, mungkin aku bisa menyapa para pengunjung di toko ramen itu dengan bahasa Jepang. Benar! Skill wibuku akan bersinar di sini!
"Konichiwa!" kataku penuh keyakinan.
Bukannya dijawab, kami malah mendapat tatapan asing dari para pengunjung. Bahkan ada yang sampai lupa menyeruput mie yang sudah ada di sumpitnya. Eh, apa aku salah sebut, ya?
"Hey, manusia. Kau orang baru, ya?" tanya seekor kucing cokelat gemuk yang berpakaian koki.
"I-iya," jawabku.
"Oh, pantas saja cara bicaramu kurang sopan. Untung pelangganku tidak kabur," katanya sambil menyipitkan mata.
"K-kurang sopan? Eh, maaf! Maaf! Aku benar-benar minta maaf!" Aku membungkung berulang kali.
"Tidak apa-apa. Aku masih bisa memakluminya. Tapi kau harus belajar dengan cepat."
"Baik! Ngomong-ngomong apa ucapan paling sopan untuk menyapa orang-orang di kota ini?" tanyaku serius.
"Aku suka para pendatang. Semangat mereka membara." Kucing cokelat itu terkekeh. "Ada satu salam di kota ini. Salam itu sangat agung dan dijunjung tinggi. Kami bahkan berusaha melestarikannya dengan sepenuh hati."
"Benarkah?" Aku kian penasaran. "A-apa boleh aku tahu?"
"Tentu. Salam itu adalah 'P'."
"P?" ulangku tak percaya.
"Ya, P. Itulah salam terbaik yang pernah ada."
Entah mengapa aku merasa sedang dijahili. Tapi muka kucing itu benar-benar serius, seolah ia sedang mengajarkanku ilmu yang sangat berharga. P, ya? Siapa juga yang senang kalau cuma disapa dengan satu huruf?
"Lalu, apa yang kalian ucapkan saat memberi selamat kepada orang yang berprestasi atau berjasa pada kota ini?" Aku bertanya lagi.
"F." Kucing koki itu mengangkat alisnya. "F for respect. Itulah semboyan kota ini. Kau harus ingat."
Cukup sudah! Mereka kira ini negeri meme! Haduh, tapi aku juga tidak punya alasan kuat untuk melawan, sih. Ya sudahlah, aku nurut saja. Kosa kata baru yang kudapat hari ini adalah P dan F. Cukup mudah diingat.
Baiklah! Mulai sekarang aku akan menyapa orang dengan menyebut P dan memuji orang dengan menyebut F. Itu adalah langkah pertama yang lumayan bagus. Mari tunggu kejutan apa lagi yang ada di kota ini.
(Bersambung)