Mobil Jen menyusuri jalanan pusat kota yang lumayan ramai, kami sudah berhenti di beberapa butik pakaian dan hingga saat ini belum ada yang bisa menarik perhatiannya… Dan kalaupun ada harganya terlalu mahal.
Ia memarkirkan mobilnya di dekat sebuah butik mahal, lalu mengajakku masuk ke dalam untuk melihat-melihat. Deretan gaun-gaun berbagai warna dan berbagai model mulai dari sifon, silk, atau sutra digantung dengan elegan di rak-rak.
Kedua mata Jen langsung berbinar saat melihat deretan gaun tersebut. Ia berjalan memilih satu per satu dengan kesabaran yang tidak kumiliki. Aku yang tidak terlalu antusias—sama sekali, memutuskan untuk duduk di sebuah sofa hijau lumut yang berada di sudut ruangan. Pandanganku menjelajahi seluruh interior mewah butik ini hingga sudut mataku menangkap seseorang yang mendekat ke arahku.
"Caroline?" sebuah suara feminim menyapaku. Seorang wanita berambut bob hitam dengan wajah yang cantik menyapaku, matanya yang berwarna abu-abu gelap memandangku dengan terkejut sekaligus ragu. Sesaat ia berhenti lalu mengendus udara disekitarnya, lalu matanya membesar.
"Annelise." Kataku dengan suara sama terkejutnya. Annelise adalah salah satu teman satu angkatan Alex, kurasa ia sekarang masih kuliah di kota lain. Tiba-tiba aku ingat... ia adalah salah satu Werewolf yang disebutkan Alex.
"Alex..." gumamnya pada dirinya sendiri, "Alex menandaimu?" bisiknya dengan wajah setengah ngeri dan terkejut. Badanku membeku saat mendengar pertanyaannya, bagaimana ia mengetahuinya?
"Alex me-mark adiknya sendiri?" tanyanya dengan nada tidak percaya. Perutku merasa mual saat mendengar kalimat Annelise karena ia memang benar, saat ini aku masih adik Alex.
Tiba-tiba seorang laki-laki berjalan mendekati Annelise, aku tidak mengenalinya, ia memiliki rambut ikal berwarna pirang dan sangat tinggi.
"Anne—" Ia mengikuti arah pandangan Annelise lalu langkahnya terhenti tiba-tiba. Pandangannya terpaku ke arahku, hidungnya mengendus ke arahku sama seperti yang dilakukan Annelise sebelumnya. "Alex—Alpha sudah memiliki mate?" tanyanya dengan kening berkerut.
Sekarang aku sedang menatap dua orang yang sedang berdiri memandangku seolah-olah dua kepala baru tumbuh dari leherku. Wajah keduanya memiliki ekspresi yang serasi, antara bingung dan ragu.
"Regan, ini Caroline... dia adalah, um, adik Alex?" Annelise memperkenalkanku pada cowok di depanku yang bernama Regan. Aku mengangguk kecil sambil tersenyum gugup padanya.
"Oh! Caroline! Aku ingat sekarang..."
Aku sedikit terlonjak dari tempat dudukku mendengar seruan keras Regan.
"Tapi kenapa bau Alex..." Ia menelengkan kepalanya sedikit masih mengamatiku dengan ekspresi penasaran.
"Alex menandainya. Kurasa." Jawab Annelise, suaranya terdengar tidak terlalu yakin. Sekarang kedua mata Regan yang membesar, matanya seperti akan copot dari kepalanya.
"Whoa! Alpha me-mark adiknya sendiri?!" Seperti Annelise, ucapan Regan berhasil menusuk tepat ke jantung sekaligus hati nuraniku. Kami bertiga saling menatap dengan canggung karena aku tidak menjawab pertanyaan mereka. Aku berharap lantai di bawahku terbuka dan menelanku hidup-hidup saat ini juga.
Setelah beberapa saat yang canggung keduanya pamit dengan alasan janji makan siang. Setelah memastikan Annelise dan Regan benar-benar sudah pergi, kuambil handphone dari saku jeansku dan mengirim pesan pada Alex untuk menanyakan apa ia akan ada di rumah saat aku pulang nanti.
Jen baru saja keluar dari kamar ganti dengan gaun yang ia coba. Dengan senyuman lebar ia berputar beberapa kali hingga ujung gaun berwarna putih yang dikenakannya berputar di sekitarnya. "Bagaimana? Kau menyukainya?" tanyanya.
Aku mengangguk lalu mengangkat kedua jempolku ke arahnya.
"Siapa yang menghampirimu tadi?" Tanya Jen sambil memeriksa label harga di ujung gaun, mulutnya menganga sejenak yang diikuti dengan ekspresi kecewa di wajahnya.
"Teman-teman Alex." sahutku sekilas. "Apa gaunnya terlalu mahal?"
Jen mengangguk pelan sambil memandang siluetnya di cermin besar, akhirnya dengan langkah gontai ia kembali ke ruang ganti. Perhatianku beralih pada handphone di tanganku yang bergetar, nama Alex muncul di layar yang berkedip.
"Cara? Ada apa? Kau ada dimana?" Aku dapat mendengar sedikit rasa khawatir di dalam suaranya.
"Geez. Aku hanya ingin bertanya apa kau akan mampir ke rumah nanti." balasku, saat aku mendongak aku dapat melihat pantulan wajahku yang sedang tersenyum di cermin. Bahkan hanya mendengar suara Alex dapat membuatku tersenyum…
"Tentu saja. Aku akan tidur di rumah hari ini. Ada apa?"
"Tidak ada apa-apa." jawabku, berusaha menghapus senyuman bodoh di wajahku.
"Caroline…"
Kupejamkan kedua mataku sejenak. Alex hampir selalu dapat menebak saat aku berbohong, jadi sekalian saja aku jujur. "Alex, apa itu Alpha?"
Alex terdiam sejenak sebelum menjawabku, "Dimana kau mendengarnya?" suaranya terdengar sedikit marah. Kedua mataku menangkap Jen yang keluar dari ruang ganti lalu melambai padaku untuk mengikutinya.
"Alex aku harus pergi. Kita lanjutkan nanti saja, okay?"
"Cara—" Aku memutus sambungan telepon sebelum Alex menyelesaikan kalimatnya. Kumasukkan handphoneku ke saku jeans lalu berjalan menghampiri Jen yang berdiri menungguku.
"Tidak jadi beli?" tanyaku padanya.
"Harganya diatas budgetku. Ayo kita ke toko selanjutnya." balasnya sambil merangkul bahuku.
***
Jen menurunkanku di depan rumah tepat sebelum jam makan malam, bau masakan memenuhi ruangan ketika aku masuk ke dalam dapur. Suara tawa yang sebelumnya terdengar berhenti seketika. Mum, Dad, Alex, dan Jake sedang duduk mengelilingi meja makan.
"Hai." Gumamku pada mereka lalu duduk di antara Alex dan Jake.
"Hey, Cara-bear." Jake tersenyum lebar ke arahku lalu tangannya menepuk punggungku dengan cukup keras. Cara-bear adalah nama panggilanku saat kecil karena aku selalu membawa boneka teddy bear kemana-mana.
"Ow! Jake!" protesku padanya.
Alex menggeram marah pada Jake, membuatku terkejut sekaligus membuat suasana menjadi canggung. Rasanya aneh jika mengingat orang-orang yang ada di sekelilingku ini adalah... werewolf, tapi setelah beberapa saat kami kembali mengobrol dan tertawa sambil menikmati makan malam aku melupakannya.
Makan malam berlangsung dengan didominasi oleh Mum, seperti biasa. Ia bertanya tentang hasil berburu gaun dengan Jen tadi siang.
"Jadi siapa yang akan menjadi pasangan Prommu Cara?" tiba-tiba Jake bertanya disebelahku. Sepertinya akhir-akhir ini semua orang sangat tertarik bertanya tentang Prom padaku. Kuhela nafasku dengan berat sebelum menjawabnya.
"Aku tidak akan ikut Prom, Jakie." Kataku sambil menekankan kata Jakie, Jake selalu membencinya.
"Cara-bear, jangan memanggilku dengan nama itu." Katanya dengan wajah cemberut. "Apa Alex yang melarangmu?" tanyanya sambil melahap potongan ayam panggang dengan gigitan besar.
"Tentu saja tidak. Aku benar-benar tidak ingin ikut. Jadi jangan ada yang bertanya lagi, okay."
"Kenapa?" sekarang suara Alex yang menyebalkan ikut-ikutan bersuara.
"Karena, Alex, itu bukan urusanmu." Jawabku sambil memutar kedua bola mataku. Dad dan Mum memandang ke arah kami bersamaan.
"Cara, pesta Prom hanya sekali, sayang sekali kalau kau tidak ikut." Sekarang Mum yang mendesakku. "Lagipula aku ingin melihatmu mengenakan gaun sekali-kali, aku akan membantumu mencari gaun yang sesuai." tambahnya dengan wajah bersemangat.
Membayangkannya membuatku ingin mengerang. Aku tahu betul bagaimana selera Mum, pasti gaun yang mengembang dengan banyak renda dan pita. "Tidak, trimakasih." Jawabku secepatnya.
"Kau akan ikut Prom, Cara." Sekarang Mum memaksaku, hari ini sudah 2 orang yang memaksaku ikut Prom sialan itu.
"Biar Cara yang memutuskan sendiri." Dad membelaku. Aku tersenyum berterimakasih pada Dad, akhirnya ada orang yang sependapat denganku di rumah ini.
"Oh, tentu saja ia akan pergi. Alex juga pernah menolak pergi ke pesta Prom seperti ini tapi aku berhasil membujuknya untuk pergi, kan?" Balas Mum dengan bangga.
Aku ingat saat Alex pergi ke pesta Prom nya, setelah ratusan kali menolak untuk pergi ke pesta Prom akhirnya Mum berhasil memaksanya. Ia bahkan mau mengenakan setelan jas yang dipilih Mum, harus kuakui ia terlihat cocok mengenakan jasnya saat itu. Rambutnya yang berwarna coklat dipotong sangat pendek, tidak seperti sekarang yang tumbuh agak panjang. Dan ia mengajak Evelyn Lance sebagai Prom datenya.
Aku ingat rasa cemburuku saat tahu Alex mengajak Evelyn Lance yang mendapat gelar wanita tercantik di angkatannya. Aku mendiamkan Alex selama seminggu setelah itu.
Sebuah ide melintas di kepalaku tiba-tiba. Sekarang waktu yang tepat untuk balas dendam.
"Okay. Aku akan ikut Prom." Kataku tiba-tiba pada Mum. Semuanya terlihat terkejut saat mendengarku, mereka tidak mengira aku akan menyerah semudah itu.
"Kapan pestanya?" Tanya Mum sambil tersenyum lega.
"Minggu depan." jawabku dengan sedikit perasaan tidak enak saat melihat betapa bersemangatnya Mum.
Setelah makan malam, aku membantu Mum membereskan sisa makan malam. Dad pergi keluar, sedangkan Alex dan Jake bermain game di ruang tengah.
"Aku sudah tahu gaun apa yang bagus untukmu, Cara." Katanya sambil merapikan perabotan makan. Ugh.
"Mum..." erangku, "Jangan yang mengembang, okay? Dan jangan sampai ada pita atau renda!"
Mum tertawa mendengarku, "Tentu saja, sayang."