"Haduhh, kakiku lemas. Kenapa jauh sekali, sih?!"
"Relax, Bro. Kau pasti jarang olahraga, makanya cepat lelah," komentar Veo.
"Jarang olahraga matamu! Kau enak, kakimu ada empat. Sedangkan aku cuma punya dua!"
"Jangan marah-marah, Bro. Beberapa meter lagi kita pasti sampai, kok."
Sudah satu jam lebih kami berkeliling hutan lebat ini, tapi masih saja belum sampai. Aku merasa sedang kadali Veo. Dia bilang jarak kota dekat, nyatanya sampai lututku kopong tetap saja kotanya tidak kelihatan. Ya, apa boleh buat. Aku hanya bisa pasrah mengikuti marmut merah jambu sialan itu.
Selama lebih-kurang setengah jam kemudian akhirnya tanah berlumpur yang kami pijak mulai berganti jalur dari batako kuning. Aku akhirnya bisa bernapas lega. Karena sudah tak sabar lagi, aku langsung berlari meninggalkan Veo. Roden itu berteriak dan coba menyusulku. Aku tertawa keras sambil terus menoleh ke belakang. Sekarang dia seperti tikus got yang tak sengaja tertelan racun.
"Hahaha! Coba susul a—Aduh!"
Aku terduduk ke tanah sesaat menabrak sesuatu. Saat kutengadahkan kepalaku, ternyata aku baru saja menghantam seekor makhluk tinggi-besar. Badannya tampak terbuat dari batu hitam dan kepalanya lonjong seperti helm tentara. Tangan kirinya menggengam tombak dan tangan kanannya memegang pisau raksasa.
"Lazu!" teriak Veo dari kejauhan. "Larimu cepat sekali," katanya ngos-ngosan.
"Hama terdeteksi. Mode menyerang aktif," ucap makhluk batu itu, menggema seperti robot. Mata kecilnya bersinar kemerahan, tepat mengarah kepada Veo.
"T-tunggu! Tunggu dulu! Lazu, tolong aku!"
"B-bagaimana caranya?" kataku panik.
"Bilang padanya kalau aku adalah peliharaanmu!" jeritnya.
"Instant Kill aktif. Bersiap dalam hitungan ketiga. Satu...."
"Lazu, cepat!"
"A-anu...." Saking gugupnya bibirku sampai jadi kaku.
"...Dua..."
"CEPAT LAZU! AKU TIDAK MAU ISEKAI DUA KALI!"
"...Tiga—"
"—Dia peliaharaanku! Jangan bunuh dia!"
"Instant Kill dimatikan. Mode menyerang non-aktif." Makhluk itu sontak berhenti. Matanya kembali menghitam seperti sebelumnya.
Veo yang nyaris saja ditebas akhirnya bisa selamat. Rodan itu tergeletak lemas dengan wajah super pucat. Aku pun tak berbeda jauh. Kejadian barusan benar-benar tak terduga. Bahkan makhluk batu tadi masih menatap kami dengan datar, seolah ia hanyalah robot yang didesain untuk membunuh.
"Sialan kau, Lazu!" racau Veo. "Kenapa bisa selama itu? Aku hampir terkencing-kencing, tahu!"
"Maafkan aku. Aku terlalu gugup sampai tidak bisa menggerakkan mulutku."
"Terserahlah. Sekarang kita harus masuk ke sana." Veo mulai berdiri.
"Bagaimana caranya?" tanyaku.
"Tinggal bilang saja kau ingin masuk, Bro. Apa susahnya." Ia menjawab dengan wajah masam.
"Oke. Hey, makhluk besar. Kami ingin masuk ke dalam kota ini," ucapku.
"Prosedur identifikasi dimulai." Tiba-tiba mata makhluk itu mengeluarkan sinar untuk memindai tubuhku. "Identifikasi selesai. Satu orang petualang dengan peliharaannya. Akses dibuka," katanya seraya membukakan gerbang masuk untuk kami.
Akhirnya jalan kami menuju kota terbuka lebar. Aku dan Veo bergegas meninggalkan makhluk batu itu, takut jika ia kembali mengamuk. Sesampainya ke dalam kota, alih-alih disambut dengan hiruk-pikuk dan kesibukan, kami justru dihadapkan dengan suasana yang begitu sepi. Tidak ada satu pun aktivitas di dalam sana. Bahkan, ada begitu banyak rumah hancur yang tak terurus.
Kesenanganku seketika pupus. Kota ini tak ubahnya kota orang mati. Puing-puing bangunan berserakan di jalanan, tidak kalah mengganggunya dengan tumpukan sampah di sana-sini. Menurut pengamatanku, semua rumah yang ada di kota ini terbuat dari tanah liat yang dikeringkan. Tidak ada gedung ataupun rumah minimalis. Buruknya lagi, seluruh bentuk rumahnya juga sama; melengkung seperti kubah.
"Tempat apa ini?" gerutuku. "Ini tidak terlihat seperti kota."
"Kau ada benarnya, Bro," timpal Veo.
"Apa maksudmu aku ada benarnya?" Aku sewot. "Kau sendiri yang membawaku ke kota ini!"
"Ya, tapi aku tidak mengira ini kota mati." Roden itu mengangkat bahu.
"Sekarang kita harus bagaimana? Aku tidak mau menemui makhluk besar di gerbang itu lagi," keluhku.
"Lihat, Bro! Ada kubah yang masih utuh di sana." Telunjuk Veo mengarah pada sebuah kubah besar. "Ayo kita ke sana!" Ia berlari dengan keempat kakinya.
"Hey, tunggu aku!"
Kami pun menghampiri kubah tersebut. Awalnya aku bingung di mana letak pintu atau jendela untuk masuk. Tetapi setelah mengetuk beberapa kali, tiba-tiba saja sebuah lorong terbuka untuk kami. Tanpa curiga sedikit pun, aku dan Veo memasuki lorong tersebut.
Karena tidak ada cahaya, kami terpaksa berjalan dalam kegelapan. Veo yang ketakutan tak bosan-bosannya menginjak kakiku. Untung dia tidak kelihatan. Kalau sampai aku melihat wajahnya saat menginjak kakiku, sudah pasti aku akan langsung menendangnya dari sini.
"Apakah lorong ini masih panjang?" gumamku.
"Entahlah, Bro. Aku ti—"
BRUK!
Kami menabrak sesuatu. Aku sempat mundur beberapa langkah, khawatir kalau yang kami tabrak makhluk batu seperti sebelumnya. Namun, sepertinya itu cuma pintu. Tanganku coba meraba-raba pintu tersebut, hingga akhirnya kami menemukan knopnya. Dalam hitungan ketiga, aku pun segera memutar knop tersebut, sehingga secercah cahaya mulai tampak.
"Eh! A-ada pengunjung?! Pengunjung! Serius?"
Entah bagaimana caranya, tapi yang jelas di balik pintu itu ada sebuah ruangan besar. Meja-meja bundar tersebar di mana-mana, lengkap dengan kursi melingkar. Tak seberapa jauh dari kami, ada meja bartender yang di belakangnya terdapat rak-rak minuman. Tempat ini mirip seperti bar. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, ada orang yang tinggal di dalam sini.
"S-selamat datang." Seorang wanita yang berdiri di belakang meja bartender mendatangi kami.
"T-terima kasih," aku menyahut canggung.
Meski dibilang wanita, sebenarnya orang ini bukan manusia. Memang wujudnya mirip, tetapi ia terbuat dari batu berwarna kuning pasir dalam batulan seragam khas maid. Selain itu, ada satu lagi penghuni yang tertidur lelap di meja. Badannya dipenuhi jerami.
"T-tempat apa ini?" Aku memberanikan diri bertanya.
"Oh! Ini adalah serikat khusus petualang yang berkunjung ke Golemity," jawab si wanita maid.
"Apa itu Golemity?'
"Anda tidak tahu? Golemity adalah nama kota ini. Yah, memang tidak bisa disebut kota lagi, sih. Semua penduduk kami pergi, dan tak pernah ada petualang lagi yang datang." Ia mendengus sedih.
"Bro, sekarang aku paham," celetuk Veo. "Ini kota para golem. Pantas saja semua bangunannya terbuat dari tanah liat."
"Benar. Sekarang penduduk yang tersisa hanyalah aku dan sepupuku."
"Ah, ngomong-ngomong. Namaku Lazu, dan ini Veo." Aku memperkenalkan diri.
"Namaku Wina, golem pasir. Dan orang yang tertidur di meja itu adalah Petit. Senang mengenal kalian."
"SIAPA YANG BARUSAN MEMANGGILKU?!" Petit tiba-tiba saja terbangun. "ASTAGA! ADA MARMUT! MARMUT! TOLONG! ADA MARMUT!" Ia sontak kelabakan.
"Petit, tenang!" teriak Wina. "Kita sedang ada pengunjung!"
"MARMUT! KENAPA SAMPAI BISA ADA MARMUT DI SINI? PERGI KAU, MARMUT JELEK! USIR DIA, WINA!"
"Hey, Bro! Aku bukan marmut! Aku ini Roden," protes Veo.
"ASTAGA! MARMUT ITU BISA BICARA! TAMATLAH RIWAYATKU~" Petit sempoyongan di atas meja, sebelum akhirnya tumbang tak sadarkan diri.
"Apa yang salah dengan manusia jerami itu?" omel Veo.
"Maafkan Petit. Dia mengalami trauma berat semenjak wabah marmut menyerang kota ini. Kekacauan besar terjadi, dan seperti inilah akhirnya," jelas Wina.
"Jadi itu penyebab penjaga gerbang itu ingin membunuh Veo," kataku menyimpulkan.
"Oh, sudah kuduga. Penjaga gerbang itu Sigil, dia adalah robot yang diciptakan Petit untuk melindungi kota ini dari marmut. Tolong maafkan sambutan kami yang buruk." Wina membungkuk.
"Sudahlah, tak apa." Aku menahannya. "Kami sudah melupakan itu."
"Terima kasih. Aku terharu mendengarnya. Sudah lama tak ada pengunjung yang datang kemari."
"Baiklah. Apa yang bisa kami lakukan di sini selain memesan minuman?" aku bertanya.
"Kami juga menyediakan banyak sekali quest untuk diambil. Karena kalian pengunjung pertama, maka semua informasi quest bisa kalian akses secara gratis."
"HEBATT!" Aku dan Veo berucap serentak.
"Lazu, ini kesempatan terbaik untuk mengubah hidup kita," ujar Veo antusias.
"Ya! Aku takkan menyia-nyiakan kesempatan ini. Quest pertamaku, aku ini itu menjadi sesuatu yang menakjubkan!"
Akhirnya momen ini tiba juga. Setelah melewati robot gila dan kota yang hancur, aku pun dihadapkan dengan kesempatan terbaik untuk mengubah hidup. Quest, pertarungan, barang pusaka, uang, kaya raya. Tak peduli seberat apa pun musuhku nanti, aku pasti bisa mengalahkannya. Kemenangan yang sempurna!
(Bersambung)