"Dua porsi ramen datang. Silakan dinikmati." Kucing koki cokelat menyajikan dua mangkuk ramen di meja kami.
"Wah! Hmm ... aromanya sedap," kataku sembari menghirup kukus dari kuah kaldu yang menggiurkan itu.
Veo mulai menyeruput mie ramennya, tanpa takut kepanasan, "Yummy! Bro, sepertinya kita harus tinggal di kota ini lebih lama. Kau setuju, 'kan?"
"Entahlah. Kita harus tetap fokus pada tujuan kita. Mencari informasi sebanyak mungkin tentang petapa sakti." Aku mulai menyumpit mie ramen ke dalam mulutku. "Wuenak tenan~"
Warung tamen ini tidak terlalu luas, tidak pula terlalu sempit. Ada delapan meja panjang yang tersusun di beberapa tempat, kemudian dapur koki ada di bagian ujung kiri warung. Di sanalah si kucing cokelat gemuk memasak ramennya.
Jujut saja, aku senang berada di sini. Kota yang mengingatkanku dengan tempat lahirku dulu. Keramaian, gemerlap lampu, suara bising, semua itu sangatlah berkesan. Pengunjung yang hilir-mudik memasuki warung ramen ini juga punya kenangan tersendiri. Kalau tidak salah, dulu aku pernah diajak Ayah makan ke sebuah warung pecel lele yang sangat ramai sampai-sampai kami harus makan sambil berdiri. Hahh, aku rindu masa itu.
"Ini sudah hari kesepuluh semenjak poster itu dipasang, tapi pihak kepolisian masih belum sanggup menangkapnya."
"Mau bagaimana lagi? Dia itu, 'kan metamorph. Lengah sedikit, dia bisa menyamar jadi siapa saja."
"Kau benar juga, ya. Bisa jadi pencuri itu ada di sekitar kita."
"Hiih, aku jadi takut."
Aku tak sengaja menguping pembicaraan dua ekor kucing di meja sebelah. Kira-kira siapa yang sedang mereka bicarakan, ya? Ada beberapa kata yang menarik, seperti poster, metamorph, dan pencuri. Mungkinkah di kota ini ada pencuri?
"Bro, coba lihat." Veo menyenggol pinggangku. "Aku baru sadar ada banyak poster yang tertempel di dinding."
"Ah, iya! Kau benar." Aku kaget mendapati dinding toko ramen ini dipenuhi poster buronan. "Sepertinya orang itu pencuri."
"Pencuri?" Veo mengernyit.
"Ro' si metamorph," celetuk kucing koki sesaat membersihkan meja di sebelah kanan kami. "Dia sudah jadi buronan sejak lama."
"Uhuk! Metamorph?!" Veo sampai tersedak. "Apa itu?"
"Metamorph adalah orang-orang yang mampu mengubah wujud mereka menjadi makhluk lain. Hal itu bisa terjadi karena mereka terpapar aura gaib dari bola kristal biru bercahaya yang legendaris."
"Salah satu senjata terkutuk sejagad raya," timpalku.
Si kucing koki duduk di kursi dekat kami, "Benar. Kasus pertama dimulai sebulan yang lalu, saat salah satu harta berharga Kaisar Neko dicuri oleh seseorang yang misterius. Sejak saat itu, kasus pencurian mulai bermunculan di seantero kita. Hingga detik ini, tak ada satu pun orang yang tahu pelakunya."
"Jadi itu sebabnya kalian memasang poster ini di mana-mana?" Aku coba menyimpulkan.
"Ya. Menurut keterangan beberapa orang, si pencuri berbadan kurus dengan tinggi sekitar 172 senti dan memiliki moncong mirip tikus. Ketika dikejar, ia mampu berubah wujud menjadi kucing dan membaur dengan rombongan warga kota."
"Pantas saja mereka melarangku masuk! Mereka bilang aku mirip tikus," omel Veo.
"Ya, mau bagaimana lagi? Neko Miaw dilanda teror yang mengerikan. Sebagai warga kota biasa, aku hanya bisa pasrah dan menunggu pihak kepolisian bertindak."
Ini sungguh di luar dugaan. Ternyata di balik keramaian dan gemerlapnya Neko Miaw, kota ini juga menyimpan teror terseram yang pernah kudengar. Pencuri yang bisa berubah wujud menjadi makhluk lain sedang berkeliaran bebas entah di sudut mana di kota ini. Secara tidak langsung, aku dan Veo juga dalam bahaya.
"Ahh, aku kenyang~" Veo duduk bersender di kursinya.
"Terima kasih. Makanannya enak sekali," sanjungku. "Berapa harganya?"
"Warungku punya aturan spesial. Kami menggratiskan mangkuk pertama untuk orang baru. Jadi kalian tak perlu bayar."
"Benarkah!? T-terima kasih. Kalau boleh tahu, siapa nama Anda, Pak?" tanyaku sekadar basa-basi.
"Namaku Udon, koki ramen terbaik di kota ini. Bagaimana dengan kalian?"
"Namaku Lazu, dan kucing cebol ini adalah Veo." Aku menjabat tangan Pak Udon.
"Salam kenal, Nak Lazu, Nak Veo." Kucing cokelat itu tersenyum ramah.
Tak kusangka kenalan pertama kami di kota Neko Miaw adalah seorang penjual ramen. Akan tetapi, penjual ramen yang satu ini cukup menarik. Ia punya banyak informasi penting, dan ramennya juga enak. Mungkin aku harus datang ke sini lagi.
Acara makan telah selesai. Saatnya aku dan Veo meneruskan perjalanan untuk mengumpulkan informasi soal sang petapa sakti. Kira-kira siapa orang yang paling pantas untuk ditanyai, ya?
"Berapa harga satu mangkok ramen jumbo kalau dibungkus?" Veo tiba-tiba bertanya.
"Sepuluh koin perak."
"Itu seharga satu koin emas." Roden itu menyimpulkan.
"Kau mau makan lagi?!" Aku sewot.
"Tidak. Aku cuma nanya saja, Bro. Besok-besok kita belinya yang jumbo saja supaya hemat."
Aku langsung menjewer telinga si kucing cebol itu, "Hemat matamu! Ehem! Pak Udon, maaf lancang. Tapi jika boleh bertanya, aku ingin tahu di mana tempat untuk memperoleh semua informasi tentang kota ini."
"Kau bisa mendapatkannya di perpustakaan istana. Tapi tempat itu bukan untuk umum. Hanya tamu istimewa yang diizinkan masuk." Pak Udon langsung mengskak-mat ku.
"Begitu, ya. Kelihatannya tidak mungkin terjadi. Mana bisa petualang gembel sepertiku menjadi tamu istimewa."
"Jangan pesimis begitu, Nak Lazu. Jika kau memang kebelet ingin ke sana, aku punya satu kabar untukmu. Pihak kepolisian sedang membuka pendaftaran sukarelawan untuk menangkap Ro' si metamorph. Siapa pun yang bisa menangkap pencuri itu, maka mereka akan langsung diundang menemui Kaisar Neko untuk memilih sendiri hadiahnya."
"S-serius?" Aku berkeringat saking semangatnya.
"Tentu." Pak Udon mengangkat alisnya.
Jujur saja, ini terdengar menggiurkan. Akses menuju penguasa kota ini terbuka lebar jika aku berhasil menangkap si pencuri. Akan tetapi, menjadi sukarelawan artinya ikut mempersembahkan diri untuk dibunuh atau dilukai. Memangnya kenapa polisi butuh bantuan dari warga sipil? Tentu saja karena mereka tidak mampu melakukannya sendirian. Jadi sah-sah saja aku berasumsi kalau si pencuri ini sangatlah hebat.
"Oke! Ayo kita pergi ke kantor polisi, Bro. Kau harus mendaftat menjadi sukarelawan."
"Eh! Apa maksudmu, Veo?! M-mana mungkin a—"
"Apa aku mendengar protesan?" Roden menyebalkan itu memotong omonganku. "Siapa yang beberapa jam lalu bilang kalau dia ingat menjadi kuat? Siapa itu, hah? Apakah itu cuma suara desau angin?!"
"Sialan kau, Veo! Aku memang ingin jadi kuat, tapi—"
"Tak ada tapi-tapian! Bukankah kau satu-satunya harapan kami, Bro? Sena dan teman jerangkongnya sudah berkorban banyak untuk kita. Sekarang adalah giliranmu!"
Aku dipojokkan habis-habisan. Meski omongannya nyelekit, tetapi Veo ada benarnya. Aku sudah telanjur berjanji untuk jadi kuat dan merebut kembali pedang jerangkong. Jika hanya mengandalkan keberuntungan, entah sampai kapan kami baru bisa bertemu si petapa. Baiklah! Satu-satunya jalan adalah masuk ke jajaran kepolisian dan bertemu langsung dengan Kaisar Neko.
"Pak Udon, di mana letak kantor polisi?" tanyaku serius.
"Sekitar enam bangunan dari warung ini ke sebelah kiri. Kalian akan melihat patung kucing berseragam polisi. Di sanalah tempatnya."
"Baik, terima kasih. Ayo, Veo! Ada kota yang harus kita selamatkan." Aku menarik Roden yang lagi bermalas-malasan itu keluar dari warung.
"Hati-hati, ya. Semoga kalian berhasil menangkap pencurinya. P!" Pak Udon menyemangati kami.
"P juga," sahutku sebelum melewati pintu keluar.
Permasalahan rumit semakin menjadi rumit. Ada cabang baru yang perlu kami akhiri sebelum kembali ke jalur utama. Menangkap pencuri misterius, Ro'si metamorph. Aku tidak tahu apakah itu mungkin atau tidak. Yang jelas, kami harus bertemu Kaisar Neko bagaimana pun caranya. Titik!
(Bersambung)