Chereads / Bosan? Isekai Aja! / Chapter 2 - #2 Pengadilan Isekai

Chapter 2 - #2 Pengadilan Isekai

"Lazu...."

"Lazu...."

"Lazu...."

"LAZU!"

"Siapa itu?!"

Aku memicingkan mataku berulang kali, coba menjernihkan pandangan yang masih sedikit buram. Saat netraku benar-benar pulih, mulutku pun spontan terbuka lebar. Ini sangat aneh! Aku berada di sebuah ruangan putih tak bertepi. Tidak ada benda apa pun yang bisa kulihat, selain cahaya terang yang menyilaukan.

"Lazu, kenapa kau memantatiku?"

"Eh!" Aku spontan berbalik. "HAH!" jeritku tatkala menyaksikan seekor singa humanoid berjubah putih yang duduk di singgasana emas.

"Perkenalkan, namaku Zig. Aku adalah dewa yang mengurusi arwah orang-orang berpenyakit mental," katanya.

"A-aku pasti sedang bermimpi!"

"Tentu saja tidak."

"Mustahil!" tandasku.

"Sepertinya kau hilang ingatan. Baiklah, akan kukembalikan semua memorimu." Manusia singa bernama Zig itu kemudian menjentikkan jarinya.

ZRASH!

Kelebatan asap tiba-tiba masuk ke dalam kepalaku. Aku langsung tersungkur saking kagetnya. Pikiranku seolah ditarik paksa memasuki gerbong-gerbong kereta yang berisi berbagai macam kejadian.

"T-Tuan muda! S-saya tidak bisa melakukan ini!"

"Ayolah, kau tidak perlu khawatir."

"T-tuan muda, m-mengapa Anda mau melakukan ini?"

"CEPAT TARIK PELATUKNYA SEKARANG!"

"T-Tuan muda, maafkan saya"

DORR!!!

"Arrghh!" Aku mengerang. "Mustahil! A-aku sudah MATI!"

"Dan sekarang kau hidup lagi," sahut Zig sembari mengorek lubang hidungnya.

"T-tapi kenapa?" tanyaku.

"Sederhana. Umurmu masih tersisa banyak, tetapi kau malah memaksakan diri untuk mati. Jadi di sinilah kau berada. Pengadilan Isekai."

"P-pengadilan Isekai?" ulangku. "Jadi maksudmu aku akan dihidupkan lagi?"

"Yup."

"Di dunia yang berbeda?"

"Tepat sekali."

"Lalu mengalahkan Raja Iblis dan menjadi pahlawan?" Aku kian antusias.

"Hmm ... kurasa tidak juga."

"Eh!?" Seketika semangatku luntur.

"Kau tahu, Nak? Alasan kami menamai tempat ini Pengadilan Isekai karena setiap orang yang datang ke sini akan menerima hukuman yang berkebalikan dengan kehidupan sebelumnya," jelas Zig. "Dulu kau adalah seorang kaya raya. Hartamu melimpah, martabatmu tinggi, badanmu harum. Akan tetapi, kau justru memilih mengakhiri hidupmu. Sekarang, kau akan kembali dihidupkan sebagai petualang lusuh yang tidak punya tempat tinggal. Yang terpenting, uangmu nol. Tidak ada sama sekali."

Untuk sesaat aku benar-benar syok akan penyataan tersebut. Petualang lusuh jelas bukan tipe pekerjaan yang mudah. Apalagi aku tidak punya bakat untuk menjadi gelandangan yang tak punya rumah. Aku dibesarkan di keluarga kaya dan serba-ada. Alasanku untuk mati pun sebenarnya bukan untuk menjadi miskin. Aku hanya ingin mengulang hidup dan menjadi seseorang yang bahagia.

Namun, jika memang itu yang harus terjadi kurasa aku harus siap. Ini adalah buah dari kesalahanku sendiri. Aku telah memutuskan untuk mati muda, dan sekarang aku harus menanggung akibatnya. Benar! Aku tidak takut menjadi petualang lusuh yang tidak punya rumah. Memangnya itu bisa jadi seburuk apa?

"Aku harus segera mengirimmu ke dunia yang baru, Lazu. Waktuku tidak banyak."

"Ma-maksudmu ada arwah lain yang harus kau urus?" Aku coba menerka.

"Ehem! Bukan-bukan. Kau satu-satunya arwah berpenyakit mental yang datang hari ini." Zig menghela napas. Lubang hidungnya kembang-kempis. "Ehem! Ini tanggal 25 Januari. Kau tahu, 'kan?"

"Memangnya kenapa dengan tanggal 25?" tanyaku heran.

"Hari kebalikan," desis Zig sambil buang muka. "Ehem! Sudahlah. Sekarang mana tanganmu. Aku akan mulai membaca mantranya."

Aku pun mengulurkan tangan ke hadapan Zig. Manusia singa bersuari lebat itu segera menggenggam tanganku, lalu memejamkan matanya. Aku bisa merasakan hawa yang kian intens. Sepertinya energi di sekitarku mulai bergejolak. Entah ini pertanda baik atau justru pertanda buruk.

"Putih melahirkan bajik, hitam melahirkan nista. Sang surya bersinar dalam kemilau, rembulan mengintip dalam temaram. Bersama restu pimpinan para dewa, aku—"

"Puitis sekali," bisikku.

"Eh, ada apa?" Zig tiba-tiba membuka matanya.

"A-anu, tidak ada apa-apa!" Aku menggeleng cepat.

"Baiklah. Akan kuulang lagi. Putih melahirkan bajik. Hitam melahirkan nista. Sang surya bersinar dalam kemilau, rembulan mengintip dalam temaram. Bersama restu pimpinan para dewa, aku—"

"Aku jadi ingin belajar sastra," gumamku.

"Heh, ada apa lagi?!" Zig melotot.

"Eh, tak ada apa-apa! Jangan hiraukan aku."

"Untung hari ini hari kebalikan," omel Zig. "Akan kuulang sekali lagi. Putih melahirkan bajik, hitam melahir—"

"Kenapa orang ini selalu bicara hari kebalikan, ya?" bisikku bingung.

"Dasar arwah gada otak! Aku tak tahan lagi!" Zig mengaum sampai surainya terlempar ke atas.

"Astaga! Ternyata selama ini kau adalah kucing!? Kukira kau singa," kataku kaget.

"Aku bukan kucing! AKU SINGA BOTAK!" geram Zig. "Memangnya salah kalau aku botak, hah? Mereka tidak mengizinkanku pensiun, padahal aku sudah bekerja di sini selama lebih dari 1500 abad. Dasar kapitalis sialan!"

"Oke, maaf. Aku tidak tahu kau banyak masalah. Sekarang bisa kita lanjutkan ritualnya?"

"Dengarkan aku! Sekali lagi kau kacaukan mantraku, rambutmu yang akan kubotaki, Lazu!" ancam Zig, sukses membuatku manggut-manggut ketakutan. "Baik, aku mulai. Putih melahirkan bajik. Hitam melahirkan nista. Sang surya bersinar dalam kemilau, rembulan mengintip dalam temaram. Bersama restu pimpinan para dewa, aku mengirimmu menuju dunia yang baru. Wahai Lazu, arwah penasaran yang belum diizinkan mati, jalanilah kehidupan barumu sampai ajal menjemput kelak!"

Perlahan tapi pasti, lantai yang kupijak mulai bersinar. Angin yang entah datang dari mana tiba-tiba berderu kencang, mengibarkan rambut hitamku dengan cepat.

Aku tersentak manakala ada pecutan energi gaib yang mengenai punggungku. Dalam hitungan detik tubuhku lunglai, disusul pengelihatan yang redup sedikit demi sedikit. Ketika Zig melepas genggaman tangannya, di saat itulah aku kehilangan kesadaran.

(Bersambung)