Chereads / Bosan? Isekai Aja! / Chapter 10 - #10 Petualang Misterius

Chapter 10 - #10 Petualang Misterius

"Aku kapok tidur di kamar tua itu, Bro. Lantainya berderit nyaring setiap kali aku bergerak. Aku jadi kedengaran seperti orang yang lagi mantap-mantap."

"Mau bagaimana lagi? Hanya itu ruangan yang bisa kita dapat. Nikmati saja," timpalku.

"Lazu, apa hamster gendut ini memang selalu mengeluh?" Sena yang duduk di sampingku berbisik.

"Hey, aku bisa mendengar omonganmu!" celetuk Veo. "Dasar batang hidung Squidword!"

"Kamu ngejek, ya?!" Sena sewot.

"Justru aku sedang memujimu, Bro! Squidword itu orang paling tampan sedunia, tahu!"

"Tapi aku, 'kan cewek!"

"Sudah, sudah. Kita ke sini bukan untuk berkelahi. Kalian masih ingat, 'kan? Aku ingin melatih pedang jerangkong ini." Aku menunjukkan pedang jerangkong yang sudah menjadi satu dengan lenganku.

Sekarang kami ada di perbukitan marmut untuk menyelesaikan quest. Setelah bangun tidur dan sarapan, aku langsung berangkat ke sini bersama Veo dan Sena. Sebenarnya aku juga mengajak Carlos, tetapi jerangkong itu tidak bisa karena sibuk menulis materi stand up comedy-nya.

Aku, Veo, dan Sena mengintip dari balik rerumputan tinggi. Ternyata Petit benar. Ada banyak sekali marmut yang keluar-masuk lubang di tanah. Dengan jumlah sebanyak itu, aku tak ragu kalau Golemity hancur karena serangan mereka.

"Ayo, Lazu. Arahkan pedangmu dengan benar," ujar Sena sambil memegangi pedangku.

"Begini?" Aku membetulkan posisi pedangku.

"Bagus. Sekarang ayo dorong pelan-pelan."

"WOY, BRO! APANYA YANG DIDORONG?!" Veo menggelegar.

"Maksudku dorong ke sela-sela rumput tinggi ini. Dasar hamster mesum!"

Tanpa banyak bicara, aku segera mendorong pedang jerangkong menembus rumput tinggi untuk membidik para marmut. Mereka adalah makhluk yang imut dan squisy. Entah kenapa aku jadi tidak tega membunuh mereka.

"Lakukan, Lazu," desis Sena.

"Cepat, Bro. Aku tak sabar menduduki kepala marmut-marmut itu," tambah Veo. "Biar kubuktikan kalau aku ini bukan marmut atau hamster."

Kelihatannya aku tidak punya pilihan lain. Kami sudah repot-repot pergi ke bukit ini. Akan sia-sia kalau aku tak melakukan apa pun. Baiklah! Aku mulai membidik salah satu marmut bermata hitam mungil. Astaga, mereka imut sekali. Apa kubatalkan saja ya latihan hari ini?

DUK!

"Aduhh!"

ZBLARR!

Sena yang sudah tak sabar tiba-tiba menendang pantatku hingga lenganku tidak sengaja berayun. Alhasil, petir hitam pun melesat dari pedang jerangkong dan menyambar marmut lucu itu.

"Tidak! A-aku membunuh m-marmut itu!" ringisku penuh penyesalan. "A-apa kau tidak lihat mata mungil itu, Sena? Aku sudah meledakkannya. Ampuni hamba, Tuhan! Jangan giling jenazah hamba di dalam truk molen!"

"Kamu ini nangisin apa, sih? Di dunia ini, marmut itu bukan hewan lucu. Mereka hama."

"Hama?" Aku kembali memerhatikan marmut yang kubunuh.

"Bila kamu nggak tega membunuh mereka, maka suatu hari nanti populasi mereka akan mendominasi dunia ini. Di saat itulah kamu akan menyesali keputusanmu." Sena menjelaskan dengan serius.

Meski masih dijerat perasaan bersalah, mau tidak mau aku harus melanjutkannya. Biar bagaimana pun, marmut-marmut itu tidak bisa dibiarkan terus berkembang biak. Mereka akan semakin banyak dan pada akhirnya akan menggeser populasi makhluk lainnya.

Aku merentangkan pedangku, siap membidik marmut selanjutnya. Dalam sekali ayunan, petir hitam pun muncul dan menyambar marmut tersebut hingga tewas. Beberapa marmut di sekitarnya langsung berlarian ke lubang.

"Cepat, sebelum mereka habis!" Sena keluar dari rerumputan tinggi. "Geronimo!" Ia melempar bola api ke arah lubang marmut sehingga para marmut yang ingin melompat ke dalamnya langsung terbakar.

"Aku juga ikut!" Veo berlari kencang. "Jurus tindihan bokong berdebu!" Ia melompat dan menduduki badan seekor marmut dengan pantat gemuknya.

Inilah lingkaran kehidupan. Rantai makanan yang seharusnya terus berjalan. Karena tidak memiliki predator, pada akhirnya kamilah yang ditunjuk menjadi malaikat maut para marmut itu demi menjaga keseimbangan alam.

"Maafkan aku, Para marmut!" Aku mengayunkan tangan sekali lagi, disusul melompatnya petir hitam ke arah gerombolan marmut.

Perburuan terus berlanjut. Sena dan Veo berhasil menaklukkan sebelas marmut, sedangkan aku berhasil menggenapi jumlahnya menjadi total dua puluh ekor. Quest kami selesai, dan aku pun mulai mahir menggunakan pedang jerangkong.

"Huhh~ aku capek," ujar Sena.

"Bokongku sakit, Bro," keluh Veo.

"Baiklah. Sebaiknya kita kembali untuk mengklaim hadiah quest ini," kataku.

"Oke, cuss!"

"Gasskeun, Bro!"

Matahari bertengger tepat di puncak langit. Saatnya untuk pulang dan beristirahat. Kami bertiga segera menuruni bukit, lalu menempuh perjalanan selama setengah jam.

Begitu tiba di gerbang kota, tampaklah Sigil menunggu dengan waswas. Aku tahu ia cuma robot, tetapi dari gelagatnya seolah ada sesuatu yang membuatnya tak enak.

"Hey, Sigil," sapaku. "Ada apa denganmu?"

"Tuan Lazu! Selamat datang. Onderdil perasaan senangan saya baru saja diaktifkan. Ada satu petualang lagi yang datang hari ini."

"Petualang?" Aku mengernyit. "Siapa?"

"Saya tidak tahu. Petualang itu tiba tadi pagi. Mungkin sekarang ia sedang ada di serikat."

"Benarkah? Kalau begitu, ayo kita pergi ke serikat!"

Aku, Veo, dan Sena bergegas menuju serikat. Jika yang dikatakan Sigil benar, kira-kira siapa petualang itu? Apakah dia seorang yang berisekai ke dunia ini juga? Aku jadi penasaran!

Sesaat sampai di depan sekrikat, aku langsung mengetuk dindingnya sebanyak tujuh kali untuk membuka lorong otomatis. Kami pun sontak berdesakan masuk ke dalamnya.

"Minggir, Bro! Aku ingin lihat petualang itu." Veo menyikut-nyikut pahaku.

"Kau yang minggir, Hamster mesum." Sena menarik Roden itu ke belakang.

"Aku duluan!" Aku menyelip gadis berkulit kelabu itu sebelum akhirnya membuka pintu dengan penuh semangat. "Hey ho! Salken petualang baru. Anggap saja rumah sendiri!" kataku, bahkan sebelum melihat siapa petualang tersebut.

Keadaan di dalam serikat justru berbeda jauh dari ekspektasi kami. Tidak ada suka cita, perayaan, atau obrolan santai. Wina dan Petit berdiri gugup di belakang meja bartender, sementara Carlos tampak gemetaran sambil memegang selembar kertas.

"K-kenapa ikan h-hidupnya di air? Karena k-kalau di kaleng namanya sarden. B-ba dum tes!"

"Kau sebut itu lelucon? Kau masih terlalu muda 1000 tahun untuk menghiburku, Pale skeleton." Seorang pria yang duduk di meja bundar bicara. Wajahnya tertutupi bayangan topi koboi putih.

"S-siapa kau?" Aku memberanikan diri bertanya.

"Oh, look. Orang yang kucari sudah datang." Pria itu berdiri dan menaikkan topinya. Tampaklah wajah khas lelaki empat puluh tahunan dengan keriput dan kumis tebal. Selain itu, kesan tegas dan bengis tergambar jelas dari tampangnya. "Senang bertemu denganmu, Youngman."

"Kutanya sekali lagi. Siapa kau?" Kenekatanku sudah memuncak.

"Easy, Boy. Orang-orang biasanya memanggilku Sang petualang kematian. Tapi kau bisa memanggilku dengan nama Rick." Pria bernama Rick itu melepas topinya sebagai penghormatan. Aku bisa melihat rambut klimis model 80-an dengan uban di sana-sini. "Sekarang izinkan aku berkenalan denganmu, Brave Adventurer."

"Namaku Lazu," jawabku singkat.

"Lazu. Nama yang sangat indah dan berkelas. Hanya empat huruf, sama seperti namaku. Perfect!"

"Apa maksud kedatanganmu ke sini? Kenapa semua orang jadi takut padamu?" Aku membredelnya dengan pertanyaan.

"Dulu, ketika Golemity masih mahsyur, ada seorang petualang misterius yang menempelkan kertas quest di dinding dengan hadiah yang menggiurkan. Akan tetapi, tidak pernah ada orang yang berhasil menyelesaikan quest tersebut. Pada akhirnya kertas quest itu membusuk di sini." Rick bercerita sembari melihat-lihat kertas quest di dinding.

"Bisa kita ke intinya saja? Aku sudah kebelet boker ini," kataku merem-melek.

"Kau ini tidak pernah belajar story telling, ya? Dipersingkat saja, Bro. Satu atau dua kalimat sudah cukup," tambah Veo.

"Iya, iya! Akulah yang menempel kertas quest itu! Dan, quest-nya adalah ... mencuri peti harta Raja jerangkong."

"Apa!?" Aku kaget.

"What!?" Veo sama kagetnya.

"Sekarang, secara menakjubkan ada petualang yang berhasil menyelesaikan quest tersebut. Bagaimana, Lazu? Apakah hadiahnya menarik?" Rick mengangkat sebelah alisnya.

"Maksudmu tumpukan koin emas itu? Cukup menarik, sih. Tapi kalau bisa tolong ditambahkan piring cantik supaya ada kesan deluxe-nya."

"Lupakan!" Lubang hidung pria itu kembang-kempis. "Kau sudah mendapatkan hadiahnya. Sekarang giliranku untuk mendapatkan apa yang menjadi hakku."

"Eh? A-apa maksudmu?" Aku heran.

"Aku ingin mengklaim isi peti harta itu. Pedang jerangkong, serahkan senjata itu padaku."

Dengan sigap aku mencengkeram kantung jubahku untuk melindungi pedang tersebut. Kini semuanya jelas. Dia adalah orang jahat.

Sena dan Veo juga mengambil ancang-ancang untuk bertarung. Kami takkan menyerahkan benda berharga ini semudah itu. Aku sudah bekerja keras untuk mendapatkannya. Jika ia mau mengklaim pedang jerangkong, maka rasakan lebih dulu tinjuan mautku.

"Hey, aku datang dengan baik-baik, lho." Rick tertawa. "Ah, sepertinya kalian memang harus dikasari. Baiklah, mari kita jajal kemampuan," katanya sembari meregangkan otot.

(Bersambung)