Chereads / Bosan? Isekai Aja! / Chapter 3 - #3 Teman Baru

Chapter 3 - #3 Teman Baru

KRIURKK~

"Aduhh, lapar sekali."

Ini hari kedua aku hidup di dunia yang baru. Setelah pingsan di Pengadilan Isekai, aku tiba-tiba sadar di tempat ini. Hutan lebat yang lembap, seorang diri, dengan jubah lusuh dari kain gombal. Apa lagi yang bisa lebih buruk dari itu?

Hari pertama dapat kulewati tanpa masalah berarti. Dengan kemampuan seadanya, aku masih bisa membuat api unggun, menganyam daun, mendirikan pondok kecil-kecilan. Kurasa semua itu bisa kulakukan karena mewarisi keterampilan Ayahku. Dulunya ia adalah kuli bangunan. Akan tetapi, karena terlalu takut menyantap buah yang ada di hutan, aku terpaksa menahan rasa lapar.

Sebenarnya ada banyak buah yang kutemui di sepanjang perjalanan. Ada yang mirip beri, pisang, mengkudu, bahkan yang mirip buah zakar juga ada. Sialnya aku tidak tahu apakah buah-buah itu aman atau beracun. Bagaimana jika aku mati untuk kedua kalinya dan tidak dihidupkan lagi? Itu pasti akan menjadi penyesalan terbesarku.

Ketika melintasi sebuah pohon besar, aku tak sengaja mendengar gemerisik dari balik semak-semak. Karena penasaran, akhirnya aku pun mengendap-endap untuk memeriksa asal suara tersebut. Kuharap itu bukan hewan buas atau semacamnya. Jika iya, aku pasti sudah tamat.

Tak seberapa lama, jarakku sudah begitu dekat dengan sesemakan tersebut. Berbekal tarikan napas panjang, kucoba menjulurkan kepala untuk mengintipnya.

"Hah!!!"

Aku langsung tercekat. Itu adalah seekor marmut besar berbulu merah jambu. Telinganya lancip dan ekornya panjang. Ya, memang tidak terdengar mirip marmut. Tapi aku tidak tahu harus menyebut makhluk itu dengan nama apa.

Selagi ia tidak menyadari kehadiranku, aku harus cepat-cepat minggat dari sini. Tunggu dulu! Apa yang sedang ia lakukan? Aku bisa melihat tumpukan buah beri di dekat marmut merah jambu itu. Kelihatannya dia sedang pesta makan. Kalau begitu, pasti buah beri itulah satu-satunya buah yang tak beracun di hutan ini.

Aku lapar. Aku harus makan. Aku tidak sanggup menahannya lebih lama lagi. Maafkan aku, Marmut merah jambu. Untuk kali ini, tolong berikan semua makananmu padaku.

KRIURKK~

Aku yang hendak menyergap marmut merah jambu sontak membeku karena suara perutku sendiri. Sialnya, marmut itu juga mendengarnya. Ia spontan menoleh ke arahku dan kabur sambil membawa tumpukan beri yang menggiurkan.

"Hey, jangan lari!" teriakku berusaha menyusulnya.

Kami terlibat aksi kejar-kejaran. Seperti dugaanku, marmut itu adalah pelari yang handal. Ia mampu bergerak cepat tanpa menjatuhkan berinya satu butir pun, sementara aku di belakang sudah ngos-ngosan. Ini tidak boleh dibiarkan! Aku adalah petualang gembel yang tak terkalahkan.

Dengan sigap aku memunguti kerikil di sepanjang hutan sambil terus berlari. Jika tidak bisa menyusulnya, maka aku akan membuat marmut itu berhenti lari. Bidikanku memang bukan yang terbaik, tetapi dulu aku pernah menangkap maling hanya dengan sabetan batu.

"Kau takkan bisa lari lagi," ujarku sambil memicingkan mata.

SYUTT!

Sial, lemparan pertamaku meleset. Aku masih belum menyerah! Aku kembali melempar kerikil dengan bidikan super akurat. Sayang, marmut itu masih sempat-sempatnya melompat. Tapi berinya sudah mulai berjatuhan. Bagus!

"Kali ini pasti kena!" kataku penuh nafsu. "Rasakan—Aduh!" Aku tiba-tiba terjerembap dan menghantam tanah.

Rasanya sakit sekali. Aku sempat membeku beberapa detik, sebelum menyadari kalau marmut buruanku semakin jauh pergi.

"Tidak boleh dibiarkan!" Bersama kerikil yang masih tergenggam, aku berusaha melakukan lemparan terakhir di saat-saat paling krusial. "Rasakan ini! Lemparan petualang gembel!"

SYUTTZ!

BLUKK!

"Kena!"

Marmut merah jambu yang nyaris meloloskan diri akhirnya tumbang setelah lemparanku mengenai kakinya. Semua beri pun berhamburan ke tanah. Aku lekas-lekas bangkit dan menghampiri tumpukan harta karun tersebut.

"Punyaku! Semua ini punyaku! Ah, enakkk!" Aku melahap semua berinya.

"T-tolong jangan makan aku, Bro! Aku masih belum pernah ena-ena."

"HEH?!"

GLEKK!

"UHUK! UHUK! ARGHH! UHUK!"

Aku tersedak ketika sadar kalau marmut merah jambu itu bisa bicara. Dunia macam apa ini?! Kenapa ada marmut yang bisa bicara?

"K-kau! Kenapa kau bicara?"

"Apa maksudmu, Bro? Tentu saja aku bisa bicara," sahut marmut itu, semakin meyakinkanku bahwa ia hewan ajaib.

"Marmut seharusnya tidak bicara."

"Marmut, katamu?" Ia melotot. "Kau bilang aku marmut?!"

"I-iya," jawabku agak ngeri.

"Dasar gada otak! Aku ini Roden, bukan marmut!" protesnya.

"Roden?" Aku mengenyit.

"Astaga, ternyata aku baru saja dilempar batu oleh orang bodoh." Marmut—maksudku Rodan itu memijat-mijat dahinya frustasi. "Begini saja, Bro! Kau jadi memakanku atau tidak, heh? Kalau kau mau memakanku, cepatlah! Tapi kalau tidak, biarkan aku pergi dari sini!"

"Aku tidak suka daging marmut. Lagi pula, aku cuma mengincar berimu. Aku sangat kelaparan saat dikirim oleh dewa kemarin. Yah, sekarang sudah mendingan."

"Tunggu, tunggu! Apa katamu tadi? Dikirim oleh dewa?" Roden itu berdiri, tingginya nyaris sampai pinggangku. "Kau tidak mengada-ada, 'kan?"

"Tentu saja tidak! Aku dikirim oleh Zig, dewa dari Pengadilan Isekai. Kau pasti tidak tahu itu, Marmut!"

"Aku tahu Zig. Dia manusia dengan kepala singa yang duduk seharian di atas singgasana emas," ujar Roden mengagetkanku.

"Kau tahu?!" Aku terbeliak.

"Kuberitahu kau rahasia, Bro." Rodan itu mendekatiku sambil celingak-celinguk. "Zig itu ... sebenarnya dia botak."

"Terima kasih, tapi aku sudah tahu itu," responsku.

"Kau sudah tahu? Hebat!" katanya antusias. "Ehem! Perkenalkan, namaku Veo. Dulunya aku juga manusia sepertimu. Zig yang mengirimku ke sini."

"Wah! Jadi kau juga pernah ke Pengadilan Isekai?! T-tapi, kenapa Zig menghidupkanmu sebagai marmut yang bisa bicara?"

"Roden, Bro! Jangan sampai jempolmu kugigit gara-gara salah sebut melulu!" bentak Veo. "Oh, iya! Siapa namamu?"

"Lazu. Aku dulunya seorang pengusaha terkaya di negeriku. Tapi akhirnya aku merasa bosan dan memutuskan untuk mati. Saat bangun, aku sudah berada di Pengadilan Isekai dan dihidupkan kembali sebagai petualang gelandangan."

"Ceritamu sad, Bro! Kemari, kemari!" Veo menyuruhku jongkok lalu memeluk sambil menepuk punggungku. "Sudah mendingan?"

"Mendingan apanya?"

"Kemari, kemari!" Ia memelukku lagi. "Sudah mendingan?"

"Iya! Sudah, sudah!" Aku berusaha menjauh.

"Bagus, aku senang memeluk orang malang. Sekarang kita akan pergi ke mana?"

"Apa maksudmu?" aku keheranan.

"Kita sekarang teman, Bro. Kau dan aku, kita sama-sama berisekai ke dunia ini. Aku telah hidup selama puluhan tahun sendiri, dan sekarang kau datang untuk merebut beri-beriku. Kalau begitu kenapa kita tidak bekerja sama saja untuk bertahan hidup di sini?"

Penawatan Veo terdengar menarik. Aku adalah orang baru di dunia ini. Aku masih belum tahu bagaimana kultur, mata uang, dan ras makhluk yang ada di sini. Tapi Veo, dia adalah sepuhnya isekai. Mungkin aku bisa memanfaatkannya untuk mengumpulkan uang.

"Ide yang bagus," jawabku. "Aku sepakat!"

"Bagus! Aku suka gayamu, Bro!" Roden itu segera menyalami tanganku.

"Veo, apakah di sekitar sini ada pemukiman manusia?" tanyaku.

"Tentu saja ada. Tak jauh dari hutan ini ada sebuah kota. Kau bisa mengambil beberapa quest dan mendapatkan barang berharga."

"Serius?! Quest! Itu yang kutunggu-tunggu!"

"Kalau begitu tunggu apa lagi. Ayo pergi dari hutan membosankan ini." Veo kembali berjalan dengan keempat kakinya, sementara aku mengikut di belakang.

Kami berangkat menuju kota yang dimaksud Veo. Aku cukup penasaran tentang tempat itu. Apakah nanti keadaannya juga sama dengan duniaku sebelumnya, ataukah akan ada sesuatu yang baru? Ah, aku benci mengira-ngira. Lebih baik kubuktikan sendiri saja bila sampai nanti.

"Hmm ... Veo."

"Ada apa, Bro?"

"Kau belum menjawab pertanyaanku. Mengapa kau dihidupkan kembali sebagai Roden?"

"Chill, Bro! Itu cerita yang panjang. Aku ceritakan kapan-kapan, ya."

"Huh, baiklah."

(Bersambung)